Oleh: Bara Redinata
(Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Kemampuan terbesar umat manusia adalah bergosip dan berimajinasi.”(Yuval Noah Harari)
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 17.000 pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Negara yang dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa ini juga terkenal karena memiliki ragam suku bangsa yang beragam di dalamnya. Mengutip situs indonesia.go.id, menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Nusantara. Dengan jumlah sebanyak itu, tentu setiap daerah di Indonesia memiliki ragam budaya serta kepercayaan yang diwariskan dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kebudayaan kolektif yang hidup di dalam sendi kehidupan masyarakat tersebut mungkin dapat berupa cerita rakyat, dongeng, legenda, lelucon, mitos, maupun ungkapan larangan. Secara garis besar, kebudayaan kolektif dan adat istiadat tradisional yang berkembang dan terus diwariskan secara turun temurun tersebut dikenal sebagai folklor.
Folklor berasal dari bahasa Inggris folklore, yang berasal dari dua kata dasar, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun-menurun sedikitnya oleh dua generasi. Sementara yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Definisi folklor secara keseluruhan dapat diartikan sebagai bagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun menurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Menurut Brunvard (Danandjaja, 1997) folklor dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan. Folklor lisan sendiri merupakan sebuah tradisi yang disampaikan seutuhnya melalui lisan dari generasi ke generasi selanjutnya. Dikarenakan pewarisnya melalui penuturan dari lisan ke lisan maka folklor lisan sering juga dikenal dengan istilah tradisi lisan. Folklor sebagian lisan adalah sebuah tradisi yang memiliki perpaduan antara lisan dan unsur isyarat gerak. Sedangkan, folklor bukan lisan adalah suatu tradisi turun temurun yang menggunakan material ataupun non material sebagai cara dalam pewarisannya.
Dari penuturan di atas, tulisan ini akan membahas tentang ungkapan larangan yang termasuk ke dalam jenis folklor sebagian lisan. Ungkapan larangan atau akrab dikenal dengan pamali atau mitos adalah cerita yang memuat kepercayaan masyarakat tertentu terhadap hal-hal yang sakral. Ungkapan larangan atau mitos tergolong genre tradisi lisan, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan tradisi Jawa tulis ungkapan larangan atau pamali merupakan makna larangan yang diungkapkan oleh orang-orang terdahulu dalam kondisi masyarakat yang masih mistis. Ungkapan lisan berpola yang hadir secara turun-temurun itu sering di dengar dari para orang tua, misalnya kakek atau nenek masing-masing.
Ungkapan larangan sampai hari ini masih tetap terus dilestarikan dan dilisankan oleh orang tua kepada anaknya. Sebagai kepercayaan rakyat atau keyakinan rakyat, ungkapan larangan perlu kiranya dilestarikan. Hal ini dimaksudkan agar selamat, terhindar dari hal-hal buruk atau hal-hal yang tidak diinginkan, baik diri sendiri maupun masyarakat lainnya. Meski ungkapan larangan sejatinya bersifat pralogis dan kadang berhubungan dengan hal-hal gaib, namun ungkapan larangan sebenarnya juga dapat menjadi media pendidik atau pembelajaran dari orang tua kepada anak. Bagi anak-anak, ungkapan larangan lebih dapat dengan mudah diterima daripada dari penjelasan logis dan ilmiah dari alasan kenapa anak-anak dilarang melakukan sesuatu hal. Adapun pembelajaran yang dapat diambil dari ungkapan larangan yang berkembang di masyarakat, yakni:
1. Media Pembelajaran Agama
Meski bersifat pralogis dan tidak masuk akal sejatinya ungkapan larangan yang berkembang di tengah masyarakat memiliki suatu fungsi. Salah satu fungsi ungkapan larangan adalah sebagai media pembelajaran agama. Ungkapan larangan dapat dimanfaatkan oleh orang tua baik secara tidak langsung maupun langsung sebagai alat untuk mengajarkan nilai keagamaan. Misalnya, sebagian dari anak-anak pasti akrab dengan ungkapan larangan yang melarang mereka untuk bermain di luar rumah di kala waktu magrib. Orang tua biasanya akan memberikan ancaman kepada anaknya jika tetap nekat mengacuhkan larangan orang tua mereka. Ungkapan larangan paling umum yang biasanya digunakan oleh orang tua kepada anaknya, yaitu: “Jangan bermain magrib-magrib, nanti disuruk atau disembunyikan orang bunian.”
Ungkapan larangan yang dilontarkan oleh orang tua kepada anaknya tersebut sebenarnya ditujukan agar di waktu magrib anak-anak tidak lagi bermain-main di luar rumah. Mengingat waktu magrib merupakan waktu bagi umat muslim untuk menunaikan salat maka dari itu orang tua sengaja mengatakan demikian agar dapat sedini mungkin mengajarkan anak-anak agar ketika magrib mereka berada di rumah dan menunaikan salat, sedangkan tentang ancaman disembunyikan oleh orang bunian (hantu) sebenarnya adalah cara yang cukup efektif yang digunakan oleh orang tua kepada anaknya. Hal ini disebabkan oleh hampir semua anak-anak sangat mudah takut pada hal-hal yang berbau gaib dan mistis.
Ungkapan larangan lainnya yang juga sering digunakan di kala waktu senja adalah: “anak gadis jangan mandi magrib-magrib, nanti digigit atau dicubit hantu air.” Sama seperti halnya ungkapan larangan di atas, ungkapan larangan ini memiliki fungsi yang sama untuk mengingatkan dan mengajarkan anak bahwa waktu magrib adalah waktunya untuk menunaikan salat bukan justru mandi. Hal ini juga dimaksudkan agar anak dapat memanajemen waktu mereka dengan baik sehingga anak tidak mandi di waktu yang seharusnya digunakan untuk menunaikan kewajiban.
