Mak Irah
Karya: Oli Novedi Santi
“Dua hari lagi Mak, harus mengosongkan tempat ini!” tegas suara Bu Sanjaya.
Kaget terlihat di wajah Mak Irah. Keriput di keningnya semakin jelas terlihat. Dia menarik nafas dalam. Menenangkan hatinya.
“Maaf Bu, saya baru sehari terlambat bayar sewa. Rencananya sore ini saya mau ke rumah Ibu untuk melunasinya.” Mak Irah mendekati Bu Sanjaya yang masih berdiri di dekat pintu masuk warung sarapannya. Ya, Mak Irah menyewa bangunan milik Bu Sanjaya untuk berjualan sarapan. Sejak ditinggal suaminya yang pergi dengan perempuan lain, Mak Irah memilih untuk berjualan menu sarapan. Dia tidak ingin menangisi suaminya yang memilih meninggalkannya dan ketiga buah hati mereka. Mak Irah lebih memilih untuk melanjutkan hidup demi anak-anak. Baginya, tak ada guna menangisi orang yang pergi dengan kehendak sendiri. Ibarat gelas yang pecah terserak, tak akan bisa kembali menjadi utuh.
“Saya mau pakai tempat ini untuk anak saya jualan, Mak,” kata Bu Sanjaya.
“Tapi Bu, saya belum ada tempat untuk pindah,” Mak Irah memohon. “Ini terlalu mendadak,” lanjut Mak Irah.
“Yah, saya gak mau tahu Mak. Pokoknya dua hari lagi tempat ini harus kosong ya,” Bu Sanjaya beranjak dari tempatnya. Dia melenggang tanpa beban ke parkiran dan berlalu dengan motor bebeknya.
Tinggallah Mak Irah termenung. Saat itu, warungnya sedang sepi. Jam di dinding menunjukkan angka sepuluh tepat. Isi jualannya pun hampir semuanya habis. Tinggal beberapa potong gorengan lagi yang tersisa. Memang, jam-jam sibuknya sudah berlalu. Kini di waktu dia hampir tutup, sedih hati menyelimuti Mak Irah. Kemana dia akan pindah? Bagaimana kalau dalam dua hari dia tidak menemukan tempat yang cocok? Bagaimana dengan pelanggan-pelanggan yang tiap hari datang? Pekerja pabrik, pekerja kantoran, ibu-ibu rumah tangga yang sedang tidak sempat masak dan mahasiswa-mahasiswi yang selalu setia menikmati sarapan yang dia jual? Ah… penat sekali pikiran Mak Irah. Dia terduduk di salah satu kursi dekat dengan lemari minuman. Dia bersandar di sana. Kepalanya cenat-cenut. Mak Irah meraih minyak angin di dekatnya. Dipakainya minyak angin bentuk roll on itu di keningnya. Matanya mengerjap-ngerjap. Tak sengaja minyak angin itu mengenai mata.
“Aduh … panas,” gumam Mak Irah.
“Kenapa, Mak?” tanya Siti. Dia baru saja pulang membeli gula dan teh dari warung Bu Reni.
“Ini, mataku terkena minyak angin,” jawab Mak Irah.
“Oalah Mak… kok bisa?” tanya Siti sambil memapah Mak Irah menuju kran air. Cuci dulu matanya Mak, biar bersih. Mak Irah menuruti petunjuk Siti. Sementara Siti mengambil handuk kecil bersih di salah satu laci meja. Siti sudah lama bekerja dengan Mak Irah. Dia sangat hafal di mana Mak Irah meletakkan semua barang. Berdua dengan Siti biasanya Mak Irah menyelesaikan semua tetek bengek warung. Siti pun sudah seperti anak sendiri bagi Mak Irah.
“Sudah, Mak?” tanya Siti.
Mak Irah hanya mengangguk dan segera mencari tempat duduk. Pandangannya jauh ke depan. Dilihatnya kakek tua yang mengais sampah. Mak Irah merasa dirinya lebih beruntung dari si kakek itu. Dia masih punya rumah untuk berteduh bersama ketiga anak-anaknya. Sementara dia tahu si kakek itu selalu tidur di emperan toko dan tidak punya satu pun keluarga.
