Oleh: Ronidin
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Pertama melaksanakan puasa Ramadan di Yogyakarta, saya ogah-ogahan sahur. Saya dibangunkan teman pukul tiga dini hari. Dalam pikiran saya, waktu sahur masih lama. Jika di Padan, saya biasa sahur menjelang waktu imsak pukul setengah lima, di Yogyakarta imsak lebih cepat, pukul empat lewat-lewat sedikit. Makan sahur pertama saya di Yogyakarta pada waktu itu terasa seperti makan kayu lapuk. Tidak ada rasa. Apalagi menunya bukan nasi padang, melainkan nasi jawa. Sehari dua hari saya merasakan gegar budaya antara berpuasa di Padang dengan di Yogyakarta. Selepas itu, saya sudah terbiasa. Saya bisa menyesuaikan diri.
Ramadan tahun kedua di Yogyakarta, saya tidak lagi sendiri. Istri saya telah saya boyong dari Padang. Saya pindah kos dari wisma dosen-dosen Unand di Jalan Pandega Mandala Jakal KM lima koma enam ke kontrakan baru di Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan. Di kontrakan baru ini lebih enakan. Kontrakan saya hanya berjarak sepemanggilan ibu terhadap anaknya yang sedang bermain, hanya berjarak tiga rumah dari Masjid As Salam di kompleks pedukuhan itu. Suara speaker masjid menggema di telinga kami sekeluarga.
Ada yang unik ketika petugas masjid membangunkan jemaah untuk makan sahur di lingkungan Jetisharjo ini. Semula saya mengira itu suara azan, ternyata panggilan untuk makan sahur yang dibuat seperti irama azan. Mendayu-dayu bunyinya. Kalau di Padang kata “sahur” diteriakkan tidak terlalu panjang, tetapi di sini diteriakkan sepanjang-panjangnya, sehabis-habis napas orang yang meneriakkannya. “Sahuuuuuur… sahuuuuuur…. sahuuuuuur,” seperti irama azan. Panggilan sahur itu bersahut-sahutan antara satu masjid dengan masjid lainnya.
Selain panggilan sahur, ada hal unik lainnya yang hendak saya ceritakan mengenai puasa Ramadan yang saya jalani di Yogyakarta. Sebenarnya yang hendak saya sampaikan itu sudah tersirat pada judul tulisan ini: Sepertiga Ramadhan Mengkonsumsi Sayur Kangkung. Kok bisa? Berikut ceritanya.
Lebih sepertiga Ramadan menu berbuka kami tidak berganti dari sayur kangkung. Bukan karena tidak ada sayur lain, bukan pula karena kami tidak suka sayur lain. Entahlah, saya tidak ingat persisnya, tapi ini ada hubungannya dengan si penjual sayur kangkung itu. Seorang nenek sepuh di emperan trotoar di depan Pasar Kranggan, sebuah pasar tradisional di Jalan Pangeran Diponegoro, sebelah barat Perempatan Tugu, Yogyakarta. Seingat saya, di sepanjang trotoar itu berderet-deret perempuan sepuh menggelar dagangan mereka berebut pembeli. Macam-macam yang mereka jual di sana, seperti sayur, buah, kue kering tradisional, makanan khas Yogyakarta, dan lain sebagainya.
Suatu sore di bulan Ramadan, saya berbelanja ke Pasar Kranggan berdua dengan anak laki-laki saya. Bukan dengan istri saya. Istri saya di kontrakan menunggu belanjaan saya. Saya dan istri saya telah berbagi tugas. Saya berbelanja, dia yang memasak. Saya ke Pasar Kranggan dengan sepeda motor. Sesampai di sekitaran pasar itu, saya urung masuk ke dalam pasar karena di trotoar ramai pedagang yang menggelar dagangan mereka. Saya membeli sayur kangkung pada nenek yang sedang saya ceritakan. Saya tertarik membeli sayur kangkungnya karena terlihat masih segar walaupun waktu itu hari sudah sore. Besoknya saya membeli lagi padanya. Besoknya lagi juga. Hari selanjutnya saya hanya melewati si nenek penjual sayur itu karena saya ingin membeli sayur sawi. Rupanya nenek itu sudah menyisihkan sekebat sayur kangkung untuk saya. Terpaksa saya membelinya lagi. Begitu seterusnya hingga setiap hari selalu ada sayur kangkung pada menu berbuka kami.
