Puisi-puisi Eva Hairani
Tidak Akan Sama
Aku buka kembali sajak-sajak itu
Dan menemukan kita yang tak lagi utuh
Entah di mana dirimu yang pernah
menjadi tubuh dalam puisiku?
Masih adakah rindu yang tersisa
untuk sekedar merangkai kata yang patah?
Walau hanya untuk merayakan duka
pada bait-bait aksara
Aku kehilangan ruh di dalam setiap tulis
Bahkan seringkali mengemis inspirasi
Namun kosong
Hanya melahirkan rasa pesimis
Tidak akan kembali …
Tidak akan sama …
Ajari aku melupakanmu.
Tangan yang Terulur
Saat aku terjatuh
orang-orang terdekat justru mendorongku
masuk lebih dalam ke dasar kehancuran
Senyum perlahan pudar
putus asa yang tak tertakar
Tapi satu tangan menarikku
meyakinkanku tak semua orang
datang hanya untuk menyakiti
Memberiku harapan atas patah yang kurasakan
katanya luka-luka itu bisa disembuhkan
Kini aku tak ragu lagi menyambut uluran tangannya
aku yakin orang-orang baik masih banyak berperan
Aku sangat bersyukur
dikelilingi orang-orang berhati lembut
Orang-orang yang tanpa pamrih
selalu menolong yang jatuh
terima kasih telah memberiku
perasaan dilindungi
dan selalu ada di sisi.
Tuan, Aku, dan Kita
Tuan,
Kamu belum sepenuhnya mengajariku tentang aksara
Tentang bagaimana sebuah imajinasi khayal
Tergambarkan begitu saja
Aku belum mengerti
Kenapa tulisanmu menghidupkan rasa penasaran
Entah kesedihan seperti apa
Hingga Tuan mampu menjabarkannya dalam satu kalimat luka
Aku hanya belum mengerti
Kenapa kehilanganmu bisa semenyakitkan ini
Tuan,
Ajarkan aku lagi
Ajarkan aku memilih diksi yang sempurna
Untuk mendeklarasikan hancurnya kita.
Eva Hairani, saat ini bersekolah di SMK Negeri 1 Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara. Eva termasuk penulis pemula asuhan tim inovasi WAPER Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Serdang Bedagai.
Mengeja Tubuh Puisi

Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Tuan,
Ajarkan aku lagi
Ajarkan aku memilih diksi yang sempurna
Untuk mendeklarasikan hancurnya kita.
Karya sastra merupakan gambaran kehidupan manusia. Lahirnya karya sastra tergantung dari situasi dan kondisi tertentu, juga dapat ditentukan oleh sisi pandangan dan daya tangkap seorang sastrawan terhadap realitas yang ada di tengah kehidupan ini. Terkadang lahirnya sebuah karya sastra disebabkan oleh reaksi tertentu terhadap lingkungan. Berkenaan dengan hal itu, dikatakan oleh Umar Yunus bahwa, sebuah karya sastra pada hakekatnya mungkin merupakan reaksi terhadap suatu keadaan (Yunus, dalam Satyagraha, 1985). Adanya karya sastra karena ada hal-hal tertentu yang menyebabkan lahirnya karya itu. Di samping itu, karya sastra bukanlah sebuah karya yang tidak memiliki makna, tetapi sebenarnya di dalam karya sastra sudah dituangkan ide, pesan, semangat, dan nilai-nilai tertentu yang bermanfaat bagi pembaca.
