Oleh: Ronidin
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Surabaya di ujung timur Pulau Jawa merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Saya pernah ke kota ini. Tidak dari Padang, melainkan dari Yogyakarta. Yogyakarta-Surabaya berjarak 325 km. Bila naik bus memerlukan waktu empat sampai lima jam. Bagi yang memilih menggunakan sepeda motor diperlukan waktu lebih kurang tujuh jam. Naik kereta api (sepur) dari stasiun Tugu di pusat Yogyakarta ke stasiun Gubeng di Surabaya estimasi waktunya kurang sedikit dari empat jam. Naik kereta bagian dari perjalanan yang menyenangkan antara Yogyakarta-Surabaya.
Suatu waktu di bulan Zulhijah, saya dan keluarga ke Surabaya dengan sepur dari Yogyakarta. Kami berencana melaksanakan Idul Adha di tempat saudara di Gresik. Pukul delapan pagi kami berangkat dari stasiun Tugu, pukul dua belas sudah sampai di Gubeng. Turun dari kereta, lalu mutar-mutar sebentar di stasiun mencari kudapan, terdengarlah suara iqamah dari masjid di sekitar stasiun pertanda salat Zuhur akan di mulai. Kami memutuskan untuk salat terlebih dahulu sebelum menyewa kendaraan untuk mengantar kami ke Gresik, ke rumah saudara yang tidak bisa menjemput karena sedang beranak kecil. Suaminya juga tidak bisa menjemput karena tidak memperoleh izin dari tempatnya bekerja. Kami memilih salat lebih dahulu karena bila sudah salat, pikiran menjadi tenang. Aktivitas selanjutnya dapat dilakukan dengan lebih plong.
Kami ke masjid dengan dengan dua anak yang tidak mau diam. Juga dengan barang bawaan satu koper dan satu tas sandang. Ketika telah sampai di masjid, kami mendapati jemaah sudah selesai Zuhur berjemaah. Sebagiannya telah keluar dan sebagian lainnya mengerjakan salat sunat bakda Zuhur. Setelah berwudu saya masuk ke masjid sambil membawa koper, sedangkan istri istri saya membawa tas sandang. Tidak ada tempat penitipan barang di masjid itu atau kami yang tidak menemukannya. Saya menaruh koper di samping dekat dinding dan memilih berdiri agak ke pinggir saf. Anak laki-laki saya berdiri di belakang saya. Walaupun anak saya itu masih belum balig, tetapi saya sudah membiasakannya untuk salat secara berjemaah. Saya tidak memperhatikan siapa saja jemaah di masjid itu karena lebih fokus memperhatikan barang bawaan dan si anak. Saya dan anak laki-laki saya salat berjemaah jamak-qasar.
Ketika sedang salat, saya mengetahui ada jemaah lain yang mengikuti kami. Setelah salam, saya melihat bahwa ternyata yang ikut berjemaah bersama kami adalah sopir taksi yang tadi menawarkan taksinya pada kami di pintu keluar stasiun. Saya dan anak saya seterusnya melanjutkan salat lagi untuk jamak-qasar salat Ashar. Sopir taksi itu pun ikut bersama kami walaupun sudah saya beritahu kami melaksanakan jamak-qasar. Selesai salam saya berzikir berzikir dan berdoa. Sementara anak saya sudah berdiri ke arah hijab pembatas jemaah laki-laki dengan perempuan, mengintip ibu dan adiknya.
Beres salat, saya dan anak laki-laki saya ke depan masjid. Istri saya agak lama keluarnya. Maklumlah perempuan. Banyak yang harus dilakukannya selesai salat. Tidak lama menunggu istri dan anak perempuan saya pun keluar. Ketika hendak meninggalkan masjid itu, kedua anak kami menunjuk-nunjuk tukang es krim minta dibelikan buat mereka. Baru selesai membeli es krim tersebut, sopir taksi yang tadi ikut salat bersama kami menghampiri kami lagi. Kembali dia menawarkan taksinya sama seperti para sopir taksi yang lain di pintu keluar stasiun yang berebut mencari penumpang. Ketika saya tanya berapa tarif yang diinginkannya mengantarkan kami ke Gresik secara borongan, dia menawarkan dengan argo. Menurutnya taksinya biasa menggunakan argo.
Pada akhirnya kami setuju menggunakan jasa sopir taksi tersebut. Sesuai kesepakatan kami menggunakan argo. Setelah barang-barang dimasukkan ke bagasi taksi dan kami berempat naik, mulailah perjalanan kami meninggalkan stasiun Gubeng menuju Gresik. Tentu Dunsanak tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, bukan. Karena itu saya kisahkan di sini. Setelah beberapa waktu meninggalkan Gubeng, kami menikmati kota Surabaya yang padat dan ramai. Jalanan sibuk seperti di Jakarta. Motor dan mobil saling dahulu mendahului. Berhenti di perempatan lampu merah sambil menyesak-nyesak. Begitu lampu hijau menyala semua merangsek maju.
