Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Hal paling saya tunggu dari seorang teman yang pulang melancong adalah oleh-oleh. Tidak harus perjalanan jauh luar negeri atau provinsi, cukup luar kota dalam provinsi saja kehadiran oleh-oleh sungguh sangat dinanti. Tentu saja tanpa menyampingkan faktor keselamatannya pulang-pergi. Sebagai seorang teman, bertemu dengannya sepulang melancong dalam keadaan sehat dan selamat merupakan hal utama.
Bagi saya, oleh-oleh merupakan hal penting dalam mempererat hubungan silaturahmi. Oleh-oleh merupakan suvenir atau hadiah yang dibawa oleh seseorang dari tempat ia berkunjung (wisata) untuk diberikan kepada keluarga, teman, atau rekan kerja sebagai tanda perhatian dan kenang-kenangan. Biasanya hal yang dibawa mencerminkan budaya tempat yang ia kunjungi, seperti makanan atau produk khas dari daerah tersebut.
Seorang teman pernah menyatakan kalau jenis oleh-oleh yang diberikan dapat mempengaruhi psikologi penerima. Biasanya kalau si pemberi ingin si penerima mengenang pemberiannya dengan waktu yang lama, maka jangan berikan makanan. Bisa saja itu berupa aksesoris atau pakaian.
Namun, jika ingin suasana keakraban oleh-oleh yang cocok adalah makan karena dapat disantap secara bersama-sama. Tentu saja dengan minuman dan cerita tentang pengalaman liburannya. Tidak semua kita juga setuju dengan pernyataan itu, karena bermacam pula pengalaman tentang oleh-oleh ini.
Namun begitu, oleh-oleh dapat dimaknai sebagai cara untuk berbagi dan mengenang pengalaman perjalanan. Dengan oleh-oleh kita dapat memperkuat hubungan sosial, menghormati budaya dan produk lokal tempat yang dikunjungi. Dengan memberikannya berarti kita berbagi kebahagian dengan rekan-rekan.
Begitu pula sebaliknya, jika saya bepergian tentu harus ada oleh-oleh pula yang dibawa. Tidak elok pula kiranya jika hanya menerima pemberian oleh-oleh dari teman saja. Jangan sampai pula muncul stigma “kalau menerima oleh-oleh cepat, tapi untuk memberi begitu sulit”, sungguh sangat memalukan. Mungkin saja akan menjadi “bahan” pembicaraan oleh rekan-rekan.
Jangan sampai oleh-oleh yang kita bawa selepas melancong hanya “carito masiak” saja. Panjang-lebar kita bercerita tentang pengalaman liburan di suatu tempat. Bahkan dengan semangat berapi-api, begitu detail dan lengkap kita menyampaikannya. Mungkin saja sebagian tidak suka mendengarkannya. Jangan sampai pula keluar ucapan “oleh-olehnya saya pulang dengan selamat saja sudah cukup, bisa kembali berkumpul bersama”. Jangan-jangan ada menginginkannya untuk tidak kembali lagi. Sungguh tidak baik pula.
Lain lagi bila oleh-oleh yang sudah dibeli belum sampai kepada si penerima. Tentu saja sebagai “buah tangan” dari kunjungan ke suatu daerah kita perlu untuk membelikan oleh-oleh. Bisa saja oleh-oleh itu khusus untuk yang teristimewa. Mirisnya, oleh-oleh itu belum sampai ke tangannya dengan berbagai macam kendala. Kira-kira apakah oleh-oleh itu masih tetap istimewa?
Discussion about this post