Ketika Ia Datang Menyapa
Cerpen: Siswati, S.S.
Hari itu, Senin di awal September. Langit gelap, bersiap diri menjatuhkan gumpalan-gumpalan hitam yang pekat dan berat. Langit seperti hendak runtuh, dedaunan menimbulkan bunyi hebat, lantas desingan keras, derat-derit ranting patah serta gedebak-gedebuk batang kayu yang tumbang. Mengetahui gelagat alam yang datang, ayah segera bertindak, beliau memerintahkan ibu dan kedua adikku Yuli dan Rizal mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Aku tetap bersamanya bertahan, berjaga-jaga seandainya air naik. Ternyata dugaan kami benar, air dengan cepat meninggi. Tak ada jalan lain, kami pun menyelamatkan diri ke atas genteng. Untuk berjaga-jaga, sebelumnya ayah membawa tambang yang cukup panjang. Dari atas genteng, kami makin kebingungan, betapa tidak, dari cahaya senter yang dinyalakan, kami melihat dahsyatnya air yang datang.
Alam semakin tak bersahabat, dalam keremangan, kami menyaksikan air yang berwarna coklat membawa bongkahan-bongkahan gelondongan kayu menghantam rumah-rumah yang ada di sekitar kami.
Ayah sadar bahwa bahaya sudah di depan mata namun ayah masih terlihat tenang meski aku rasanya sudah putus asa. Sepertinya ayah tahu tak lama lagi arus akan menggulung rumah kami. Aku merasakan rumah mulai bergoyang. Sepertinya kami tak mungkin berlama-lama bertahan di genteng. Ayah memutuskan kami harus segera pergi.
Upaya penyelamatan yang dramatis pun terjadi. Ibarat atlet rodeo, ayah melemparkan tambang ke rumah lain yang lebih kokoh. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya ayah berhasil menambatkan tali di rumah seberang yang lebih tinggi dan kokoh. ayah menyuruhku menyeberang duluan sambil berpengangan tali. Setelah aku selamat sampai di seberang, barulah ayah menyusul. Namun, belum sempat tali itu kulemparkan pada ayah, tiba-tiba air bah itu datang, ayah yang tengah menunggu tali dariku terhuyung-huyung. Dalam sekejab, arus itu meluluhlantakan rumah kami serta ayah, tubuh ayah timbul-tenggelam bersama air lumpur kecoklatan itu. Aku yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa memekik histerius memanggil ayah. Tuhan telah berkehendak, betapa ia maha kuasa, hanya dalam sekejab saja bangunan rumahku sudah diratakan-Nya, sementara ayah telah menghilang ditelan lumpur itu.
Hari itu Rabu pagi. Posko tempatku mengungsi dikunjungi oleh suatu tim, mereka mengatakan bahwa ayahku telah ditemukan pada hari Selasa, pukul lima pagi. Sekarang ayah dirawat di rumah sakit. Alhamdulilllah, ada perasaan bahagia yang sulit untuk kuunggkapkan. Aku kembali terpekur pada kukuasaan tuhan.
Dalam ruangan yang serba putih itu, kulihat tubuh ayah yang tergeletak amat memilukan, matanya terpejam dan kakinya….Akh!..tak sanggup aku membayangkan apa yang menimpanya. Mulutku bergetar membayangkan dan aku hampir tak kuasa menahan air mataku. Sementara orang-orang yang telah berjasa menyelamatkan ayah terus berusaha menghibur dan menguatkan hatiku. Aku mendekati.
“ Yah!…”bisikku pelan pada telingganya. Pelan ayah membuka matanya.
“Joni, alhamdulillah Kau selamat Nak! Mana ibu dan adikmu?” tanya ayah dengan suara parau.
“Baik-baik saja Yah”, ujarku sembari menyembunyikan perasaan galau. Aku telah berdusta pada ayah, kenyataannya, sampai saat ini aku belum tahu dimana ibu dan adikku berada.
Telah seminggu ayah dirawat. Aku tak tahu, aku tak mengerti mengapa begini. Pikiranku tak menentu, kondisi ayah, nasib ibu dan kedua adikku, benar-benar membuatku pusing.
Iba sungguh hatiku melihat keadaan ayah. Kasihan, wajah ayah kerap murung. Hanya memaksa-maksa tersenyum dihadapanku, sehingga aku sering melamun merasa-rasakan sakitnya.
“ Jon, Joni!…” ayah membuyarkanku ketika perhatianku keawang-awang terbang.
“ Ya, ada apa Yah? Jawabku.
“Kata dokter, kaki Ayah harus segera di operasi. Salah satu tulang ayah harus dipotong.” Terbelalak aku mendengarkannya. Aku menelan ludah.