Taksi kami terus bergerak. Telah tiga puluh menit kami di atasnya. Argo terus berputar. Tetapi ada sesuatu yang terasa aneh. Sepertinya taksi tersebut masih berada di dalam kota Surabaya. Kata saudara yang akan kami kunjungi, dari Gubeng ke rumahnya di Gresik tidak lebih dari 45 menit. Surabaya-Gresik ibarat Jakarta ke Bekasi atau ibarat dari Padang ke Batang Anai. Saya masih berbaik sangka pada sopir taksi itu, mungkin dia mencari jalan terbaik menuju destinasi yang ingin kami inginkan. Akan tetapi, waktu terus berlalu, sudah hampir satu jam belum juga ada tanda-tanda kami akan sampai. Saudara yang akan kami kunjungi sudah menelepon, bertanya kenapa belum sampai juga. Kata sopir taksi sebentar lagi.
Beberapa waktu kemudian kami terjebak macet. Rasanya tempat itu masih di dalam kota Surabaya. Waduh mengapa jadi begini. Lalu sopir taksi itu memutar taksinya masuk ke gang-gang yang di sana banyak portal dan polisi tidur. Terhempas-hempas kami dibuatnya. Anak laki-laki saya yang tadi makan es krim dan oreo muntah. Keluar semua yang dimakannya. Untung ada kantong asoi di dalam tas istri saya untuk menampung muntahnya. Kalua tidak, tentu sudah berleak di lantai taksi itu.
Saya mulai gregetan. Saya tanya sopir taksi itu. Dia tahu tempatnya atau tidak. Dengan santainya dia menjawab akan segera sampai. Sementara argo terus berputar. Setelah lebih kurang dua jam berputar-putar barulah kami sampai di rumah saudara yang dituju. Jumlah argo yang tertera sudah membengkak. Ketika akan membayar jumlah argo yang tertera, saya sampaikan kepada sopir taksi itu kekesalan saya. Terbayang oleh saya tadi dia mengikuti saya menjadi makmum salat berjemaah, tetapi selepas itu dia tega menipu saya dengan berputar-putar di kota Surabaya yang tentu saja medannya sudah ia kuasai. Dengan berputar-putar itu angka-angka di argo taksinya semakin lama semakin naik. Semakin besar upah yang didapatnya. Saya sampaikan kepada bapak sopir itu untuk bekerja dengan halal. Carilah nafkah dengan jujur sebab itu akan dimakan oleh anak-istrinya di rumah. Sopir itu hanya manggut-manggut. Kalaulah dia tidak lebih tua dari saya, ingin rasanya saya menghajarnya. Mungkin saja tipu-tipu seperti yang saya alami ini sudah sering dilakukannya. Membawa penumpang yang tidak paham medan dengan berputar-putar. Dengan begitu uang yang didapatnya menjadi lebih banyak. Mungkin begitu. Entahlah.
Saya sampai di rumah saudara di Gresik dalam kondisi perut lapar. Kami tidak sempat makan siang di perjalanan karena saudara kami sudah memberi tahu bahwa dia sudah menyediakan menu makan siang. Bila perjalanan Gubeng ke rumahnya di Gresik hanya empat puluh lima menit, tentu waktu makan siang belum terlalu lama berlalu. Selesai salat jam 12.30 dan berangkat keluar dari stasiun pada waktu sesudahnya, tentu kami akan sampai di rumah saudara itu pukul 13 lewat sedikit. Tetapi ini tidak, kami sampai lebih kurang pukul 15. Sudah lapar banget.
Begitulah, perjalanan ini menjadi berat buat kami. Padahal dari Yogyakarta ke Surabaya lancar-lancar saja. Justru malah perjalanan lokal di Surabaya yang membuat dada kami sesak. Tetapi ini semua tentu ada hikmahnya. Paling tidak kita jadi tahu bahwa tidak semua orang yang terlihat baik dapat dipercaya. Kita harus hati-hati dan tetap selalu waspada. Sebenarnya dengan berkeliling-keliling kota Surabaya sebagaimana yang dilakukan sopir taksi tersebut, banyak hal mengenai kota tersebut dapat dilihat. Namun bila hati dalam kondisi kesal, perjalanan tersebut menjadi tidak berarti apa-apa.
Saya jadi kesal dengan perjalanan tersebut. Nah, untuk mengobati kekesalan itu, saudara kami menyajak kami esoknya healing ke Lamongan. Kami bersenang-senang di taman wisata bahari Lamongan.
Menikmati taman wisata seperti yang terlihat di foto ini lenyaplah segala keluh kesah. Jadi memang benar, jika kita dalam kegundahan, pergilah jalan-jalan maka di sana ada obatnya. Kami akhirnya berlebaran kurban di Gresik dengan suasana nyaman. Seminggu berikutnya kembali ke Yogyakarta. Di Gubeng saya tidak melihat sopir taksi yang seminggu lalu menipu kami. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post