“Mak.” tepukan lembut di pundak Mak Irah membuatnya kaget. “Apa sih yang Mak pikirkan?” tanya Siti yang berdiri di depan Mak Irah.
Mak Irah menarik nafas panjang dan menghempaskannya pelan. “Dua hari lagi kita harus pindah,” jawab Mak Irah.
“Memangnya kenapa Mak?” tanya Siti lagi. Kali ini dia mengambil kursi plastik dan duduk dihadapan Mak Irah.
“Bu Sanjaya bilang tempat ini mau dipakainya,” jawab Mak Irah.
Mendengar jawaban Mak Irah, Siti terdiam. Dia menunduk dalam. Dia ingin berbicara tapi sepertinya dia ingin berhati-hati, takut Mak Irah sakit hati. “Maaf Mak, sebenarnya aku sudah ada mendengar kabar burung beberapa hari yang lalu tentang Bu Sanjaya.”
“Tentang apa?”
“Aku mendengar Bu Sanjaya iri hati melihat warung ini selalu ramai. Sepertinya dia ingin punya warung sarapan yang ramai seperti ini.”
“Kamu dengar gosip itu darimana?” tanya Mak Irah masih tidak percaya. Dalam gambaran pikirannya Bu Sanjaya masih orang yang baik. Selama ini pun mereka tidak pernah ada masalah.
“Aku dengar dari mulut Mbak Sekti, pembantu yang kerja di rumah Bu Sanjaya.” Siti beranjak dari duduknya. Dia mengambil segelas air putih. Disodorkan gelas berisi air itu kehadapan Mak Irah. Dia yakin Mak Irah membutuhkan air itu.
“Tapi Siti, Mak rasa, tidak mungkin Bu Sanjaya sekeji itu,” kata Mak Irah setelah mengosongkan air dalam gelas.
“Mak, manusia kalau sudah bicara soal uang, jangankan orang lain, saudara sendiri pun akan diganggunya. Apalagi Mak, anak Bu Sanja baru saja menikah dan dia ternyata punya hutang banyak untuk acara pernikahan kemarin. Bahasanya dia tekor saat acara pesta, banyak yang ngasih amplop kosong.”
Mak Irah tak bisa berkata-kata. Dia pelan-pelan mencoba mencerna kalimat-kalimat Siti. Lama mereka berdua terdiam. Mata Mak Irah memandangi satu persatu isi warungnya.
Hampir seperempat jam Siti dan Mak Irah berdiam diri. Melihat jam di dinding, Siti beranjak dari duduknya. “Kalau kita diam saja Mak, tidak akan menyelesaikan masalah. Ayo kita beresin warung dan segera tutup. Aku akan mencoba mencari informasi, mana tahu ada tempat yang bisa kita sewa.”
Siti bergegas membereskan etalase. Mak Irah pun akhirnya ikut bergegas. Benar kata Siti. Kalau mereka terus bermenung tidak akan menjawab permasalahannya. Satu jam mereka selesai membereskan warung. Siti pamit pulang sekalian mencari informasi tempat pindahan mereka. Setelah mengunci pintu warung, Mak Irah pun segera pergi. Berjalan kaki Mak Irah menyusuri jalanan. Sepanjang perjalanannya, dia berdoa memohon pada Yang Kuasa agar diberikan petunjuk, karena dia tahu, saat ini hanya kepada Allah lah dia bisa memohon pertolongan.
***
“Mak … lontong sayurnya dua ya … gak usah dikasih telur,” seorang pemuda memesan sarapan untuknya pagi ini.
