Oleh: Siti Rubaiah Al Adawiyah
(Mahasiswi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Kesusastraan Indonesia terus mengalami perkembangan dalam setiap waktunya. Pembaharuan demi pembaharuan hadir mewarnai perjalanan kesusastraan Indonesia, mulai dari munculnya penulis baru, berbagai genre karya sastra baru, tema tulisan yang beragam, hingga media untuk menerbitkan karya yang semakin bervariasi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang muncul pada setiap masa dalam berjalannya waktu yang mengiringi perkembangan kesusastraan Indonesia.
Dalam setiap periode, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masyarakat sangat berpengaruh terhadap kesusastraan Indonesia, seperti permasalahan yang terjadi pada tahun 50-an yang terangkum dalam buku Sejarah Sastra Indonesia yang ditulis oleh Rosida Erawati dan Ahmad Bahtiar. Pada sekitar tahun 1953-1954 terjadi krisis sastra yang dikemukakan oleh beberapa tokoh kemudian juga dibantah oleh sebagian tokoh lainnya.
Krisis sastra menurut Soejatmoko terjadi dikarenakan karya sastra pada masa ini hanya seputar kondisi psikis perseorangan yang termuat pada cerpen-cerpen kecil sehingga menyebabkan sastra Indonesia mengalami krisis karena tidak adanya karya berupa roman-roman besar. Krisis sastra Indonesia diakibatkan oleh minimnya buku yang terbit pada periode ini. Penerbitan pada masa ini mengalami banyak kesulitan. Seperti yang terjadi pada penerbitan Balai Pustaka yaitu kesulitan keuangan serta transisi pemimpin yang keahliannya tidak mumpuni. Dalam menghadapi permasalahan yang terjadi pada penerbitan di masa itu, para sastrawan beralih untuk menulis di majalah. Selain itu, dalam buku Puisi Indonesia Tahun 1950-an, dijelaskan bahwa penyebab lain dari persoalan krisis sastra adalah minimnya penciptaan puisi kebaharuan setelah meninggalnya Chairil Anwar pada tahun 1949.
Dalam buku Sejarah Sastra Indonesia yang ditulis oleh Rosida Erawati dan Ahmad Bahtiar, diketahui salah satu majalah yang hadir pada periode 50-an adalah majalah yang diterbitkan oleh Soedjati S.A. dengan redaksi Idrus, H.B Jassin, dan M. Balfas yang bernama majalah Kisah. Majalah ini menyediakan ruang untuk tulisan para pengarang baru berupa cerpen, esai, sajak, dan tulisan lainnya. Majalah Kisah telah menerbitkan 13 cerita terbaik dengan Judul Kisah: 13 Judul Cerita Indonesia (1955) yang juga diterbitkan dalam bahasa Belanda. Salah satu pengarang yang lahir dengan menulis di majalah Kisah di antaranya adalah A.A. Navis yang menulis kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1956). Selain itu, terdapat juga penyair yang berkembang salah satunya adalah W.S. Rendra. Keterbatasan ruang pada majalah mengakibatkan terbatasnya tulisan yang dimuat. Hal ini adalah latar belakang adanya istilah ‘Sastra Majalah’ yang dicetuskan oleh Nugroho dalam tulisan yang dimuat dalam majalah Kompas, yaitu “Situasi 1954”.
Peristiwa yang terjadi pada masa ini cukup menarik, yaitu peristiwa penting dalam kesastraan Indonesia berupa krisis penciptaan karya sastra. Meskipun banyak pertentangan antara tokoh-tokoh pada masa ini, dapat diketahui bahwa karya sastra masih dihasilkan pada masa ini dengam bentuk yang berbeda dari periode-periode sebelumnya. Terlebih kehadiran media alternatif selain penerbitan untuk memuat karya sastra berupa majalah menyebabkan karya lebih singkat karena menyesuaikan dengan ruang yang disediakan. Hal ini bukanlah suatu kemunduran mengingat situasi sulit yang terjadi terhadap banyak penerbitan sehingga membuat ruang untuk memuat karya sastra menjadi minim. Menulis di majalah justru menjadi penyelamat bagi para penulis untuk tetap menghasilkan karya sastra.
