Impian Mattaya
Cerpen oleh: Bustin Buu
Rabu sore yang gerimis. Matta baru saja sampai di depan rumah setelah mengajar mengaji. Sepatunya kuyup setelah melewati rerumputan basah di sepanjang jalan dari jalan raya ke rumahnya. Lengan jaketnya yang bertabur bulir-bulir hujan ia seka perlahan. Angin bertiup kencang. Ranting-ranting surian dengan daunnya yang lebat sampai bergoyang-goyang dibuatnya. Udara menjadi sangat dingin. Ia pun bergegas masuk ke rumah.
Gadis berwajah teduh itu mengintip kamar depan untuk memastikan keadaan ibunya. Ia tersenyum lega melihat ibunya sedang tertidur pulas. Sejenak ia pun duduk di sofa. Sekadar melepas penat sepulang kerja.
Rumah terlihat sepi seperti biasa. Matta anak tunggal yang tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayahnya yang seorang petani baru akan pulang menjelang maghrib. Ibunya pun biasanya begitu. Tetapi semenjak beberapa bulan ini harus tetap istirahat di rumah. Sebab belum terlalu pulih dari sakit.
Sebuah panggilan masuk melalui gawai. Matta segera merogoh kantong jaket tebalnya.
“Wa’alaikumussalam,” tutur gadis bersuara lembut itu menjawab salam dari seberang. Seseorang di seberang telepon memintanya untuk bertemu besok pagi, jam delapan.
“Baik, Buk. Insyaa Allah.” Matta segera mengiyakan, meskipun ia penasaran karena atasannya itu meminta bertemu di rumahnya, padahal kalau ingin bertemu beliau bisa saja datang ke sekolah seperti biasa.
Matta menuju kamar depan. Belum sampai di bibir pintu kamar, seseorang memencet bel. Matta kaget dan terharu melihat siapa yang datang. Ialah Dania teman dekatnya semenjak SMA.
“Ini kamu, Dan?” Kedua bola mata bening Matta sampai terbelalak melihat penampilan gadis berhijab hijau di hadapannya.
“Bukan, ini kembaranku. Ha ha.”
Layaknya sahabat yang sudah lama tidak bertemu, mereka mengobrol di ruang tamu tentang berbagai hal ditemani teh buatan Matta. Dania tiada henti bercerita soal pengalaman pertamanya kuliah di Universitas Indonesia, suasana keramaian pusat kota, sampai pada keputusannya memakai hijab.
“Ku akui memang banyak hal yang berubah darimu, Dan,” Matta menatap temannya dengan tatapan takjub dan bangga. “Cuma, satu yang nggak berubah, keusilanmu,” tutur Matta sembari meletakkan jari telunjuk di pelipis kanannya, selayaknya orang yang sedang berpikir keras.
“Kalau itu mah nggak boleh berubah.”
Tawa mereka kembali berderai. Namun, Matta segera merendahkan suara tawanya, takut ibunya terbangun. Gelagat Matta itu disadari oleh Dania. Sahabatnya itu pun menanyakan tentang keadaan Ibu. Matta pun menceritakan keadaan Ibu yang kini masih dalam masa pemulihan. Dania meneguk teh manis. Ia menghela napas sejenak. Matta merasakan perubahan raut wajah temannya itu.
“Begini, sebenarnya aku mau ngomongin sesuatu yang penting banget,” ujar Dania dengan nada suara yang terdengar kikuk. Matta tak mengucapkan apa-apa. Siap mendengarkan hal penting yang ingin disampaikan kepadanya.
“Aku tau mungkin ini bukan saat yang tepat. Tetapi hal ini harus segera aku sampaikan.” Dania mencondongkan wajahnya ke depan.
“Matta, abangku dilamar. Bagaimana menurutmu?” tanya Dania dengan intonasi yang sangat hati-hati.
Pertanyaan Dania membuat aliran darah Matta serasa mengalir lebih cepat dari sebelumnya. Ada yang seakan menyesak di dadanya. Segala yang di sekitar Matta perlahan berubah menjadi kabur. Jam di dinding berputar mundur. Gerimis seketika berhenti. Langit berubah cerah. Suasana berganti dengan keramaian siswa siswi yang keluar dari kelas masing-masing untuk istirahat. Ada yang ke langsung menyerbu kantin, ada yang ke perpustakaan, dan taman. Matta dan Dania memilih istirahat di kantin.
