Oleh: Ria Febrina
(Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Hampir dua bulan saya berkurung di rumah. Hari ke hari saya bangun tidur, lalu menulis disertasi. Ternyata duduk dan hanya berkeliling di dalam kamar berukur 4×3 meter selama dua bulan memang membuat jenuh. Mata terasa pedih dan perut mulai mual melihat huruf-huruf yang ada di layar laptop.
“Harus keluar rumah,” pikir saya suatu pagi.
Saya pun menghubungi seorang teman yang sama-sama lanjut kuliah di UGM. Kami janjian main ke Kaliurang. Namun, saya yang berjanji akan menjemput pagi hari, terpaksa menjemputnya menjelang siang. Konon kalau pagi-pagi ke Kaliurang bisa melihat puncak Gunung Merapi dikelilingi awan. Apa daya, saya harus mengirim email dulu ke promotor. Setidaknya ini menjadi penanda bahwa saya bisa rehat dalam beberapa hari ke depan.
Menjelang salat Jumat, saya tiba di kos teman. Karena sedang tidak fresh, saya manut saja dibawa ke mana pun. Saya hanya bilang, tunjukkan saja arah hendak belok ke mana. Selama perjalanan, teman saya melihat map sambil mendengar curhatan saya tentang penelitian. Ketika jalan sudah semakin mendaki, kami tiba di Kopi Klotok. Teman saya berkata, “Masih jauh ya, ini baru sampai Kopi Klotok”.
Baik, saya manut saya. Saya butuh udara segar dengan pemandangan yang hijau. Meskipun duduk di Kopi Klotok sudah memberikan suasana di pinggir sawah, saya sudah beberapa kali ke sana. Tidak ada hal baru yang ingin dilihat. Saya pun terus mendaki membawa motor hingga Ledok Sambi terlewati.
“Masih jauh,” kata teman saya.
Saya pun mulai deg-degan. Apakah yakin naik ke Gunung Merapi dengan kondisi motor yang tidak bagus? Namun, tekad ingin melihat Gunung Merapi membuat saya terus melaju. Hanya saja setelah melewati Gerbang Wisata Kaliurang, nyali saya mulai ciut. Kami harus mencari bengkel motor. Sejak tadi, motor ini sudah terasa berat. Biasanya kalau saya dan suami bepergian jauh, seperti ke Solo, kami bertukar motor dengan teman.
Tak jauh dari gerbang, kami menemukan bengkel di sebelah kiri. Saya bersyukur. Setidaknya hal-hal yang saya khawatirkan akan hilang dalam perjalanan. Setelah mengganti oli dan menambah angin, kami pun kembali melaju. Sebelum Tugu Udang, kami belok ke kanan. Ada jalan kecil mendaki masuk ke rumah penduduk.
Setelah sempat nyasar, kami menemukan plang dengan tanda “Menuju Tankaman National Park”. Perjalanan kali ini mirip dengan perjalanan saya ke Tebing Breksi. Kami melewati jalan setapak menuju hutan. Tankaman National Park memang berada di kawasan Hutan Rakyat Kaliurang. Untung saja kami tidak tahu sejarah nama Tankaman. Kalau tidak, saya tidak berani melewati jalur motor ini.

Tankaman merupakan singkatan dari wetan pemakaman. Lokasi Tankaman memang berada di sebelah timur pemakaman desa setempat. Konon nama ini berasal dari para sesepuh desa. Mereka suka menyingkat nama sehingga lahirlah nama Tankaman ini. Di sekitar kawasan ini tumbuh pohon sengon dan mahoni. Masyarakat juga sering mencari pakan ternak di lokasi ini.
Meskipun tampak mengerikan, sejujurnya jalur motor yang disediakan menuju Tankaman National Park sangat syahdu. Jalan setapak sudah pakai aspal. Kita akan melewati jembatan panjang yang hanya bisa dilalui oleh satu motor. Di kawasan inilah saya ragu dan ingin berbalik karena kawasannya seperti berada di antara tebing sebelah kanan dan sungai sebelah kiri. Di sisi kiri kanan dan atas bawah rimbun dengan pohon.
Saya agak lega ketika sudah melewati jembatan, kami melihat sekumpulan wisatawan sedang menaiki ATV. Kawasan ini memang dipakai untuk wisata ATV dan juga touring sepeda. Bahkan, Tankaman National Park menjadi area finish bagi orang-orang yang melaksanakan touring sepeda. Di dekat wisatawan yang mengendarai ATV ini, ada sedikit tanjakan. Kami jadi agak ragu karena salah satu ATV mogok. Berbekal bismillah, saya mendaki dan akhirnya kami tiba di persimpangan menuju tempat parkir National Park.
