Tumpukan kotoran di tanah sudah cukup tinggi ketika kepala sekolah lewat.
“Kau sedang apa?” tanyanya kepada Totto-chan.
“Dompetku jatuh,” jawab Totto-chan, sambil terus mencedok. Ia tak ingin membuang waktu.
“Oh, begitu,” kata Kepala Sekolah, lalu berjalan pergi, kedua tangannya bertaut di punggung, seperti kebiasaannya ketika berjalan-jalan.
—
Kepala Sekolah datang lagi. “Kau sudah menemukan dompetmu?” tanyanya.
“Belum,” jawab Totto-chan dari tengah-tengah gundukan. Keringatnya berleleran dan pipinya yang memerah.
Kepala Sekolah mendekat dan berkata ramah, “Kau akan mengembalikan semuanya kalau sudah selesai, kan?” Kemudian pria itu pergi lagi, seperti sebelumnya.
“Ya,” jawab Totto-chan riang, sambil terus bekerja.
Totto-chan, Gadis di Jendela (Tetsuko Kuroyanagi, Cetakan Kedua puluh delapan, 2022).
***
Menarik jika kita menyimak percakapan kepala sekolah dengan seorang anak bernama Totto-chan dalam potongan cerita di atas. Ini adalah bagian dari sebuah novel yang menceritakan Totto-chan, seorang gadis cilik asal Jepang. Karena rasa ingin tahu yang tinggi, ia dikeluarkan dari sekolah lama dan kemudian pindah ke sekolah baru semacam sekolah alam atau sekolah alternatif yang didirikan oleh kepala sekolah yang bernama Sosaku Kobayashi. Nama sekolahnya adalah Tomoe Gakuen.
Kisah di atas adalah bagian cerita ketika Totto-chan yang punya rasa ingin tahu tentang apa yang ada di dalam kakus, mengintip lubang tersebut. Hingga sering kali ia kehilangan barang-barang, seperti topi karena terjatuh ke dalam kakus tersebut. Di kakus sekolah pun, ia melakukan hal yang sama dan kemudian kehilangan dompet kesayangan. Karena tidak ingin kehilangan dompet kesayangan tersebut, Totto-chan menggali isi kakus hingga kotoran menumpuk di sebelahnya. Setelah lelah mengeluarkan semua kotoran dan tidak menemukan dompet kesayangannya, Totto-chan mengembalikan isi kotoran ke tempat semula dan sejak itu ia tidak pernah lagi mengintip ke dalam lubang setelah selesai menggunakan kakus. Ia tidak ingin lagi kehilangan barang kesayangan.
Apa yang menarik dari kisah tersebut? Seorang anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Salah satu cara yang dilakukan anak-anak untuk memenuhi rasa ingin tahunya adalah mencoba melakukan sesuatu. Sementara itu, cara lainnya adalah dengan bertanya. Mereka akan bertanya menggunakan kalimat pertanyaan, seperti Apa itu?, Mengapa bisa terjadi hal itu?, Bagaimana cara melakukannya?, Apakah itu boleh dicoba?, Bisakah saya melakukan juga?, dan banyak kalimat tanya lainnya.
Itulah sebab mengapa orang tua harus banyak membaca dan menemukan kosakata yang cocok untuk menjawab pertanyaan mereka. Pertanyaan anak-anak tidak bisa dijawab dengan kosakata yang dikuasai orang tua. Anak-anak usia 12 tahun membutuhkan kosakata literal atau ‘harfiah; berdasarkan arti yang paling dasar’ (Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, 2023). Bahasa sederhananya, anak-anak hanya bisa memahami kosakata yang memiliki makna leksikal atau makna yang tertera dalam kamus.
Itu pula sebabnya mengapa lagu anak, film anak, dan cerita anak sangat sedikit diproduksi di Indonesia jika dibandingkan dengan lagu, film, dan cerita remaja. Para remaja bisa mencari tahu sendiri tentang sesuatu dengan membaca buku atau menelusuri Google untuk mendapatkan maknanya. Anak-anak belum bisa melakukan hal tersebut.