“Buk, bakso satu sama ketoprak satu, ya,” ujar Dania sembari melambaikan tangan. Gadis berambut ikal itu pun duduk berhadapan dengan Matta yang duduk anggun dengan jilbab putihnya yang menjulur hingga menutupi dada.
“Alhamdulillah, ya, sekolah kita dapat peringkat nilai ujian akhir tertinggi,” ujar Matta dengan senyum di bibir tipisnya, kemudian menuangkan air minum untuknya dan Dania.
“Alhamdulillah dan itu karena nilaimu tinggi banget,” timpal Dania dengan mata berbinar. Matta tersenyum, dalam hati ia tak lupa memuji Allah, yang kuasa atas segala sesuatu.
Matta bukan berasal dari keluarga kelas menengah ke atas sebagaimana kebanyakan teman-teman sekelasnya, termasuk Dania. Perbedaan itu selalu terlihat kontras sejak pertamakali masuk sekolah. Teman-temannya bisa membanggakan diri dengan tas, sepatu atau aksesoris baru, dia tidak. Namun, hal itu tak membuatnya rendah diri, sebab dari awal menerima beasiswa sang ibu telah berpesan agar Matta fokus pada potensi dirinya, bukan pada apa yang ia pakai sekarang. Ingat, Allah memberi kita harta yang paling berharga yaitu kesungguhan dan keramahan yang tak harus dibeli dengan uang. Itulah pesan sang ibu yang ia ingat selalu.
Berkat kesungguhan, Matta langganan peringkat pertama di kelasnya dan sering meraih juara olimpiade sains dan bahasa. Hingga pada puncaknya di ujian akhir nasional ia nyaris meraih nilai 95 semua mata pelajaran.
Berkat keramahan, Matta tak perlu repot membeli buku-buku pelajaran yang mahal. Teman-temannya yang kaya-raya, yang kebanyakan ikut belajar tambahan di tempat bimbel dengan senang hati meminjamkan buku-buku untuknya, sebab ia juga selalu membantu menejelaskan pelajaran bila ada yang bertanya atau kurang paham.
Menjelang ujian nasional, Matta bersedia menjadi tutor teman-temannya untuk persiapan ujian. Alhasil, nilai teman-temannya pun di atas KKM.
Capaian itu membuat masyarakat sekolah mengaguminya, apalagi guru kelasnya. Ia ditawarkan untuk mengambil beasiswa kuliah di Amerika dan Australia, namun dia menolak. Penolakannya bukan tanpa alasan. Meskipun nilainya tinggi terutama sains, sebenarnya ia punya keinginan sendiri.
Matta ingin kuliah di Madinah. Menurutnya, kota dengan julukan Madinatun Nabi itu satu-satunya kota yang harus ia kunjungi setelah kota Makkah. Cahaya Kota Madinah Almunawwarah itu seakan tetap bersinar di dalam sanubarinya semenjak mendengar cerita-cerita sejarah kenabian. Masyarakat Madinah begitu hangat menyambut kedatangan Nabi Muhammad dengan nyanyian, mereka memberikan harta, rumah, bahkan jika diperlukan, mereka bersedia memberikan istri untuk para musafir yang hijrah bersama Rasulullah.
Matta sangat takjub dengan kemegahan masjid Nabawi, terlebih di Madinah ada makan Rasulullah. Kesukaannya membaca sejarah kehidupan dan perjuangan Rasulullah, membuatnya berkeinginan untuk bisa berziarah ke makam Rasulullah, juga untuk melihat langsung jejak-jejak dakwah beliau di Madinah.
Matta menyadari bahwa satu cara agar ia bisa meraih impiannya itu ialah dengan mendapatkan beasiswa di kampus yang ada di Madinah. Ia pun mengurangi waktu hang out dan bermain sosial media. Sebagian besar waktu tidurnya diganti dengan belajar bahasa Arab secara autodidak. Ia giat menghafal Alquran yang menjadi syarat untuk meraih beasiswa, kemudian menyetorkan ayat yang sudah hafal kepada ayahnya.
Ia juga menyisihkan uang jajan untuk biaya kursus bahasa Arab di sebuah lembaga dan untuk mendapat sertifikat. Sayangnya saat semua syarat dirasa sudah lengkap, ia dapat kabar bahwa kerabat tetangganya yang bersedia menjadi penanggung jawabnya selama di Madinah nanti sudah pindah dari Madinah. Hal itu mengharuskannya mencari orang lain yang bisa bertanggung jawab untuknya selama kuliah di Madinah.