“Iya, sebentar ya,” jawab Mak Irah ramah. Mak Irah sedang membungkus satu pesanan. Nasi uduk sudah masuk di kertas beralas daun yang ada di tangan Mak Irah, kemudian tangan Mak Irah dengan cekatan mengambil mihun goreng, sambal tempe teri kacang tanah, seiris timun dan sepotong telur dadar bergantian diletakkan di atas nasi uduk. Sebungkus nasi uduk untuk Bapak berkacamata telah siap. Mak Irah pun kembali sibuk menyiapkan pesanan selanjutnya. Dia selalu ingat siapa saja yang datang terlebih dahulu agar tidak terjadi kekacauan dan perasaan tak enak hati pada pengunjung warungnya.
“Mbak Siti, lontong pecalku jangan lupa ya,” gadis berbaju kaus warna kuning mengingatkan Siti tentang pesanannya.
Pagi ini seperti pagi sebelumnya, warung Mak Irah ramai pengunjung. Ada yang mau membeli sarapan atau hanya sekedar membeli gorengan. Sudah sejak pukul tiga pagi Mak Irah bangun mempersiapkan dagangannya. Saban hari sudah menjadi rutinitas Mak Irah. Tak mengenal hari libur kecuali dalam keadaan mendesak. Uang sekolah ketiga anaknya, makan sehari-hari, uang sewa warung semua menjadi beban Mak Irah.
Beruntung sekali, di tempat yang baru ini uang sewa warungnya tidak semahal di tempat Bu Sanjaya. Yah, Mak Irah terpaksa pindah dari warungnya yang lama. Tak sengaja Mak Irah bertemu Bu Yani di mushala saat Mak Irah sudah hampir putus asa mencari tempat baru. Mereka sudah saling mengenal karena berasal dari kampung yang sama. Bu Yani memiliki bangunan yang bisa dijadikan warung sekaligus tempat tinggal dan biaya sewanya tidak terlalu mahal. Jadilah Mak Irah pindah ke tempat baru meninggalkan omelan-omelan pedas Bu Sanjaya.
Hari ini tepat dua minggu Mak Irah di tempat baru. Mulanya Mak Irah merasa pasrah saja jika seminggu atau sebulan jualannya tidak laku, karena dia berada di lingkungan baru, walaupun sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat yang lama. Tapi Allah berkehendak lain, di hari keenam warungnya sudah ramai seperti di warungnya yang lama. Anak kos Bu Yani, semuanya membeli sarapan di warung Mak Irah. Bu Yani memang memiliki tempat kos dan beberapa rumah petak.
“Ramai ya …,” tiba-tiba Bu Sanjaya sudah ada di mulut pintu warung Mak Irah dengan wajah julidnya. Dan bibirnya menyunggingkan senyum culas.
Sedetik semua yang ada di warung terdiam, memandang sebentar ke arah Bu Sanjaya dan kemudian kembali dengan aktifitas mereka. Hanya Mak Irah yang masih tak percaya Bu Sanjaya mengunjungi warungnya.
“Mak,” Siti menyenggol tangan Mak Irah karena dilihatnya lontong di tangan Mak Irah hampir jatuh. “Itu, lontongnya mau jatuh,” kata Siti saat Mak Irah memandang wajahnya.
“Eh iya.” Mak Irah segera memperbaiki letak lontong di tangannya. “Ibu mau beli sarapan?” tanya Mak Irah kepada Bu Sanjaya yang masih teguh berdiri di mulut pintu hingga menyusahkan pelanggan yang mau masuk dan keluar karena terhalang badan bongsornya.
“Enggak, saya cuma mau tahu kenapa warung ini kok bisa ramai, pasti pakai penglaris,” suara kencang Bu Sanjaya masuk sangat tidak sopan di telinga penghuni warung terutama Mak Irah.
“Maaf Bu, saya enggak pakai penglaris,” Mak Irah berusaha sopan menjawab bahasa lancang Bu Sanjaya. Tadi orang-orang di warung itu tidak begitu peduli tapi sekarang mereka jadi memerhatikan Bu Sanjaya dan Mak Irah.
“Lha, dulu waktu Mak Irah jualan di tempat saya selalu ramai. Sekarang saya yang jualan di situ kok jadi sepi?” tanya Bu Sanjaya berapi-api. Terlihat wajah beberapa orang di warung itu berkerut dan yang lainnya nampak senyum-senyum.
