Oleh: Ria Febrina
(Dosen Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Berjalan-jalan di Yogyakarta tidak hanya ke Malioboro, Tugu, dan Keraton. Ada wisata alam yang mengundang decak kagum saat melihatnya. Salah satunya adalah Pantai Drini. Pantai ini masih dijuluki pantai perawan karena jumlah pengunjungnya memang tidak sebanyak di Pantai Parangtritis. Lokasinya juga terpencil sehingga tidak banyak yang tahu lokasi ini.
Inilah sebabnya saya terkejut ketika suatu hari seorang teman mengajak kami ke Pantai Drini. Pertama, kami terkejut karena pesan yang dititipkan sebelum berangkat. “Kita berangkat pukul empat pagi ya!” Saya tertawa karena dalam pengalaman saya berkunjung ke Pantai Padang dan Pantai Pariaman di Sumatera Barat, tidak pernah ada yang berangkat ke pantai pukul empat pagi. Saya juga tertawa karena teman ini termasuk yang kocak dan punya banyak guyonan. Saya pikir dia bercanda.
“Habis subuh bagaimana?,” ujar saya saat suasana menjadi serius.
Saya sulit membayangkan membangunkan empat orang anak kecil (dua anak saya dan dua anak teman saya) bangun pukul empat pagi. Maklum, saya masih orang tua yang memakai prinsip, mandi sebelum berangkat. Namun, kami lagi-lagi dibuat terkejut saat saya dijemput. Kami berempat sudah selesai mandi, sedangkan anak-anak mereka digendong dalam keadaan tidur pulas. Mereka pun bepergian dengan baju santai.
Sepanjang perjalanan, dengan mata yang masih agak mengantuk, kami membahas perjalanan yang awalnya pukul empat ini. Saya menemukan jawabannya saat tiba di Pantai Drini pada pukul tujuh pagi. Butuh dua jam lebih untuk tiba di pantai ini karena ternyata jaraknya 60 km dari Kota Yogyakarta. Kami melewati jalan yang mendaki, berbelok tajam, dan wilayah yang masih sepi dari rumah penduduk. Salah satu pantai di wilayah Kabupaten Gunung Kidul ini benar-benar menjadi hidden gem atau destinasi wisata yang tersembunyi.
Hal kedua yang membuat saya terkejut adalah, saat kami tiba di sana, bus-bus besar yang membawa wisatawan lokal sudah parkir dengan tertib. Mobil-mobil pribadi juga sudah berjejer rapi. Kedatangan kami pukul tujuh ternyata tidak berarti menjadi pengunjung pertama. Ternyata banyak yang tiba di pantai ini saat hari masih subuh.
“Kita harus datang pagi agar bebas bermain sebelum pengunjung ramai dan cuaca juga belum terlalu panas,” jawab teman saya ketika mengungkapkan alasan harus pergi pukul empat pagi. Benar adanya, baru pukul tujuh pagi, ternyata pantai sudah ramai. Yogyakarta memang tidak pernah sepi. Saya lupa tengah berada di negeri yang ramai wisatawan ini. Harusnya manut dan percaya saja sejak awal, tapi ini menjadi pengalaman berharga. Setelah kunjungan pertama ini, saya akan mempersiapkan diri datang lebih awal.
Dari tempat parkir, kami pun berjalan ke arah pantai. Di kiri kanan jalan banyak pondok-pondok makanan yang menyajikan olahan ikan yang langsung ditangkap dari pantai. Lauknya begitu segar. Di pondok itu juga sudah ada yang menikmati sarapan. Kami tentu melewatinya karena ingin melihat Pantai Drini yang konon katanya amat cantik ini. Di ujung pondok-pondok itu, ada tangga yang harus dilewati agar kami bisa turun ke arah pantai.