“Bakso satu, ketoprak satu ya,” ujar ibu kantin sambil menghidangkan keduanya di atas meja.
“Wah ibuk tau aja ya selera kami,” goda Dania karena ibu kantin tepat meletakkan bakso untuknya dan ketoprak untuk Matta. Bu kantin tersenyum dan sedikit mengangguk lalu kembali sibuk melayani yang lain.
“Kamu beneran mau ke Madinah?” tanya Dania dengan nada datar sembari menuangkan saos tanpa melihat Matta.
“Iya. Maulah, tapi kamu tau, kan, ada syarat yang belum aku penuhi,” jawab Matta dengan wajah lesu sembari mengaduk-aduk ketoprak.
“Iya aku tau. Makanya sekarang ini aku punya tawaran, nih, buat kamu.” Dania tersenyum menatap Matta.
“Kamu mau ngusilin aku lagi?” Matta menghentikan gerakkan sendoknya dan menunjukkan wajah serius.
“Nggak, kok. Beneran ini.” Dania melirik jam kantin.
“Apa?” tanya Matta sembari melipat kedua tangannya bersiap untuk mendengarkan.
“Kamu, kan, harus punya mahram, nih, biar bisa kuliah di Madinah,” ujar Dania sambil tetap mengunyah bakso.
“Ya, trus?”
“Ternyata, abang aku juga daftar kuliah di Madinah, loh.” Dania meraih gelas minum karena kepedasan.
“Ya, trus?” Matta masih mendengar dengan serius.
“Loh, kok, kamu datar gitu tanggapannya!?” Dania mengernyitkan dahinya menatap Matta.
“Ya kalau abangmu kuliah di Madinah, trus kenapa?”
“Ya bagus, ‘kan!?” ujar Dania dengan sedikit menganggukkan kepala ke sebelah kanan.
“Ya bagus. Cuma solusinya buat aku apa? Kan, dia bukan mahram aku.”
“Eh, iya juga, sih, ya,”ujar Dania sembari meletakkan gelas dan tersenyum malu.
Matta menduga Dania sedang mengusilinya. Ia pun tak penasaran lagi dan melanjutkan memakan ketoprak. Namun, Dania ternyata memang sengaja mengusili Matta, sebenarnya ia ada tujuan lain.
“Matta maksud aku, aku mau kamu menikah sama abangku,” ujar Dania dengan sangat santai kemudian memasukkan satu bakso lagi ke mulutnya.
Tentu saja ucapan Dania itu tak langsung dipercayai Matta. Dania pasti sedang bercanda. Namun Dania menyangkal. Abangnya yang bernama Rehan sudah menyukai Matta sejak lama, tetapi tidak pernah diungkapkan.
Abang Dania pria yang taat dan penghafal Alquran ini lulus beasiswa di Madinah. Ketika ia tahu Matta ingin ke Madinah juga makanya ia berani mengutarakan perasaannya melalui Dania. Bila Matta bersedia, dia akan mempersunting Matta. Matta bisa mengajukan beasiswa untuk semester berikutnya.
Matta menceritakan tawaran Dania itu kepada ibu dan ayahnya. Mereka setuju. Matta dan Rehan menjalani masa taaruf. Dalam ta’aruf itu mereka membahas tentang pandangan masing-masing tentang pernikahan, juga tentang bagaimana menjalani hidup di Madinah nantinya. Mereka juga sepakat melangsungkan pernikahan secara sederhana saja, mengingat lebih penting mempersiapkan biaya untuk rencana hidup di Madinah dari pada digunakan untuk hal-hal yang untuk kemewahan sesaat. Mereka sepakat menikah seminggu sebelum keberangkatan Rehan ke Madinah.
Segala persiapan berjalan cepat dan mudah. Namun Tuhan berkehendak lain. Wajah bahagia Matta berganti dengan wajah sedih dan cemas. Ibunya jatuh sakit hingga tak sadarkan diri. Pernikahan pun harus ditunda. Segalanya bisa berubah semudah membalikkan telapak tangan.
Hari-hari Matta dijalani di Rumah sakit untuk menunggu ibunya. Ada yang berkecamuk dalam pikirannya, antara keinginannya ke Madinah, pernikahan dan ibunya yang belum kunjung sadar. Ia begitu terpuruk karena baginya ini pertama kali ia diberi cobaan seperti ini.