Puisi tidak disusun dengan komponen-komponen informasi aktual layaknya berita atau artikel penelitian, namun sebagai sebuah karya kreatif, puisi tetap lahir dari observasi penulis terhadap fenomena kehidupan, bersandar pada referensi dan larutan informasi yang dimiliki sang kreator. Karya sastra bersifat mimetik atau tiruan dari realitas (Abrams 1981 :89). Akan tetapi, sebagai karya seni, seorang penyair perlu juga memperhatikan aspek estetika dari karya yang diciptakannya. Dalam hal ini, sebuah puisi perlu mempertimbangkan penggunaan diksi, simbol, metafora, dan keelokan bunyi sehingga pembaca tidak hanya mendapatkan pencerahan, namun juga kenikmatan puitik.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya Eva Hariani. Ketiga puisi tersebut berjudul “Tak Akan Sama”, “Tangan yang Terulur”, dan “Tuan, Aku, dan Kita”.
Puisi pertama, “Tidak Akan Sama” bertutur tentang seseorang yang kehilangan sosok yang pernah menginspirasinya. Kehilangan tersebut menyebabkannya seperti tak mempunyai ruh lagi di dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Eva mengumpamakan kehidupan itu sebagai puisi yang tengah ditulis. Momen kehilangan tersebut membuat puisi kehidupannya menjadi tidak utuh. Eva menulis ‘Aku buka kembali sajak-sajak itu/ Dan menemukan kita yang tak lagi utuh/ Entah di mana dirimu yang pernah/ menjadi tubuh dalam puisiku?/ Masih adakah rindu yang tersisa/ untuk sekedar merangkai kata yang patah?’ Kehilangan tanpa kabar berita tentu menyebabkan gundah gulana karena sesuatu yang dulu terasa sempurna kini tak lengkap lagi.
Secara harfiah, puisi ini juga dapat dimaknai tentang sesorang yang kehilangan nilai-nilai esensi di dalam karya tulis yang dibuatnya. Hal ini merupakan masalah yang kerap dialami penulis manakala stagnan di dalam perkembangan kualitas tulisannya. Ia merasa apa yang ditulisnya tidak menunjukkan ada kemajuan, seperti hanya menulis omong kosong belaka. Eva menulis ‘Aku kehilangan ruh di dalam setiap tulis/ Bahkan seringkali mengemis inspirasi/ Namun kosong/ Hanya melahirkan rasa pesimis/ Tidak akan kembali …/ Tidak akan sama …’ Di dalam proses kreatif, ada masanya seorang penulis menyadari masalah substansi atau kualitas karya yang dihasilkannya. Ketika terjadi kemerosotan, itu adalah krisis yang perlu diatasi.
Aktualisasi diri adalah salah satu kebutuhan manusia, untuk itu seseorang berusaha mencapainya. Hal ini sesuai dengan pendapat Maslow yang menggambarkannya sebagai ‘hierarki kebutuhan’. Aktualisasi diri merupakan proses yang menyenangkan. Menjalani hidup dengan tujuan yang jelas dan jujur tentang apa yang kamu inginkan adalah tanda bahwa kamu memperlakukan diri sendiri sebagai orang yang utuh. Maslow dalam teorinya juga menjelaskan contoh dari aktualisasi diri, misalnya seorang musisi harus membuat musik, seorang seniman harus melukis, dan seorang penyair harus menulis jika ingin mendapatkan kebahagiaannya. Seorang seniman mungkin tidak mendapatkan untung yang besar dari karya seninya, tetapi ia tetap melukis atau membuat karya untuk membuat dirinya lebih bahagia.
Puisi kedua, “Tangan yang Terulur” mengungkapkan relasi sosial yang menunjukkan keterlibatan rasa simpati. Adanya perasaan simpati dan empati membuat orang akan memedulikan orang lain. Hal itu akan membuat orang yang tengah mengalami masalah akan merasa diperhatikan dan bebannya akan berkurang. Sebaliknya, ketika orang-orang yang ada di sekitar tidak menunjukkan kepedulian, orang tersebut akan semakin terpuruk di dalam masalahnya. Orang yang bersedia mengulurkan bantuan, kehadirannya layaknya pahlawan, seperti ini: ‘Tapi satu tangan menarikku/ meyakinkanku tak semua orang/ datang hanya untuk menyakiti/ Memberiku harapan atas patah yang kurasakan/ katanya luka-luka itu bisa disembuhkan.’