Saat kaki menginjak pasir pantai, mata saya dibuat terpana kala memandang ceruk pantai yang seolah-olah berada di antara dua pulau. Satu pulau merupakan bagian dari daratan, satu lagi merupakan pulau karang yang berdiri dengan gagahnya melindungi ceruk ini dari ganasnya ombak Laut Selatan. Di balik pulau karang tersebut terhampar laut luas yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Bak kata orang di sana, ceruk ini seperti menyuguhkan daerah timur dan barat menjadi dua daerah yang beda karakter. Ceruk di bagian timur merupakan sisi yang tenang dan lembut, sedangkan pantai di bagian barat merupakan sisi yang garang dan ganas.
Di bagian timur ini merupakan sebuah laguna yang elok. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, laguna adalah ‘danau air asin dekat pantai yang dahulu merupakan bagian laut (yang dangkal), yang karena peristiwa geografi terpisah dari laut’. Wilayah ini amat terjaga dari amukan ombak yang ganas.
Sungguh saya bergidik ngeri saat melihat ombak di bagian baratnya. Ombak-ombak begitu garang dan amat menakutkan. Kondisi ini berbeda dengan ombak di Pantai Padang dan Pantai Pariaman. Masih berirama, mengalun pelan. Tidak seganas di Pantai Yogyakarta. Itulah mengapa sejak di Yogyakarta, beruntun saya mendengar banyak pengunjung yang terbawa arus, hanyut, hingga meninggal dunia di Pantai Parangtritis. Itu pula sebabnya kami diajak ke Pantai Drini yang memiliki laguna ini. Aman untuk anak-anak dan mereka bisa bebas bermain air laut.
Di laguna Pantai Drini ini, saat matahari mulai naik, kita bisa menikmati mandi hangat air asin. Kita bak berada di bath tub raksasa kala tubuh berendam di dalamnya. Anak-anak juga senang sekali. Mereka bisa bermain pasir pantai yang berwarna putih. Dengan aneka mainan cetak pasir, mereka bisa membangun istana. Setelah bosan, anak-anak berlari-lari kecil ke bibir pantai dan mengambil air laut untuk menghancurkan kembali istana yang dibangun tersebut.
Tidak perlu risau dengan barang-barang yang dibawa. Di bagian darat, tidak jauh dari kano-kano tertambat, ada banyak tikar yang digelar. Pengunjung yang datang lebih awal dapat duduk gratis di tikar tersebut setelah menyewa satu buah kano. Harga sewa kano cukup murah. Hanya Rp50.000,00. Kita bebas memakai kano seharian. Namun, pengunjung yang datang agak telat, harus antre bergantian dengan pengunjung yang datang lebih awal.
Jika tikar-tikar di tepi pantai penuh, kita bisa menyewa gazebo yang berada di belakangnya. Gazebo itu milik kafe-kafe di pinggir pantai. Namun, gazebo tersebut berbayar per jam. Kami yang baru pertama kali datang, terlanjur menyewa gazebo sembari memesan kelapa muda. Kami memanfaatkan gazebo tersebut sebagai tempat untuk sarapan. Teman saya sudah memasak dini hari. Mereka membawa nasi yang dibungkus daun pisang, serta lauk-pauk yang mengunggah selera untuk dinikmati di tepi pantai.
Anak-anak yang matanya baru melek pun senang menikmati waktu sembari sarapan di gazebo ini. Apalagi, kami juga membawa teh hangat dalam termos travel. Perut mereka menjadi hangat di antara hembusan angin pantai yang kencang dan dingin. Selepas sarapan, itulah saatnya kami menikmati bermain air laur, berendam, dan bermain kano. Saat kano sudah disewa, kami memindahkan barang-barang berupa cemilan dan barang beharga, seperti dompet dan kunci mobil ke atas tikar gratis yang diberikan. Barang-barang lain, seperti baju ganti, handuk, dan perlengkapan mandi, kami titip di loker penitipan tas yang berada dekat kafe-kafe tadi. Di dekat kafe memang banyak fasilitas, seperti kamar mandi untuk bilas, toilet, loker penitipan barang, dan warung kecil yang menyajikan makanan dan minuman hangat.