Saat itulah saya bersyukur lega dan mengingat kembali bahwa jalan yang kami lewati sebenarnya sangat aman. Hanya saja, saya baru pertama kali melewati sehingga memicu adrenalin dan keragu-raguan. Setelah masuk ke kawasan Tankaman, saya dapat merasakan bau pohon yang basah, daun yang wangi, aroma nangka yang sudah matang, dan tanah yang lembab. Begitu asri dan meneduhkan. Cuaca juga adem di sini, tidak lagi panas, seperti di Kota Yogyakarta.
Tankaman National Park ini memang berjarak enam kilometer dari Puncak Gunung Merapi. Katanya kalau datang pagi hari, sekitar pukul 08.00—10.00 WIB, kita dapat melihat Puncak Gunung Merapi dikelilingi awan. Namun, kami baru sampai pukul 12.00 WIB. Tak ada tanda-tanda Gunung Merapi di sana karena awan begitu pekat dan cuaca tampak mendung.
Di pinggir Tankaman National Park, terdapat pagar semen yang berbentuk pohon kayu. Ketika berada di pagar tersebut, kami dapat memandang lembah yang rimbun dengan pepohonan, serta bukit yang hijau di seberang sana. Pohon-pohon yang berada di Bukit Kendil dan Bukit Plawangan, yaitu bukit-bukit yang mengapit Gunung Merapi.
Ketika menatap ke arah bawah, akhirnya saya bisa melihat Jembatan Plunyon yang ikonik. Di TikTok dan Instagram, banyak orang sudah membuat konten betapa bahagianya menikmati udara lereng Gunung Merapi dari jembatan ini. Jembatan ini adalah jembatan yang viral karena dipakai untuk lokasi shooting film KKN di Desa Penari.

Di Tankaman National Park ini, saya pun membuka kacamata. Rasanya setelah berkutat di depan laptop, minus mata semakin bertambah. Namun, setelah menatap perbukitan, pepohonan, lembah, dan gunung yang asri, mata saya terasa segar dan baik kembali. Ternyata saya butuh udara segar pegunungan dan pemandangan yang asri untuk kembali membuat mata, hati, dan pikiran sehat.
Setelah puas memandang alam dari pinggir tebing, saya pun memesan kopi susu dan makanan ringan di kafe. Di kafe ini memang hanya ada makanan ringan, seperti tempe mendoan, ubi goreng, pisang goreng, serta aneka mi goreng dan mi rebus. Minumannya pun sangat sederhana. Hanya ada wedang, teh, dan kopi panas atau dingin. Harganya pun sangat terjangkau, seperti kita memesan makanan di warung-warung dekat rumah. Hanya Rp5.000,00—Rp15.000,00. Tidak mahal. Namun, kalau ke sini saat lapar, saya tidak yakin perut akan kenyang.
Kami memilih duduk di sebuah kursi besi, tepat di pinggir tebing. Di sinilah saya ngopi menggunakan cangkir blirik hijau berbahan enamel. Cangkir ini termasuk cangkir jadul, tapi sangat digemari di Yogyakarta. Saya ngopi sambil menikmati angin segar, matahari yang menyembul di antara pepohonan, serta menatap dedaunan yang rimbun di mana-mana.
Di Tankaman National Park ini, kita tidak hanya bisa ngopi. Kita juga bisa menginap di sebuah rumah dengan atap segitiga atau triangular house. Rumah ini didesain dengan dua lereng simetris menyerupai tenda. Di ujung sisi kiri dan kanan rumah, atap menjulang hingga menyentuh tanah. Model ini membuat atap juga berfungsi sebagai dinding rumah. Desain ini membuat air hujan atau dedaunan segera jatuh ke tanah dan tidak menumpuk di genteng. Selain menginap di cottage ini, kita juga bisa kemping di kawasan National Park ini.
Bagi yang ingin merasakan suasana rumah dengan atap segitiga ini, di dekat tempat duduk kami, ada tempat duduk yang didesain mirip. Sebuah lesehan berada di bawah atap segitiga yang menyerupai tenda. Sangat nyaman duduk di sana, namun saya lebih memilih duduk di ruang terbuka. Duduk sembari ngopi dan ngemil di tepi tebing Tankaman Natural Park.
Discussion about this post