Sikap peduli pada sesama manusia akan menciptakan suasana kehidupan sosial yang bersahabat sehingga para penghuni akan merasa damai dan nyaman. Saling dukung dan saling menghargai akan menumbuhkan atmosfer positif yang sangat penting dalam membangun insan-insan yang sehat jiwa dan raganya. Perasaan didukung dan dilindungi adalah kebutuhan, seperti yang diungkapkan dalam larik berikut: ‘Aku sangat bersyukur/ dikelilingi orang-orang berhati lembut/ Orang-orang yang tanpa pamrih/ selalu menolong yang jatuh/ terima kasih telah memberiku/ perasaan dilindungi’.
Dukungan sosial merupakan faktor eksternal yang memiliki peranan dalam meningkatkan motivasi belajar, bekerja, atau mengembangkan kreativitas. Dukungan sosial berupa adanya orang-orang yang memperhatikan, menghargai, dan mencintai memberikan pengaruh positif terhadap remaja atau generasi muda yang sering mencoba-coba berbagai hal karena sedang berada dalam fase mencari jatidiri. Kurangnya dukungan sosial menyebabkan perasaan-perasaan negatif seringkali muncul sehingga motivasi belajar tidak mengalami peningkatan, lemahnya inisiatif, dan kurang menggali potensi diri yang dimilki.
Puisi ketiga, “Tuan, Aku, dan Kita” menukik ke relasi dua orang yang mempunyai hubungan khusus. Puisi ini memiliki kesamaan nuansa dengan puisi pertama dan juga bertutur tentang kehilangan. Hubungan khusus tersebut terjalin di dalam romantisme membuat tulisan, ‘Aku belum mengerti/ Kenapa tulisanmu menghidupkan rasa penasaran/ Entah kesedihan seperti apa/ Hingga Tuan mampu menjabarkannya dalam satu kalimat luka’. Aku lirik sangat mengagumi si tuan yang mahir menuangkan perasaan ke dalam kalimat yang mengguncang emosi. Aku lirik seperti kagum sekaligus cemburu pada kemampuan si tuan yang begitu luar biasa.
Dengan cerdik, Eva membelokkan kekaguman dan kecemburuan tersebut dengan pembelajaran ironis, yakni kehilangan. Larik ‘Aku hanya belum mengerti/ Kenapa kehilanganmu bisa semenyakitkan ini’ menjadi puncak relasi aku lirik dan si tuan. Kenyataan tidak sesuai dengan angan-angan. Kenyataan yang terlalu sulit untuk diterima sehingga aku lirik merasa semuanya telah hancur: ‘Tuan,/ Ajarkan aku lagi/ Ajarkan aku memilih diksi yang sempurna/ Untuk mendeklarasikan hancurnya kita.’ Apakah si tuan juga merasa hancur? Entahlah. Dengan kondisi semenyakitkan itu, aku lirik masih tetap berharap si tuan datang untuk mengajarinya apa yang belum tuntas.
Puisi adalah ungkapan suara hati; Suara hati penyair sebagai seorang pribadi yang memiliki persoalan dalam kehidupananya, atau pada jangkauan yang lebih luas, puisi dapat menjadi media gagasan penyair untuk menyampaikan respons terhadap kondisi yang terjadi di lingkungan sekitar atau dunia. Sebab itulah, puisi sering muncul pada waktu paling sunyi, ketika jarak antara jiwa dan realitas sangat tipis. Penyair seolah mengalami ekstase sehingga apa yang bersuara di lubuk terdalam jiwanya mengalir ke dalam rangkaian kata-kata
Puisi Eva membuat kita larut dalam gejolak perasaan. Perasaan sedih, atau mungkin bahagia karena apa yang menyesak di dada telah dilepaskan. []
Tentang Kreatika

Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post