Setiap selesai tahajud ia berdoa semoga ibunya lekas sembuh. Ia juga meminta ketetapan hati untuk langkah yang mesti dia ambil soal pernikahan dan keinginannya untuk ke Madinah, karena Rehan harus segera ke Madinah.
Dania dan Rehan serta keluarga pun memaklumi kebimbangan Matta. Rehan meminta agar pernikahan dilanjutkan, meskipun Matta masih ingin merawat ibunya. Kalau sudah sembuh, ia bisa menyusul ke Madinah. Atau kalau Matta mau pernikahan ditunda, sampai ibunya sadar, yang pasti Matta tidak mungkin meninggalkan ibunya.
Akhirnya kesepakatan didapat bahwa pernikahan mereka dibatalkan. Matta dan Rehan harus saling ikhlas melepaskan. Rehan pergi ke Madinah, sementara Matta memilih menjadi guru mengaji di kampungnya.
***
“Mattaya.” Dania melambaikan tangannya ke wajah Matta yang belum kunjung menjawab pertanyaannya.
“Eh, ya.” Matta mengedarkan pandangan ke sekeliling. Gerimis yang tampak di balik kaca jendela membuatnya sadar kalau ia melamun. Gelagat Matta membuat Dania merasa bersalah. Ia paham kata-katanya mungkin telah mengusik ketenangan sahabatnya.
“Maaf ya, aku kembali mengungkit masa lalu. Aku hanya ingin memastikan kamu masih menunggu Abang atau tidak,” ujar Dania.
Matta berpikir beberapa saat. “Siapa yang melamar abangmu, Dan?”
“Mahasiswi satu kampus sama abangku.”
“Ya, ya nggak apa-apa, Dania. Kupikir itulah yang terbaik untuk abangmu. Aku pun sekarang masih merawat Ibu. Aku doakan semoga lancar.” Matta berusaha setenang mungkin.
“Aku selalu berdoa agar engkau berjodoh dengan Abang, Matta, tetapi jika ini keputusanmu, aku hanya berdoa semoga engkau dapatkan yang lebih baik.” Dania memeluk Matta dengan erat. Tak berapa lama setelahnya Dania berpamitan pulang.
Sore berganti malam, malam pun berganti pagi.
“Ibu, Mattaya berangkat dulu ya.” Matta menyalami Ibu yang duduk di pinggir dipan. Pagi ini ia hendak ke rumah Bu Rahma, ketua yayasan Qur’an Madani yang meneleponnya tempo hari.
“Hati-hati ya, Nak,” ujar Ibu yang terlihat semakin membaik keadaannya.
Matta sampai di rumah Bu Rumah. Pintu Bu Rahma terbuka begitu saja. Terlihat Bu Rahma sedang berbincang dengan seorang laki-laki. Matta awalnya ragu untuk mengetok pintu, takut kehadirannya akan memotong pembicaraan Bu Rahma, ia pun berniat duduk terlebih dahulu di beranda. Namun baru satu langkah dari pintu, Bu Rahma memanggil Matta untuk masuk.
“Silakan masuk, Matta.” Bu Rahma mengubah posisi duduknya. Sementara laki-laki yang tadi berbicara dengan Bu Rahma pergi ke ruangan yang lain.
“Assalamu’alaikum,” ujar Matta sembari menyalami Bu Rahma.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Bu Rahma, kemudian mempersilakan Matta minum dan mencicipi cemilan. Bu Rahma pun menyampaikan maksudnya meminta Matta ke rumah, yaitu ingin menanyakan soal perkembangan hafalan anak-anak.
Bu Rahma berpesan agar Matta memantau terus perkembangan hafalan anak-anak terutama dari segi pengucapan hurufnya yang betul. “Jadi jangan fokus ke banyak hafalannya saja Mattaya, bacaan yang betul itu yang lebih penting menurut Ibu,” tuturnya. Sebelum pulang, Bu Rahma memberikan bingkisan, berupa sebuah paket berisi kurma dan sajadah.
“Barakallah, Bu,” ujar Matta sembari menerima bingkisan.
“Amin,” balas Bu Rahma kemudian mengantar Matta sampai ke beranda rumahnya. “Oiya ibu dengar kamu ingin kuliah di Madinah ya Mattaya?” tanya Bu Rahma ketika Matta bersalaman dengannya.
Pertanyaan yang terdengar hanya sebatas basa-basi itu membuat jiwa Matta kembali terguncang. Kembali ia teringat serangkaian peristiwa, hingga ia harus mengubur impiannya kuliah di Madinah.