“Kapan operasinya Yah!” tanyaku berusaha meredam gejolak hati ini.
“Hari ini Jon, maaf ya Nak karena Ayah baru memberitahumu sekarang. Ayah tak mau kamu tambah sedih” jawab ayah. Berbagai rasa menyesaki dadaku, mulutku terkunci. Hampir tak percaya dengan barusan yang kudengar.
“Pak Ramli!” suster mamanggil ayah. Segera ayah membalikkan badan. Suster itu mengangguk pelan, isyarat bahwa beliau harus segera masuk ruang operasi. Ayah kemudian memandangku seolah ia hendak mengatakan agar aku tenang. Kupandangi tubuh ayah yang akhirnya menghilang dibalik pintu ruang operasi. Aku dilarang masuk, hanya boleh menunggu di luar. Hatikupun teriris-iris rasanya. Kutundukan kepala, berdoa kehadirat Illahi untuk ketabahan dan kesembuhan ayah.
Menanti dalam ketidakpastian membuatku semakin kalut. Menit demi menit terus mengalir. Aku semakin tidak mengerti. Yang kutahu bahwa ayah akan di operasi! Berarti tulang dipenggal, daging dibedah, dan darah…ampun!…bermacam praduga pun mulai menyesaki benakku. Berhasilkah? Gagalkah? Ya tuhan!
Sayup-sayup kudengar seseorang memanggil namaku. Reflek aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Serasa bermimpi, kutemukan sesosok yang sudah sangat kukenal, Ibu! Ya Ibu yang selama ini ku anggap telah pergi jauh dan tidak mungkin akan bertemu kembali.
“ Ibuuu!….” segera saja aku menghambur kepelukannya, menangis, menumpahkan semua yang menyesak dihatiku. Sosok itu hadir di saat ayah tengah bertarung di meja operasi.
“Mana Yuli dan Rizal Bu?” ujarku kemudian setelah aku bisa menguasai diri. Mataku terus mencari-cari keberadaan kedua adikku itu, namun tak juga kutemukan.
“Adikmu Yuli demam panas. Sekarang sudah agak baikan. Dia ditunggui oleh Rizal”.
“Ibu kok disini?” tanyaku kebinggungan.
“Ibu mau ke apotek. Obat untuk adikmu harus segara Ibu tebus. Kamu kemana saja Jon, mengapa ada disini?” tanya ibu disela isak tangisnya. Aku tak kuasa menjawab pertanyaannya. Ucapanku terasa hanya sampai di kerongkongan. Tak berani aku berterus terang pada ibuku. Aku tak mau ibu jadi tambah sedih. Begitu banyak derita yang harus ditanggungnya. Namun, serasa ada sesuatu yang menyesak di dadaku, memaksaku untuk jujur pada ibu. Belum sempat aku menjawab pertanyaan ibu, tiba-tiba ruang operasi terbuka dan kabar mengejutkan itu datang dari sesorang suster yang keluar dari sana.
“Operasi Pak Ramli berjalan lancar. Sebentar lagi beliau akan dipindahkan ke ruang rawat,” ucap suster tersebut diiringi senyum yang seolah mengerti kebahagiaan yang tengah menyelimuti kami. Ibu memandangku dengan wajah bertanya-tanya, namun tak ada satu katapun yang keluar dari bibirku, hanya zikir dan syukur yang memenuhi dadaku.
“Bu!, ayo kita temui ayah, nanti kuceritakan semuanya” serta merta kugamit lengan ibu dengan perasaan suka cita untuk menemui ayah tercinta.
“Terima kasih Tuhan, kau satukan kami lagi”, bisikku parau.(*)
Padang, 2023.
Biodata Penulis :
Siswati, S.S. kelahiran Nanggalo, 14 April 1981. Ia merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara. Ia salah satu peserta Sekolah Menulis FLP Sumbar 2020 dan juga alumni Sastra Indonesia, Fakultas Sastra (Sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Sejak tahun 2008 hingga sekarang menjadi guru di Perguruan Islam Ar Risalah Padang. Siswati telah menerbitkan tulisannya dalam buku berjudul “Perjalanan Berkah Menuju Ka’bah (sebuah memoar).”
Hukum Sebab Akibat dan Akhir Mengejutkan dalam Cerita
(Ulasan Cerpen “Ketika Ia Datang Menyapa” karya Siswati)
Oleh :
Azwar St Malaka, M.Si.