Kano pun bebas dipakai sepuasnya. Jika lelah, kita bisa istirahat sejenak. Kano bisa dipakai dulu oleh pengunjung lain. Jika tiba-tiba kita ingin bermain lagi, kita boleh mengabari pemilik kano dan kemudian bermain lagi sepuasnya. Nyaman sekali dengan sistem ini. Itulah sebabnya Pantai Drini menjadi salah satu tempat wisata yang saya suka di Yogyakarta.
Bermain kano tentu menjadi tantangan bagi saya. Saya belum pernah naik kano sebelumnya. Awalnya saya menyaksikan anak-anak bermain dengan ayahnya. Lalu, saya minta diajak naik berdua. Saya menyaksikan suami mendayung kano dengan pelan hingga ke ujung ceruk, sampai batas tali yang menjadi pembatas bagi kami, para pengunjung. Saya yang sangat suka berpetualang, merasa tertantang. Saya kemudian memutuskan bermain kano sendirian.
Pelan-pelan saya naik kano, mendayung pelan ke tengah, mengatur laju kano agar bisa melawan arus ombak, dan hingga akhirnya saya bak berlayar sendiri di tengah laut. Seru sekali. Saat sampai ke bagian tengah, jauh dari pengunjung di bibir pantai, saya menatap mereka dengan bangga. Saya bisa bermain kano. Meskipun tidak sampai ke pembatas tali, saya menikmati waktu sejenak di atas kano ini. Saya diam dan membiarkan kano melayang pelan dibawa air laut. Begitu membahagiakan. Saya benar-benar kagum dan menikmati pemandangan langit, pulau karang, air laut, dan keindahan alam di Pantai Drini.
Setelah puas menaiki kano, saya menepi dan menghampiri anak-anak yang bermain pasir dan air laut. Saya ikut berendam bersama mereka hingga waktu tengah hari. Setelah itu, kami mandi dan membilas tubuh di salah satu pondok yang menyajikan makanan laut tadi. Kami memesan beberapa menu, seperti ikan saus padang, ikan dan udang bakar, serta air jeruk dan kelapa muda.
Sembari makanan dimasak, kami mandi di kamar bilas yang berada tepat di sebelah dapur mereka. Kala makanan datang, anak-anak langsung mencicipi. Tak lupa mereka juga memesan pop mie untuk menghangatkan tubuh yang kedinginan. Saya dan teman saya juga menyantap dengan nikmat semua makanan yang tersedia. Puas rasanya berkunjung ke Pantai Drini dan menikmati makan siang yang enak ini.
Setelah menutup waktu di Pantai Drini, ada satu lagi yang kami tunggu. Belanja belalang goreng. Awalnya saya bergidik membayangkan makan belalang. Namun, teman saya bersikeras. “Cobalah. Enak.” Kami tersenyum-senyum saja mendengarnya. Saat mobil melaju keluar dari Pantai Drini menuju jalan raya besar, kami melihat banyak pondok kecil di pinggir jalan. Mereka menjual belalang goreng dalam toples kue. Ada yang gurih dan ada yang pedas.
Karena kami belum terbiasa, teman kami hanya membeli masing-masing satu kotak saja. Bersama anak-anak, kami menikmati dengan geli. Kami dengan ragu-ragu memasukkan belalang goreng ini ke dalam mulut. Namun, siapa sangka. Setelah belalang goreng dikunyah dan berbunyi kriuk, ternyata enak sekali. Belum sampai di jalan raya utama, belalang goreng itu lenyap seketika.
Sayang sekali, kami hanya membeli dua kotak saja. Mau kembali ke lokasi, jaraknya sudah jauh. Kami terpaksa bertekad dalam hati. Kunjungan berikutnya harus membeli banyak belalang goreng dari sini. Belalang goreng memang menjadi oleh-oleh khas dari pantai-pantai yang berada di Kabupaten Gunung Kidul, khususnya di lokasi sekitar Pantai Drini. Sejenak kami memang lupa, dima langik dijunjuang, di situ bumi dipijak. Kami harusnya dari awal percaya. Datang lebih awal dan menikmati belalang goreng yang ditawarkan. Akan tetapi, tidak apa. Kami semakin ingin ke Pantai Drini lagi.
Discussion about this post