2. Media Pembelajaran Kebersihan
Kebersihan menjadi sesuatu hal yang penting untuk diperkenalkan sedini mungkin terhadap anak. Ada banyak cara yang dapat digunakan oleh orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya perihal kebersihan, salah satunya menggunakan ungkapan larangan sebagai media pembelajaran kebersihan. Salah satu contoh ungkapan larangan yang mungkin tidak asing digunakan oleh orang tua untuk mengajarkan kebersihan kepada anak, yaitu “Kalau menyapu harus bersih, kalau tidak bersih nanti suaminya bewokan.” Ungkapan larangan ini sebenarnya ditujukan guna mengajarkan anak agar mereka mengerjakan segala sesuatu hingga tuntas, termasuk dalam hal kegiatan menyapu hingga semua bagian menjadi bersih.
Ungkapan larangan lainnya yang sering digunakan untuk memberikan pengajaran terhadap anak akan pentingnya menjaga kebersihan adalah: “Anak gadis jangan masak sambil bersiul, nanti dapat suami tua.” Ungkapan tersebut sekilas memang bersifat tidak logis. Tidak ada korelasi antara kegiatan bersiul sambil memasak dengan mendapatkan pasangan yang tua, tapi memang seperti itulah ungkapan larangan bekerja. Meskipun bersifat pralogis namun ungkapan ini memiliki tujuan yang baik. Bersiul pada saat memasak dikhawatirkan dapat membuat percikan air liur tanpa sengaja masuk ke dalam masakan. Hal ini tentu sangat tidak higienis dan bersih bagi mereka yang memakan makanan tersebut. Secara tidak langsung melalui ungkapan larangan tersebut orang tua telah mengajarkan arti pentingnya menjaga dan menyajikan makanan yang bersih dan berkualitas kepada anak.
Bagian terakhir ini merupakan ungkapan larangan yang masih sedikit asing terdengar namun cukup efektif untuk mengajarkan anak perihal kebersihan. Ungkapan larangan tersebut, yaitu: “Jangan makan tebu malam-malam, nanti mamak (ibu) meninggal.” Ungkapan larangan tersebut memiliki pola yang sama dengan ungkapan lainnya. Larangan ini dihadirkan orang tua kepada anak agar anak-anak tidak membuat kotor rumah dengan sampah tebu yang ditakutkan akan mengundang semut untuk datang ke rumah. Ungkapan larangan ini meskipun bersifat tidak logis namun tentu efektif jika digunakan untuk menasihati anak-anak agar tidak membuang sampah sembarangan. Jika tidak taruhannya, mereka akan kehilangan ibu yang mereka sayangi. Anak-anak akan langsung takut dan meninggalkan kegiatan tersebut maka secara tidak langsung ungkapan larangan jadi media pengajaran kebersihan yang cukup efektif untuk anak.
3. Media Pembelajaran Etika dan Sopan Santun
Tidak hanya sebagai media pembelajaran agama dan juga pembelajaran kebersihan, ungkapan larangan juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran etika dan sopan santun. Melalui ungkapan larangan orang tua biasanya secara tidak langsung turut mengajarkan anak tentang etika atau tindakan apa yang tidak boleh dilakukan di lingkungan masyarakatnya. Misalnya, pada ungkapan larangan yang mengatakan: “jangan melangkahi garam, nanti susah buang air kecil.” Ungkapan larangan ini sengaja ditujukan kepada anak untuk mengajarkan mereka bagaimana seharusnya anak-anak dapat menghargai makanan. Melangkahi bahan masakan dan juga makanan di masyarakat merupakan sebuah tindakan yang tidak sopan sehingga melalui ungkapan larangan tersebut orang tua berharap agar anaknya dapat bersikap sopan dan santun di lingkungan masyarakatnya, terkhusus dalam hal menghargai makanan.
Ungkapan larangan lainnya yang mungkin umum dilontarkan oleh orang tua kepada anak untuk mendidik etika dan sopan santun anak, yaitu “Jangan duduk di atas bantal, nanti pantatnya bisulan.” Ungkapan larangan ini di maksudkan guna mendidik anak agar tidak asal duduk di sembarang tempat, terutama duduk di atas bantal. Bantal merupakan benda yang diletakkan sebagai tempat untuk merebahkan kepala, sehingga bagi banyak orang menduduki bantal merupakan perbuatan yang tidak sopan. Ada banyak ungkapan larangan lain yang mungkin dapat berfungsi sebagai media pembelajaran sopan santun, mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang menjunjung tinggi etika dan sopan santun.
Dari apa yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa ungkapan larangan meskipun bersifat tidak logis namun dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang baik untuk mendidik anak. Melalui ungkapan larangan orang tua dapat mengajari dan mendidik anak soal bagaimana seharusnya seorang anak menunaikan kewajiban beragama, menjaga kebersihan sedini mungkin, serta juga mengajarkan cara bersikap sopan dan santun di dalam lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu, sudah seharusnya ungkapan larangan dan juga ragam folklor lainnya yang berkembang di tengah masyarakat terus diwariskan secara turun-temurun agar tidak punah. Hal ini menjadi tugas kita bersama agar folklor tetap lestari dan diketahui oleh generasi yang akan datang sehingga warisan budaya bangsa yang ada di dalamnya juga dapat ikut dijaga.
Discussion about this post