Matta hanya membalas pertanyaan Bu Rahma dengan anggukan pelan dan senyuman. Ia berusaha menyembunyikan kegundahannya. Meskipun begitu, ia tak bisa menyembunyikan getaran pada tangannya. Bu Rahma terlihat menyadari apa yang dialami Matta.
Malam harinya, selepas makan malam.
“Kenapa Bu Rahma ke rumah kita siang tadi, Bu?” tanya Matta penasaran setelah Ibu memberi tahukan kedatangan Bu Rahma.
“Hanya melihat kondisi Ibu,” jawab Ibu yang saat itu duduk di sofa, di samping ayah.
Matta memberi tahu soal bingkisan dari Bu Rahma kepada Ibu dan Ayah. Ibu menerima bingkisan itu dengan senang hati.
“Sekarang ibu sudah sembuh. Jangan jadikan ibu alasan kamu menunda kebahagiaanmu sendiri. Kejar impianmu,” ujar Ibu.
Matta tahu bahwa impian yang dimaksud Ibu ialah keinginannya untuk ke Madinah. Impian itu sebenarnya sudah ia coba lupakan sejak ia menolak melanjutkan pernikahan dengan Rehan dan memilih merawat Ibu.
“Bu, merawat Ibu itu termasuk kebahagiaan Matta.” Matta berupaya setegar mungkin di hadapan Ibu.
“Ya, Ibu tahu itu. Tapi Ibu akan sangat bahagia bila kamu pun mencapai impianmu, Matta.”
“Ibu, usah cemaskan Matta, ya, Bu,”
“Ayah dan ibu selalu bedoa semoga impianmu terwujud, Nak,” ujar Ayah
“Terima kasih, Ayah.”
Percakapan malam itu, berhasil menyita pikiran Matta. Keinginannya untuk kuliah di Madinah memang sudah mulai bisa ia tepis, tetapi tidak dengan keinginannya untuk pergi ke Madinah. Harapan Ibu dan keadaan Ibu yang sudah pulih membuat Matta terpikir akankah ia kembali mengejar impiannya dengan cara kuliah di Madinah atau mengabaikan saja.
Matta mengadukan segala kegundahnya di hadapan Allah dalam doa-doa panjang selepas salat tahajud.
“Ya Allah, aku percaya Engkau selalu merencanakan takdir baik untuk hamba. Maka lapangkanlah hati hamba menerima segala hal yang telah Engkau rencanakan itu…”
Keesokan harinya Matta mengajar seperti biasa. Sepulang mengajar, Matta berpapasan dengan Bu Rahma yang juga ingin pulang. Bu Rahma menawari Matta pulang dengan mobilnya. Matta sempat menolak, tetapi Bu Rahma mengatakan bahwa ia juga ingin bertamu ke rumah Matta. Matta pun tak punya alasan untuk menolak.
Di tengah perjalanan, Bu Rahma kembali bertanya tentang keinginan Matta kuliah di Madinah. “Kamu masih mau kuliah di sana?” tanya Bu Rahma sambil memandang wajah Matta lekat-lekat. Ditodong pertanyaan spontan itu, Matta jadi tak bekutik.
“Jawab dong Mattaya,” ujar Bu Rahma menggoda dengan ekspresi wajah lebih santai.
“Matta nggak punya saudara, Bu, di sana. Nggak mungkin Matta kuliah di sana,” ujar Matta dengan senyum yang dipaksakan. Air matanya yang menetes, cepat-cepat ia usap. Ia berusaha menahan kesedihan, karena sebenarnya keinginannya berkunjung ke Madinah itu tak akan hilang. Terlepas bisa terwujud atau tidak, ia berharap tetap bisa berziarah ke Madinah suatu saat nanti.
“Ibu, doakan, ya, Matta bisa ke Madinah, setidaknya untuk ziarah saja, Bu.” Matta dengan spontan memeluk Bu Rahma yang juga hendak memeluknya. Selang beberapa saat, mereka pun sampai. Ayah dan Ibu Matta sedang duduk di ruang tamu seakan-akan mereka sudah tahu Bu Rahma akan datang bertamu.
“Silakan masuk, Bu,” ujar Matta.
Setelah bertanya kabar, Bu Rahma pun menjelaskan bahwa sebelumnya ia sudah berbincang dengan ibu dan ayah Matta tentang keinginan Matta kuliah di Madinah dan juga tentang kejadian yang menyebabkan Matta tidak jadi ke Madinah.
