Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Terkadang muncul rasa jenuh saat menempuh perjalanan jauh. Tentu banyak faktor yang menyebabkannya, entah itu internal maupun eksternal. Bisa saja jenuh karena badan pegal, bisa juga jenuh karena pemandangan yang monoton.
Sesekali juga bisa jenuh karena lapar. Tidak jarang pula rasa lapar ini dapat mengubah seseorang menjadi menyebalkan. Setidaknya begitu salah satu iklan produk makanan, kita akan menyebalkan kalau lagi lapar. Iklan itu begitu kuat melekat dalam ingatan saya.
Bermacam pula bentuk ekspresi menyebalkan ini. Terkadang gelisah geser kanan geser kiri, celoteh tak karuan, atau colek-colek sekitaran. Perilaku demikian akan berhenti kalau ada makanan. Paling tidak camilan pengganjal lapar.
Siapa saja yang berkendaraan berpotensi untuk jenuh, entah itu pengemudi atau penumpang. Bagi pengemudi ini tentu bahaya bila tidak rehat sejenak. Bagi penumpang juga dapat berdampak mengkhawatirkan, bila itu sudah pada tahap membosankan. Berpotensi menyusahkan penumpang lainnya, kira-kira itu yang bakal terjadi.
Dalam kondisi seperti itu, selalu ada sosok penyemangat. Sebanyak itu hal yang membuat jenuh, sebanyak itu pula cara untuk mengatasinya. Hal paling sering dilakukan adalah bujukan bahwa tempat pemberhentian makan sudah semakin dekat.
Biasanya yang sering menyampaikan ini adalah dia yang hafal medan. Kebanyakan adalah si pengemudi, tapi buka berarti penumpang tidak pernah. Istilah yang sering diucapkan adalah “satu tikungan lagi”.
Dalam bahasa Minangkabau, sering disebut “ciek kelok lai”. Kalimat itu seakan mempunyai “kekuatan” untuk mempengaruhi seseorang. Bahkan, juga mampu mengubah keadaan gelisah menjadi tenang.
Ada apa dengan “satu tikungan lagi?” Kenapa dapat “mempengaruhi” seseorang. Terkadang terlintas juga pertanyaan-pertanyaan begitu. Tanpa disadari saya pun terpengaruh akan adanya pemberhentian pada satu tikungan lagi.
Kalau medan yang ditempuh itu dominan jalan lurusnya, tentu ini akan terasa cukup jauh. Berbeda bila yang ditempuh jalan banyak tikungan, ini akan menjadi hal yang ditunggu. Menanti sesuatu yang ditunggu-tunggu dan menyenangkan.
Memang untuk menanti satu kali tikungan itu bukan perkara mudah. Sudah dua, tiga, bahkan lima kali tikungan dilalui masih belum berhenti juga. Mungkin saja bagi si pengendara bukan jalur seperti yang barusan dilalui sebagai definisi tikungan.
Begitulah istilah satu kali tikungan, dapat membuat sedikit jengkel. Tapi mau bagaimana lagi, satu kali tikungan itu perlu diucapkan. Sampaikan saja dulu, berhentinya belakangan.
Paling tidak hal itu bermaksud baik, bujukan penyemangat agar tidak jenuh. Lain lagi ceritanya jika “menikung” teman sepermainan, ruwet ujungnya. Cukup pembalap di sirkuit saja yang saling menikung. Kita jangan, biar aman.
Discussion about this post