Lagu, film, dan juga cerita anak juga harus ditulis oleh seorang penulis dengan banyak kriteria. Salah satu kriteria adalah jumlah kosakata dalam satu kalimat tidak boleh panjang-panjang, hanya 2–8 kata. Oleh karena itu, kalimat-kalimat dari terpendek sampai terpanjang, seperti Aku bisa!; Aku hebat!; Aku akan makan, Bu!; Aku mendengar suara burung.; dan Anak-anak berlari di halaman sekolah sambil berteriak. merupakan kalimat yang akan terus kita baca dari beragam media tadi.
Anak-anak memang memiliki kosakata terbatas dalam pikirannya. Menurut Ahmad Susanto dalam buku Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar (2013), anak usia 6–7 tahun baru mampu menguasai 2500 kata. J.D. Parera (1993) juga menyatakan bahwa jumlah kosakata anak akan terus meningkat hingga usia 14 tahun sebanyak 14.000 kata. Hal ini berbeda dengan orang dewasa, khususnya yang terpelajar dan juga seorang pakar yang bisa memiliki 150.000 kata. Dari sekian kosakata itulah, orang tua harus bisa memilih kata yang paling tepat untuk dipahami anak-anak.
Bagaimana cara orang tua memenuhi rasa ingin tahu anak dengan kosakata yang terbatas mereka kuasai? Pertama, dengan repetisi atau mengulang kata dan kalimat yang sama. Oleh karena itu, jangan heran kalau orang tua kita dulu suka sekali mengulang-ulang menyampaikan sesuatu. Proses pengulangan ini merupakan langkah yang dinyatakan Kridalaksana (2008) sebagai proses mengenali.
Jika teman-teman menyimak para pendongeng Indonesia, seperti Kak Ojan (kak_ojan) dan Paman Gery (paman_gery), mereka akan mengulang-ulang kata dan kalimat yang sama ketika menceritakan sebuah dongeng kepada anak-anak. Misalnya, ketika kita mendengar dongeng Paman Gery yang berjudul “Penolong dari Dasar Laut” yang ditayangkan live di Instagram pada Sabtu, 25 Maret 2023 kemarin, Paman Gery berulang-ulang kali mengenalkan tokohnya, seperti Ikan Badut sebagai Si Pintar, Ikan Buntal sebagai Si Kuat, Ikan Hidung Panjang sebagai Si Cepat, Kepiting sebagai Si Lincah, dan Kerang sebagai Si Pendiam. Mengapa Paman Gery berulang kali menggunakan kata atau kalimat yang sama? Tentunya agar anak-anak mengingat apa yang sudah disampaikan.
Selain repetisi, cara kedua untuk membantu anak-anak memahami sesuatu yang ditanyakan adalah dengan analogi atau mencari persamaan antara benda/kejadian yang ditanyakan dengan benda yang mereka miliki atau kejadian yang pernah mereka alami. Itulah mengapa, ketika seorang teman membagikan pengalaman mendongeng di Instastory-nya, ia menggunakan cara analogi ini. Ketika itu, teman saya membacakan tulisan yang terdapat dalam buku cerita anak yang isinya berikut.
Akhir-akhir ini dihebohkan dengan banyaknya pencurian yang sulit dilacak. Herannya semua barang yang hilang adalah jenis arak, seperti arak putih, arak anggur, arak beras, dan jenis arak lainnya.
Secara spontan, kemudian tiba-tiba anaknya berkata, “Arak itu apa?” Makna arak dalam KBBI yang berupa ‘minuman keras, biasanya dibuat dari beras yang difermentasikan; zat cair mengandung alkohol (seperti wiski, brendi, rum) yang diperoleh dari penyulingan anggur serta zat cair lain dengan kadar etanol rendah’ tentu tidak mungkin disampaikan kepada anaknya yang usianya di bawah 12 tahun. Oleh sebab itu, teman saya menggunakan analogi untuk menjelaskannya.
“Arak itu kayak minuman, Nak, kayak susu, kayak minuman, Nada.”
“O, kayak minuman viral itu?”
“Ya, yang viral itu.”
“Nada ingin rasa stroberi. Enak rasa stroberi.”