Selain menjual sayur, nenek sepuh itu juga menjual salak pondoh. Masih segar dan bertangkai-tangkai. Katanya, salak-salak itu dibawa langsung dari kebunnya di Turi, Sleman. Saya membelinya beberapa kali. Salaknya manis. Oya, di kawasan Turi di Sleman memang terdapat banyak kebun salak. Tidak hanya salak pondoh, tetapi juga varian yang lain. Jika Dunsanak ke Yogyakarta, bisa menikmati wisata petik salak pondoh langsung dari pohonnya di beberapa tempat di Turi, Sleman. misalnya di Desa Wisata Agro Bangunkerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Lokasi bisa dicek di google map. Jika Dunsanak ke sini, suasananya adem dan sejuk karena berada di ketinggian dan menampilkan nuansa pedesaan yang khas. Kebun salak terhampar sejauh mata memandang. Pengunjung bisa petik sendiri dengan membayar uang masuk. Paket makan di tempat dengan paket bawa pulang berbeda harga tiketnya.
Kembali ke nenek sepuh di Pasar Kranggan yang tidak saya ingat lagi namanya, saya menjadi takjub dengan semangat hidupnya. Pada usia yang sudah renta, dia masih tegar berjuang mencari recehan, datang jauh-jauh dari pelosok Yogyakarta membawa berbagai jenis dagangan dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Kadang, timbul rasa kasihan kita padanya. Ingin rasanya kita membeli semua yang ditawarkannya agar dia bisa segera pulang, berkumpul bersama keluarganya, berbuka puasa di rumah, bukan di jalan atau di emperan toko. Akan tetapi, perempuan-perempuan itu menolak dikasihani. “Selagi masih bisa berusaha, kami tidak akan tidur-tiduran di rumah,” katanya. “Profesi ini telah kami jalani selama berpuluh tahun,” katanya lagi.
Terakhir, saya mendapat berita bahwa keberadaan perempuan-perempuan tua di sepanjang trotoar Pasar Kranggan telah direlokasi. Pasar Kranggan pun direnovasi. Perempuan-perempuan tua yang berdagang di trotoar dianggap sebagai pedagang ilegal yang membuat pedagang resmi di dalam Pasar Kranggan merugi. Lagi pula banyak orang lebih suka berbelanja pada mereka dari pada harus masuk ke dalam pasar. Sayur dan buah dari para perempuan-perempuan pedagang tua itu terlihat masih segar dan alami karena dipetik sendiri dari kebun-kebun para penjualnya. Akan tetapi, nasib perempuan-perempuan itu tidak seperti sayuran mereka. Jika sayur mereka terlihat masih segar ketika hari sudah beranjak sore karena baru dipetik paginya dari kebun-kebun mereka, tidak demikian dengan nasib mereka yang semakin layu sesuai dengan pertambahan usia. Juga kebijakan pemerintah dalam tata kelola pasar tradisional ke manajemen moderen.
Begitulah, fenoeman perempuan-perempuan tua di pasar-pasar tradisional di Yogyakarta agaknya menyentuh relung-relung nurani kita. Di tengah hiruk pikuk banyaknya pejabat di negeri ini beserta anggota keluarganya sibuk flexing, perempuan-perempuan tua itu berjibaku mencari selembar dua lembar receh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada perempuan-perempuan tua yang menjadi pedagang serabutan di trotoar-trotoar pasar tradisional, seperti yang saya temui di Pasar Kranggan. Ada pula di antaranya yang menjadi buruh panggul alias buruh gendong. Usia tua tidak menghalangi mereka untuk bekerja menguras fisik sedemikian itu.
Jika Dunsanak ke Pasar Beringharjo, Yogyakarta di kala subuh menyingsing, maka Dunsanak akan bertemu dengan perempuan-perempuan sepuh seperti Mbah Siyem (68), Mbah Wagirah (70), dan puluhan Mbah lainnya yang menjadi buruh gendong atau buruh panggul. Perempuan-perempuan tua itu berasal dari berbagai daerah di sekitar Kota Yogyakarta seperti Kulonprogo. Mereka sudah melakoni profesi itu sejak puluhan tahun yang lalu. Walaupun sudah sepuh, mereka tidak mau diam di rumah karena mereka merasa bangga mendapatkan uang dari hasil keringat sendiri dari pada menjadi peminta-minta.
Satu keunikan lainnya di penghujung Ramadan yang saya temukan di Yogyakarta adalah fenomena pengemis yang berbaris berjejer di sepanjang jalan menuju lokasi salat Idulfitri, 1 Syawal. Mereka berbaris teratur di sisi kiri-kanan jalan. Jika kita memberi kepada satu pengemis, pengemis lain di sebelahnya juga akan meminta. Begitu seterusnya seperti efek mata rantai sampai kita tuntas melewati semua jejeran pengemis itu. Tak apalah, yang penting di hari raya, semua kita tersenyum bahagia. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post