Jika pada periode 50-an terdapat persoalan berupa krisis sastra hingga munculnya istilah sastra majalah, fenomena yang terjadi pada periode 70-an sampai 90-an juga tidak kalah menarik dalam mewarnai perjalanan kesusastraan Indonesia. Pada periode 70-90-an Indonesia sudah mengalami kehidupan yang lebih baik dari berbagai aspek. Dilansir dari tirto.id, pada masa tersebut Indonesia sedang menikmati ekonomi yang baik karena harga minyak mahal. Meskipun telah mengalami penurunan harga minyak, pemerintah terus melakukan beragam upaya seperti devaluasi dan deregulasi sehingga ekonomi Indonesia terus stabil.
Situasi ekonomi, politik, dan sosial yang lebih baik dari periode-periode sebelumnya menghadirkan banyaknya karya sastra dan media pemuatan karya sastra yang muncul dengan beragam kebaruan. Salah satunya adalah merebaknya majalah-majalah wanita. Fenomena ini disebabkan karena kehidupan masyarakat yang mulai stabil sehingga wanita telah mendapat pendidikan yang tinggi, dan masyarakat banyak yang menyukai membaca. Selain itu, para perempuan membutuhkan bahan bacaan untuk mengisi kekosongan waktu dan sumber inspirasi bagi kehidupan mereka sehari-hari. Majalah-majalah tersebut banyak digemari oleh masyarakat khususnya para perempuan, baik remaja putri maupun wanita dewasa. Beberapa majalah yang muncul pada saat itu diantaranya adalah Anita, Cemerlang, Femina, Kartini, Pertiwi, Dewi, dan majalah lainnya. Sambutan hangat dari pembaca terhadap majalah-majalah wanita melahirkan banyak penulis baru yang semangat untuk berkarya melalui rubrik cerpen yang disediakan.
Salah satu majalah wanita populer di Indonesia pada masa itu adalah majalah Femina. Dikutip dari ensiklopedia.kemendikbud.go.id, majalah Femina didirikan pada tahun 1972 dengan mengusung kebaruan yang lebih modern dengan menampilkan representasi wanita modern. Majalah Femina merupakan majalah dengan tata warna yang pertama di Indonesia. Pendiri majalah ini adalah Mirta Kartohadiprojo bersama rekan-rekannya Widarti Gunawan, dan Atika Anwar Makarim. Proyek pertama majalah Femina dimulai di garasi rumah Sofyan Alisjahbana yang merupakan saudara Mirta dan juga salah satu pendiri Femina. Edisi terbitan pertama majalah Femina menampilkan Tuti Indra Malaon dan anak perempuannya sebagai model sampul majalah. Dalam sampul digambarkan ia memiliki sepuluh tangan dengan memegang berbagai alat yang merepresentasikan seorang ibu rumah tangga sekaligus wanita karier. Edisi ini menyediakan berbagai artikel yang membahas make up, mode pakaian, tren belajar membatik serta tema menarik lainnya.
Pembaca majalah Femina terdiri dari berbagai kalangan wanita, baik wanita karier maupun ibu rumah tangga. Majalah Femina pada awalnya memiliki moto “Bagian Dari Gaya Hidup Anda”, namun kemudian diubah menjadi “Gaya Hidup Masa Kini”. Tampilan majalah Femina mempunyai ciri yang khas berupa kertas luks yang berisi gambar atau foto warna-warni serta sampul yang memuat model yang cantik. Majalah ini terbit satu bulan sekali, kemudian terbit dua minggu sekali, hingga menjadi terbit seminggu sekali. Rubrik yang disediakan pada majalah ini adalah rubrik mode, kecantikan, kebun, dapur, artikel kewanitaan dan halaman spesifik bagi anak-anak. Selain itu, terdapat rubrik lain, seperti Surat Pembaca, Antara Kita, Quiz, Tip, Komik, Resensi Buku, Resensi Film, Cerita Pendek, Cerita Bersambung, dan rubrik lainnya.
Rubrik cerita pendek dan cerita bersambung yang disediakan oleh Femina menjadi media untuk berkarya para penulis dan melahirkan sastrawan baru di Indonesia. Beberapa sastrawan yang tulisannya dimuat pada majalah Femina di antaranya adalah N.H Dini karyanya berjudul, Wanita Siam (1972), Surat Untuk Tini (1973), Warsiah (1973), dan burung putih (1980). Putu Wijaya karyanya berjudul, Los (1977), Babi (1980), dan Roh (1981). Mira W karyanya berjudul, Benteng Kasih (1975), Lepra (1981), dan lainnya. Mochtar Lubis karya berjudul, Tembok Kaca (1978), Dua Wanita (1976) dan lainnya. Masih banyak penulis lain yang karyanya dimuat dalam majalah Femina.