“Bu, soal ramai atau tidaknya warung itu soal rezeki Bu,” suara Mak Irah tidak ada yang janggal. Tapi Bu Sanjaya ternyata langsung emosi. “Alah… jangan sok bilang soal rezeki lah… saya yakin warung ini pakai penglaris. Coba aja, kalian beli terus dimakannya di rumah, pasti beda rasanya.” Mata Bu Sanjaya memandangi satu per satu pelanggan.
“Maaf Bu, saya gak ada pakai penglaris. Saya hanya memasak seperti biasa,” kata Mak Irah.
“Oh… jadi Mak Irah mengejek saya, menghina saya enggak bisa masak dan jualan ya… Mak jangan jadi kacang lupa kulitnya. Saya sudah banyak menolong Mak untuk hidup!” suara Bu Sanjaya memekik membuat seisi warung merasa tidak nyaman. Beberapa orang memilih cepat-cepat menghabiskan makanannya. Sebagian lagi melihat-lihat situasi, merasa ada tontonan menarik untuk jadi bahan cerita nanti. Sementara wajah Mak Irah masih sabar, malah Siti yang tersulut emosi. “Eh Bu, jangan ngegas gitu ngomongnya. Kalau mau bicara dipikir dulu pakai otak jangan pakai dengkul. Ibu namanya udah memfitnah Mak.”
“Kamu Siti, sudah pandai bicara kamu ya, ini saya lihat yang makan di sini beberapa orang rumahnya dekat dengan rumah dan warung saya, kenapa mereka bisa beli di sini kenapa mereka enggak beli di tempat saya?” Bu Sanjaya bertanya sambil telunjuknya menunjuk ke beberapa orang yang dikenalnya. Mereka-mereka yang ditunjuk Bu Sanjaya langsung memalingkan wajah ke arah lain dan ada juga yang memilih untuk segera pergi. Hanya tinggal dua orang yang sedang menyelesaikan suapan terakhir mereka, kemudian segera beranjak dari duduknya. Kini di warung itu hanya tinggal bertiga saja, Mak Irah, Siti dan Bu Sanjaya.
“Bu, silakan duduk dulu,” Mak Irah memberikan kursi untuk Bu Sanjaya.
“Gak usah, saya enggak sudi duduk di warung ini. Takut kena guna-guna.” Bu Sanjaya segara pergi setelah menelisik warung Mak Irah.
“Eh … Bu, mulutnya dijaga ya,” Siti tidak dapat menahan emosinya. Namun Mak Irah segera menahannya.
“Jangan tersulut emosi,” nasehat Mak Irah.
“Tapi mak…”
“Ssuttt.” Mak Irah meletakkan telunjuk di bibirnya. “Yang waras ngalah,” kata Mak lagi.
Mendengar kata-kata Mak Irah, Siti malah tertawa. Dan akhirnya mereka malah tertawa berdua.
“Terkadang ketika seseorang dihimpit oleh kenyataan hidup yang pahit, sering kali logikanya kalah dari emosi dan kemarahan. Saya kasihan dengan Bu Sanjaya, mungkin dia sedang menghadapi kehidupan yang berat, makanya jadi seperti itu,” Mak Irah menatap keluar. “Mudah-mudahan kita terhindar dari hal-hal yang bersifat jelek walaupun kita dalam kesusahan. Berharap saja pada Allah. Minta kepadaNya tentang apapun.” Kata Mak Irah lagi. Dalam hati dia berdoa agar Bu Sanjaya diberi kemudahan oleh Allah. (*)
Tentang Penulis
Oli Novedi Santi, lahir di Tebing Tinggi 12 November 1982. Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara. Karyanya telah terbit di beberapa media cetak dan elektronik. Untuk bersilaturahmi silakan berkunjung ke IG @olinovedi atau @olive_ismail82.