Cara untuk membuat kalimat analogi memang sangat banyak. Bisa dengan menganalogikan minuman yang disukai anak-anak atau menganalogikan dengan minuman yang tidak disukai anak-anak. Tantangan saat membuat analogi ini adalah kecepatan orang tua dalam berpikir dan memilih kosakata. Orang tua harus cepat memilih kosakata ketika pertanyaan ini tiba-tiba keluar dari mulut anaknya.
Itulah mengapa saya pagi ini sangat resah melihat “Buku Panduan Ramadhan Ceria 1444 H” yang dicetak oleh salah satu sekolah dasar di Yogyakarta. Saya terbata-bata ketika memberikan analogi terkait materi “Hal-hal yang Membatalkan Puasa” yang ditulis dalam buku panduan tersebut. Setelah sahur, tiba-tiba anak sulung saya berkata, “Ibu, Uda bingung dengan kalimat dalam buku ini. Katanya bersatu badan antara suami istri pada siang hari itu membatalkan puasa. Itu seperti apa? Apakah seperti pelukan?”
Bagai petir yang tiba-tiba datang, bagai api kompor yang meleduk ketika lupa mematikan, seperti itulah perasaan saya mendapatkan pertanyaan ini. Saya hanya bisa mengiyakan analogi yang diberikannya sembari mengajak dia bercerita tentang hal lain mengenai puasa. Ketika mencari bahan lain yang bisa dibahas, mata saya tertuju pada materi “Amalan Sunah selama Ramadan” tentang makan kurma. Saya pun mengajaknya membahas kurma ini.
“Berbuka dengan kurma itu sangat baik. Uda belum pernah makan kan? Uda harus mencobanya. Kurma itu manis, Nak”. Hingga kemudian azan subuh terdengar dan dia bilang, “Uda salat dulu, nanti kita lanjutkan ya, Bu.”
Begitulah seorang anak memiliki rasa ingin tahu. Oleh sebab itu, penting kiranya bagi seorang guru atau penulis buku memperhatikan kosakata yang ditulis di dalam buku yang akan dibagikan kepada anak-anak. Menyampaikan hal-hal yang membatalkan puasa kepada anak-anak tidak harus semuanya hingga hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang dewasa. Guru atau penulis bisa memilih hal-hal yang membatalkan puasa anak-anak. Hingga nanti usia mereka dewasa, hal-hal lain bisa menyusul untuk disampaikan. Anak-anak belum bisa menerima kosakata yang hanya dikuasai atau dimiliki oleh orang dewasa, seperti contoh dalam buku panduan tadi.
Saya jadi teringat cerita seorang teman yang melaksanakan tarawih tadi malam. Ia menceritakan bagaimana ustaz di kompleks rumahnya menganalogikan berwudu yang bersih dari najis kepada anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an).
“Ketika pipis, kita tidak boleh membuat angka nol atau angka satu dengan air pipis yang keluar. Kalau percikan air pipis itu menempel di tangan, di kaki, di celana, di kain sarung, atau di mukena, akan menjadi najis bagi kita. Wudu kita tidak sah dan salat kita juga tidak akan diterima.” Analogi serupa inilah yang cocok disampaikan kepada anak-anak untuk memahami bagaimana air pipis menjadi najis atau kotoran yang menjadi penghalang untuk beribadah kepada Allah Swt. Kotoran yang dapat membatalkan wudu dan salat mereka.
Memang penting bagi guru di sekolah dan juga para penulis buku untuk anak-anak untuk memilih kosakata yang diketahui anak-anak dalam menyampaikan sebuah pengetahuan. Bersyukur orang tua yang suka membaca dan mampu menggunakan analogi untuk membantu anak-anak memahami sesuatu. Orang tua yang tidak memiliki bacaan yang banyak dan menjawab tidak tahu kepada anaknya, mereka bisa menyebabkan anak-anak mencari tahu sendiri atau mencoba sendiri sesuatu yang dilarang. Perbuatan yang melanggar hukum atau kekerasan seksual yang dilakukan anak dapat terjadi karena rasa ingin tahu anak tidak difasilitasi dengan baik oleh orang tua di rumah dan juga oleh guru di sekolah. Karena anak-anak yang menerima pengetahuan, sangat penting untuk memilihkan kosakata yang cocok untuk mereka.
Discussion about this post