“Kamu yang kuat ya, Matta,” ujar Bu Rahma yang duduk di sampng Matta.
“Insyaa Allah, Bu. Lagi pula Matta yakin pasti ada hikmah terbaik di baliknya,” ujar Matta lebih tenang dari sebelumnya. Bu Rahma, Ayah dan Ibu tersenyum dan lega mendengar jawaban Matta.
“Matta, mungkin saja hikmahnya ialah kita bisa berkenalan dan Ibu bisa berkunjung ke sini. Sebenarnya, Ibu berniat menjodohkan kamu dengan keponakan Ibu. Insyaa Allah orangnya baik,” ujar Bu Rahma sembari tersenyum kepada Ayah, Ibu dan Matta bergantian.
Aku nggak salah dengar? Gumam Matta dalam hati. Ia memutar pandangan ke arah Ibu dan Ayahnya bergantian seolah sedang mencari penguatan. Keduanya mengangguk pelan dengan senyum bahagia, menunjukkan persetujuan.
“Ibu serius?” Akhirnya kata-kata itulah yang keluar dari mulut Matta.
“Iya Matta. Ibu serius. Kamu mau, kan?” ujar Bu Rahma dengan penuh harap, “Katanya kamu mau ke Madinah, ya, ‘kan?” tambah Bu Rahma. Lagi lagi Bu Rahma menyinggung soal keinginan Matta yang membuatnya jadi tak mengerti. Melihat gelagat Matta, Bu Rahma pun menjelaskan bahwa ia ingin menjodohkan Matta dengan keponakannya yang akan berangkat ke Madinah dan menjadi guru tamu di salah satu universitas di sana.
Matta sama sekali tidak meragukan pilihan Bu Rahma untuknya. Terlebih ia telah mengenal Bu Rahma sebagai sosok yang religius, ramah, dan pemurah. Juga bukan rahasia umum lagi kalau keluarga besar Bu Rahma sangat santun. Namun ada hal lain yang membuatnya kurang yakin.
“Apakah keponakan Ibu mau sama Matta, Bu?”
Matta menyadari bahwa ia berasal dari keluarga kecil yang biasa-biasa saja. Dari beberapa hal, mulai dari pendidikan, perekonomian dan standar religius keluarga Matta dan Bu Rahma memang berbeda. Contohnya saja, Matta hanya tamatan SMA, sementara keponakan Bu Rahma adalah calon guru tamu di Madinah.
“Mattaya, dia bahkan ingin segera melamarmu,” ujar Bu Rahma dengan senyum merekah.
“Bagaimana mungkin, Bu, dia kan belum kenal saya. Kami belum pernah ketemu.”
“Sudah, Mattaya. Sudah dua kali. Pertama waktu kamu ke rumah Ibu tempo hari. Kedua, hari ini,” tutur Bu Rahma tertawa kecil.
“Hari ini!?” Matta masih tidak menyadari siapa laki-laki yang Bu Rahma maksudkan.
“Ibu sudah ceritakan segala hal tentang kamu kepadanya. Tadi dia yang nyupirin kita ke sini Mattaya. Mungkin kamu tak menyadarinya. Dia juga sudah dengar cerita kamu langsung dari kamu sendiri. Itu sudah cukup membuatnya yakin untuk melamar kamu.”
Matta tak dapat berkata-kata. Seketika matanya berkaca-kaca. Seutas senyum mengambang di bibirnya. Allahu akbar. Laa haulaa wa laa quwata illaa billaah. Matta tak henti berzikir dan memuji Allah di dalam hatinya. Sesosok laki-laki muncul dari pintu depan dengan senyum merekah. Disambut tatapan haru dan bahagia oleh Mattaya, Ibu, Ayah, dan Bu Rahma.
“Assalamu’alaikum,” ujar lelaki itu. Lelaki yang bersedia menemani Matta menjemput impiannya.
Tentang Penulis:
Bustin Buu lahir di sebuah desa di Lereng Gunung Singgalang pada tanggal 18 Oktober. Menyukai kesenian, pendidikan, dan olahraga. Aktivitas sehari-harinya mengajar dan bergiat di bidang literasi. Email: bustinbuu7@gmail.com. Instagram: @ _bustinbuu.
Mattaya dan Pandangan Dunia Pengarang
(Ulasan atas Cerpen “Impian Mattaya” Karya Bustin Buu”)
Oleh:
Azwar, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Sumatera Barat dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UPN Veteran Jakarta.)