“Mak Irah” dan Kesederhanaan Cerita Pendek
(Analisis Cerpen “Mak Irah” Karya Oli Novedi Santi)
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus (DPP) FLP Wilayah Sumatera Barat)
Karya sastra sebagai sebuah hasil cipta manusia sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut Setiawan dan Ningsih (2021) sastra terbentuk dari gabungan bahasa Sanskerta, yakni sas– yang bermakna mengarahkan, memberi petunjuk. Kemudian disertai akhiran –tra yang memiliki makna alat, sarana. Jadi, pengertian sastra ditinjau dari sudut bahasa/ etimologis dapat dimaknai sebagai sarana untuk mengarahkan atau sarana untuk menyampaikan petunjuk. Sementara itu merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara bahasa sastra merupakan karya tulis dengan beberapa ciri khusus yaitu keaslian, keartistikan, keindahan baik isi maupun ungkapannya. Macam sastra secara umum berbentuk roman, cerpen, drama, epik, dan lirik.
Cerita pendek atau yang lazim disebut cerpen merupakan salah satu bagian dari karya sastra. Menurut KBBI cerita pendek adalah karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang atau kejadian dan sebagainya (baik yang sungguh-sungguh terjadi maupun yang hanya rekaan belaka). Secara spesifik cerpen adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi (pada suatu ketika).
Berdasarkan uraian mengenai pengertian cerpen tersebut maka dapat dipahami bahwa cerpen merupakan sebuah prosa yang menceriterakan suatu kejadian secara singkat namun dapat membawa para pembaca seakan mengalami kejadian yang ada di dalam cerita tersebut.
Jacob Sumardjo dan Saini KM (1936) menjelaskan bahwa cerpen yang baik adalah cerpen yang menyajikan suatu cerita utuh dan tunggal sehingga tidak terdapat bagian yang tak perlu, serba pas, satu kesatuan, dan bermakna. Lebih jauh mereka menyampaikan bahwa pengarang menciptakan karakter-karakter, sesuai kondisi dan keadaannya, bersama segala tindakannya sekaligus secara padat.
Sebuah cerpen dapat dikatakan baik jika terdapat unsur-unsur sebagai berikut: (a) mengesankan dan memperkaya batin pembacanya, (b). mengandung alternatif pilihan dalam kehidupan, serta menanamkan makna hidup melalui keindahan yang disuguhkan dan isinya dapat diperanggungjawabkan, (c) mampu mempengaruhi imajinasi pembacanya secara kreatif, (d) isi dan bentuk cerpen mempunyai keserasian sehingga cerpen menarik dibaca dalam waktu yang pendek, (e) ada perkembangan batin sang tokoh utama, mempunyai klimaks dari sesuatu konflik yang terus menerus, serta di dalam konflik itu ditemui seluruh gagasan pengarang. (f) memiliki judul yang menarik sehingga memikat pembaca, dan memiliki kesesuaian dengan isinya.
Secara teoritis, untuk menilai baik buruk sebuah cerpen salah satunya bisa merujuk pada apa yang disampaikan Jacob Sumardjo dan Saini KM tersebut. Kreatika minggu ini menayangkan sebuah cerpen karya Oli Novedi Santi yang berjudul “Mak Irah”. Oli Novedi Santi adalah seorang Pegawai Sipil Negara (PNS) di Deli Serdang, Sumatera Utara. Ia juga pegiat literasi yang aktif menulis berbagai karya sastra seperti cerpen dan puisi.
Cerpen Oli kali ini berjudul singkat yaitu “Mak Irah”. Sebagaimana judulnya, Mak Irah adalah tokoh utama dalam cerpen tersebut. Mak Irah adalah seorang orang tua tunggal karena suaminya pergi dengan Perempuan lain. Mak Irah melanjutkan hidupnya dengan menjual sarapan seperti nasi uduk, lontong sayur, dan gorengan. Mak Irah berdagang demi menghidupi ketiga anak-anaknya yang sudah ditinggalkan Ayah mereka.