Kegiatan tahunan yang diadakan oleh majalah Femina untuk berpartisipasi dalam menghasilkan karya sastra berkualitas di Indonesia adalah dengan menyelenggarakan lomba cerpen dan cerbung Femina. Tokoh yang pernah menjadi juri-juri untuk lomba ini di antaranya adalah H.B Jassin dan Sapardi Djoko Damono. Selain itu, Femina juga menghadirkan penerbitan karangan fiksi bagi naskah yang telah dimuat dalam majalah Femina ataupun naskah yang lolos dalam lomba yang diselenggarakan oleh Femina. Buku karya penulis yang diterbitkan melalui Femina oleh Penerbit Gaya Favorit Press, Jakarta, di antaranya adalah Selembut Bunga karya Ariyanti, Tak Ada Lagi Bayang-Bayang karya Wildan Yatim dan karya lainnya.
Seiring perjalanannya, majalah Femina melahirkan majalah-majalah lain yang berada di bawah naungannya. Dilansir dari industri.kontan.co.id, saat ini terdapat 18 majalah yang berada di bawah naungan Femina Group, di antaranya adalah Grazia, Cleo, Estetika, dan lainnya. Majalah Femina juga kini hadir dalam bentuk media online untuk memenuhi kebutuhan pembaca masa kini dan juga turut serta dalam kemajuan teknologi.
Kehadiran majalah Femina tidak hanya sebagai hiburan dan bahan bacaan bagi kaum perempuan semata. Majalah Femina sebagai wadah baru untuk memuat karya sastra juga memiliki peran yang penting dalam kesusastraan Indonesia, khususnya sastra populer. Majalah Femina menghadirkan berbagai rubrik untuk berbagai karya tulis bukan hanya untuk tulisan yang membahas seputar tren mode, gaya hidup, atau kecantikan semata. Majalah Femina hadir dengan berbagai konsep yang menarik dan kebaruan, sehingga dapat memberikan sumbangsih berupa karya-karya sastra dan penulis yang berkualitas.
Setiap peristiwa yang terjadi di masyarakat sangat berpengaruh terhadap kesusastraan Indonesia. Oleh sebab itu, sastra tidak hanya berkaitan dengan karya dan penulis melainkan juga dengan ekonomi, politik, sosial dan aspek lain dalam masyarakat. Periode-periode yang terdapat dalam kesusastraan Indonesia memiliki ciri khas masing-masing baik dari segi karya, penulis, maupun fenomena yang terjadi pada masa tersebut. Seperti halnya yang terjadi pada masa tahun 50-an, karya-karya yang dilahirkan para penulis cenderung pendek karena keterbatasan medianya yaitu majalah, sedangkan pada tahun 70-an hingga 90-an, karya-karya yang dilahirkan cenderung berkaitan dengan perempuan dan melahirkan banyak penulis perempuan karena merebaknya majalah-majalah wanita yang target pembacanya tentu perempuan. Karya sastra yang termuat dalam majalah baik pada periode 50-an maupun 70-an hingga 90-an menciptakan hal baru dalam kesusastraan Indonesia. Peralihan media yang digunakan, tema tulisan karya sastra, hingga jumlah tulisan karya sastra menjadi berbeda daripada biasanya.
Majalah telah menjadi ruang untuk para penulis menuangkan pandangan dan idenya mengenai segala permasalahan dalam kehidupan. Majalah menjadi penghubung antara penulis, karya, serta pembaca untuk tetap bisa saling berkomunikasi melalui tulisan. Melalui majalah-majalah yang hadir, karya sastra dari para penulis dapat lebih cepat dikenalkan kepada para pembaca. Selain itu, isu-isu yang ditulis dalam majalah umumnya lebih dekat dengan masyarakat karena merupakan sastra populer sehingga menumbuhkan minat baca yang tinggi pada masyarakat. Kemunculan majalah-majalah wanita juga menjadi pendukung bagi terlahirnya penulis-penulis perempuan di Indonesia yang bisa ikut berkiprah dalam kemajuan kesusastraan Indonesia.
Discussion about this post