Cerpen sebagai bagian karya sastra terikat akan hal-hal teoritis karya sastra. Wellek dan Warren (1989) menyampaikan bahwa dalam kajian sastra ada tiga hal yang perlu dibedakan yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Teori sastra sebagaimana disampaikan Wellek dan Warren adalah studi prinsip, kategori, dankriteria yang akrab dengan karya sastra. Teori sastra jelas hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra. Kritik sastra bagian tersendiri dari sebuah pembacaan atas karya, sementara sejarah sastra berkaitan dengan genealogi karya sastra.
Dalam studi sastra adapun salah satu teori yang mempelajari tentang tanggapan pembaca dengan karya sastra yakni Teori Resepsi Sastra. Ilmu yang didasarkan pada tanggapan pembaca atau resepsi pembaca terhadap karya sastra ini biasanya juga disebut dengan rezeptionaesthetic yang diterjemahkan sebagai Literary Response, Penerimaan estetik (aesthetic of reception), atau Resepsi Sastra.
Menurut A Teeuw (1984) tokoh utama yang menekankan peranan pembaca adalah Hans Robert Jausz. Ia mempunyai gagasan sejarah sebagai rangkaian periode, yang mana masing-masing mempunyai ciri khas yang ditelitisecara objektif, tanpa keterlibatan si peniliti secara pribadi.
Pada Kreatika edisi minggu ini, redaksi menayangkan sebuah cerpen berjudul “Mimpi Mattaya” karya Bustin Buu, seorang anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Barat. Bustin yang sehari-hari adalah pegiat literasi ini menulis “Mimpi Mattaya” dengan sangat manis sekali.
“Impian Mattaya” ditulis dengan gaya khas perempuan yang memiliki segudang kesabaran dalam merangkai cerita. Cerpen ini ditulis dengan teliti, bahkan transisi antara cerita begitu sangat apik dan menarik. Ibarat sebuah film, antara scene satu dengan scene yang lain dibuat padu, tak terasa lonjakan ketika dinikmati pembaca. Contohnya berpindah dari cerita Dania berkunjung ke rumah Matta lalu flasback ke sekolah ketika mereka masih SMA, transisi dari cerita di rumah Matta ke sekolah sangat halus sekali. Begitu juga transisi ketika kembali ke rumah Matta. Penulis membuatnya dengan simbol-simbol yang berbeda.
Contohnya suasana ketika di rumah Matta cuaca sedang gerimis, rintik-rintik hujan menambah suasana dingin desa di bawah kaki gunung. Saat itu Dania sudah menjadi mahasiswa, penampilannya sudah berubah dengan menggunakan kerudung. Lalu cerita berpindah ke kantin sekolah dimana terdengar suara hiruk pikuk siswa. Penulis menggambarkan Dania seorang sahabatnya yang cantik dengan rambut ikalnya.
Dunia Mattaya adalah horizon harapan sebuah karya sastra. Secara teoritis horizon harapan dalam karya sastra adalah harapan-harapan pembaca terhadap sebuah karya sebelum ia membacanya. Secara sederhana barangkalai ekspektasi pembaca atas cerita yang akan dia baca. Horizon harapan pembaca sangat erat kaitannya dengan Pandangan Dunia Pengarang yang merupakan merupakan keseluruhan gagasan, aspirasi, dan perasaan pengarang terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Antara horizon harapan dengan pandangan dunia pengarang memiliki ikatan yang tak kasat mata. Ia ada namun sulit untuk melihat dan merabanya, ia sulit untuk disentuh panca Indera. Jika pembaca pernah menangis membaca sebuah karya sastra, itu adalah karena keterikatan antara horizon harapan pembaca dengan pandangan dunia pengarang yang tidak direncanakan itu.
Inilah keajaiban karya sastra. Sebuah karya yang biasa-biasa saja menurut orang lain, tapi mungkin bagi seseorang bisa sangat istimewa. Ada karya yang membuat orang menangis berurai air mata, namun bagi orang lain mungkin biasa-biasa saja. Oleh sebab itu bagi saya secara pribadi, semua karya sastra yang sudah ditulis pengarangnya itu adalah karya sastra yang bagus, baik, atau karya yang hebat bagi pembaca yang tepat.