Cerita “Mak Irah” ini tidak menceritakan pahit getirnya kehidupan Mak Irah menjanda. Akan tetapi kisah pendek ini tentang bagaimana manusia menghadapi kesulitan dalam hidupnya. Pada bagian terakhir cerita pendek ini penulis menuliskan “Terkadang ketika seseorang dihimpit oleh kenyataan hidup yang pahit, sering kali logikanya kalah dari emosi dan kemarahan.” Kata-kata tersebut merupakan dialog Mak Irah menyikapi Bu Sanjaya yang marah-marah ke warung Bu Irah karena warungnya sepi. Begitulah cerpen ini jika dinilai berdasarkan pendapat Jacob Sumardjo dan Saini KM pada point pertama cerpen ini sudah berhasil menjadi cerita pendek yang mengesankan dan memperkaya batin pembacanya.
Bagian kedua cerpen ini juga sudah mengandung alternatif pilihan dalam kehidupan, serta menanamkan makna hidup melalui keindahan yang disuguhkan dan isinya dapat diperanggungjawabkan. Mak Irah yang pada awalnya menyewa warung Bu Sanjaya diusir oleh Bu Sanjaya, karena Bu Sanjaya iri melihat dagangan Bu Irah laris manis. Bu Irah dengan pasrah pindah ke tempat baru. Tapi ia percaya rezeki manusia sudah ditentukan Yang Maha Kuasa sehingga dengan keyakinan itu dagangan Mak Irah tetap laris manis.
Bagian ketiga, cerpen harus mampu mempengaruhi imajinasi pembacanya secara kreatif. Soal ini tentu subjektif, tergantung pada pembacanya sendiri. Saya dan orang lain tentu berbeda soal imajinasi yang mampu dipengaruhi ini. Tapi setidaknya cerpen Mak Irah tentu mampu mempengaruhi imajinasi pembaca, larut dalam kisah yang pendek ini.
Bagian keempat, isi dan bentuk cerpen mempunyai keserasian sehingga cerpen menarik dibaca dalam waktu yang pendek. Keserasian ini terlihat dari kisah pendek Mak Irah dalam menjalani hidupnya. Ini jelas terlihat karena cerpen ini fokus pada kisah “pendek” dalam sepenggal hidup Mak Irah saja. Cerita tidak melebar kemana-mana, dalam hal ini penulis berhasil menyuguhkan cerita pendek itu sebagaimana pengertiannya, yaitu menyajikan kisah yang pendek dalam hidup manusia.
Sementara itu bagian kelima ada perkembangan batin sang tokoh utama, mempunyai klimaks dari sesuatu konflik yang terus menerus, serta di dalam konflik itu ditemui seluruh gagasan pengarang. Cerita pendek Mak Irah ini walau tidak sempurna setidaknya dari aspek ini sudah berusaha menyuguhkan perkembangan batin tokoh tersebut. Awalnya Mak Irah sempat galau karena mendadak disuruh keluar dari warung Bu Sanjaya yang dikontraknya, tapi dalam waktu yang tidak lama ia mampu memahami bahwa hidup tidak harus berhenti karena persoalan yang dihadapi itu. Melalui tokoh Siti semabagai asisten Mak Irah dan sebagai pembantu tokoh utama dalam cerpen itu Mak Irah mampu menemukan makna hidup sesungguhnya; ia harus berjuang.
Terakhir terkait dengan cerpen harus memiliki judul yang menarik sehingga memikat pembaca, dan memiliki kesesuaian dengan isinya cerpen “Mak Irah” ini mungkin tidak memenuhi syarat ini. Penulis memberi judul cerpennya dengan sederhana “Mak Irah” sesederhana ceritanya. Akan tetapi walaupun sederhana setidaknya judul ini sudah mampu memberi gambaran tentang apa yang akan diceritakan di dalam cerpen ini.
Begitulah kisah singkat tentang cerpen “Mak Irah” karya Oli Novedi Santi ini. Kisah sederhana yang menarik, ditulis dengan teliti dan tentu penuh kesabaran dalam merangkai kisahnya. Semoga ke depan lahir karya-karya lainnya dari Oli. (*)
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerjasama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com
Discussion about this post