Persoalan mengapa ada sebuah karya sastra yang begitu terkenal di seantero dunia dan mengapa ada karya sastra yang tidak pernah dikenal itu hanya persoalan seberapa banyak karya sastra tersebut menemukan pembacanya yang tepat. Semakin banyak pembaca yang tepat ditemukan oleh karya sastra maka semakin populer karya tersebut di dunia.
Kembali ke “Impian Mattaya” yang dibuat oleh Bustin Buu, dunia Mattaya adalah dunia ideal yang merupakan pandangan dunia pengarangnya. Dunia yang dihadirkan Bustin Buu dalam cerpen “Impian Mattaya” ini merupakan sebuah dunia yang dicita-citakan banyak manusia. Seorang tokoh bernama Mattaya, gadis desa yang biasa-biasa saja, yang keluarganya merupakan petani sebagaimana kebanyakan orang-orang desa, memiliki mimpi ingin kuliah di Madinah kota sejuta cahaya. Tidak ada modal finansial Mattaya untuk kuliah ke luar negeri. Dia hanya anak orang miskin yang mempunyai cita-cita.
Dibeberapa paragraf cerpen, pembaca disuguhkan hal-hal yang biasa saja. Cerita hidup Mattaya yang tidak begitu istimewa. Anak desa yang sekolah SMA mengandalkan beasiswa. Ia hanya bermodal kemauan belajar hingga menjadi juara di sekolah. Selain kemauan ia memiliki mimpi untuk kuliah di Madinah, tidak seperti mimpi teman-temannya yang ingin kuliah di Amerika atau Australia yang sempat ditawarkan gurunya padanya.
Mattaya memilih Madinah tempat menuntut ilmu. Ketika mimpi itu sudah hampir dia raih dengan segala kemudahan yang diberikan Allah kepadanya, Mattaya terhempas pada kenyataan hidup bahwa dia harus bersabar kembali. Persis ketika dia akan menikah dengan seorang lelaki yang baik yang sudah diterima kuliah di Madinah, Mattaya harus menerima kenyataan bahwa ibunya sakit keras. Sebagai anak tunggal Mattaya memilih merawat ibunya dan membatalkan pernikahan dengan Rehan lelaki baik dan pintar yang akan kuliah ke Madinah.
Berbilang waktu, Mattaya menjadi guru mengaji di kampungnya. Dania, sahabat karibnya yang juga adik Rehan datang berkunjung di sela-sela liburnya dari Universitas Indonesia. Matta senang dikunjungi sahabat dekatnya itu, tetapi sedikit sedih menyadari bahwa Dania membawa kabar bahwa Rehan sudah menikah dengan teman kuliahnya di Madinah. Mattaya seperti dihadapkan pada bait-bait luka yang lain dalam hidupnya. Sebagai manusia biasa dia sedih, tapi dia menyadari bahwa dia bersedih untuk sesuatu yang bukan ditakdirkan Allah untuknya.
Mattaya mengikuti garis nasibnya. Ia tetap menjadi anak yang baik untuk kedua orang tuanya, menjaga diri yang baik sebagai seorang muslimah muda, menjadi guru mengaji bagi anak-anak penerus bangsa. Dalam rutinitas yang biasa-biasa itu satu hal yang selalu tidak dilupakan Mattaya berdoa agar Allah menyampaikan mimpinya untuk sampai ke Kota Madinah.
Tuhan bekerja dengan cara Nya, inilah yang dirasakan Mattaya. Ketika dia tetap menjadi Muslimah yang baik, menjadi anak yang baik bagi orang tuanya dan menjadi guru mengaji yang baik bagi murid-muridnya, Allah SWT mengantarkan wasilah (perantara) untuk mencapai mimpi-mimpi Mattaya. Bu Rahma, Ustadzah yang menjadi pimpinannya di tempat mengajar mengaji menjodohkan Mattaya dengan keponakannya. Seorang anak muda Indonesia yang baru saja diterima untuk mengajar di sebuah universitas di Madinah.
Begitulah cerita “Impian Mattaya” itu membuat pembaca menangis. Cerita-cerita yang mungkin bagi sebagian orang biasa-biasa saja, tapi bagi saya cerita ini memiliki energi yang luar biasa hebatnya. Energi hebat dalam cerita ini hanya bisa ditangkap oleh pembaca yang memiliki horizon harapan yang sama dengan pandangan dunia pengarangnya. Energi yang begitu di damba oleh orang-orang yang percaya betapa dahsyatnya sebuah cita-cita dan doa. (*)
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post