(Anggota Forum Lingkar Pena)
Sastra dan lingkungan adalah sesuatu yang akrab bersahabat. Hal ini karena karya sastra pada dasarnya adalah suara hati manusianya. Jika ada karya sastra yang bertemakan lingkungan, berarti ada penulis-penulis yang masih peduli pada lingkungan. Dengan demikian, semakin banyak masyarakat yang menikmati sastra bertema lingkungan. Sementara itu, pada sisi lain, pembicaraan tentang ekologi sastra tidak pernah selesai. Hal ini karena persoalan lingkungan memang kerap kali menjadi topik pembahasan di dalam karya sastra itu sendiri.
Ada banyak tulisan yang membahas tentang sastra dan lingkungannya. William Rueckert (1978) dalam esainya “Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism”, mengemukakan bahwa ekokritisme adalah kajian hubungan antara manusia dan non-manusia, sejarah manusia dan budaya yang terkait dengan analisis kritis manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu, ecocriticism adalah studi yang menyelidiki bagaimana manusia menyajikan serta mendeskripsikan keterkaitan atau sinergisasi manusia dan lingkungannya dalam ekspresi hasil budaya.
Asyifa dan Putri (2018) dalam tulisan mereka berjudul “Kajian Ekologi Sastra (Ekokritik) Dalam Antologi Puisi Merupa Tanah Di Ujung Timur Jawa,” menuliskan paradigma ekologi terhadap kajian sastra merupakan bentuk penerapan pendekatan ekologi dalam memandang sebuah karya sastra. Dalam pandangan ekologi, eksistensi organisme dipengaruhi oleh lingkungannya atau ada hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya. Perjumpaan konsep ekologi dan karya sastra tersebut melahirkan suatu bentuk konsep ekokritik. Ekokritik merupakan kajian hubungan antara sastra dan lingkungan fisik.
Sementara itu, Ande Wina Widianti (2017) dalam tulisannya berjudul “Kajian Ekologi Sastra Dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2014 di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon,” dituliskan bahwa sudah sejak lama alam menjadi bagian representasi dari banyak karya sastra. Alam seringkali tidak sekadar menjadi latar sebuah cerita-cerita fiksional dalam karya sastra, tetapi juga dapat menjadi tema utama dalam sebuah karya sastra.
Adanya keterkaitan alam dengan karya sastra memunculkan sebuah konsep tentang permasalahan ekologi dalam sastra diantara para kritikus sastra. Istilah ekokritik (ecocriticism) digunakan sebagai istilah mengenai konsep kritik sastra yang berhubungan dengan alam serta lingkungan. Mengutip Harsono (2016) menyebut istilah ekokritik berasal dari bahasa Inggris ecocriticism yang merupakan bentukan dari kata ecology dan kata critic. Ekologi dapat diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubungan, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungannya. Kritik dapat diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu.
Kreatika edisi ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Ketika Ia Datang Menyapa” karya Siswati anggota FLP Sumatera Barat. Siswati mengisahkan perjuangan sebuah keluarga menghadapi banjir bandang yang menghanyutkan rumahnya dan rumah-rumah lain di kampungnya. Cerita tersebut diceritakan dalam sudut pandang orang pertama dimana tokoh “Aku” menjadi pencerita yang terlibat dalam kisah itu. Tokoh utama dalam cerita itu bernama Joni, menceritakan betapa banjir bandang itu telah memisahkan dia dan keluarganya.
Cerita dibuka dengan suasana sebelum banjir bandang yang sudah memberikan tanda-tanda seperti langit hitam yang siap menumpahkan hujan deras di daerah itu. Tokoh “Aku” dan ayahnya berusaha menyelamatkan Ibu dan adik-adiknya ke tempat yang aman, sementara mereka sendiri ketika akan menyelamatkan diri terjebak di banjir bandang itu. Joni selamat karena ayahnya sempat melemparkan tali tambang yang kemudian digunakan Joni untuk berpindah dari atap rumahnya ke atap rumah warga yang lebih kokoh. Sementara itu, ayahnya hanyut bersama rumah mereka.
Cerita ini berlanjut menceritakan bagaimana kesaksian Joni atas penderitaan akibat banjir bandang itu. Hingga sampai di rumah sakit di mana ayahnya akan dioperasi. Pada satu sisi tokoh “Aku” gembira karena bertemu dengan ayahnya yang masih hidup. Pada sisi lain, dia sedih melihat kondisi ayahnya yang banyak mengalami luka, termasuk kakinya yang patah.
Cerita mengalir begitu saja sampai Joni harus merelakan ayahnya masuk ke ruangan operasi. Di saat-saat genting itu, Joni bertemu dengan ibunya secara tidak sengaja. Ibunya ingin membeli obat ke apotek untuk adik-adik Joni yang panas. Cerita diakhiri dengan bahagia walaupun dalam keadaan menunggu tokoh ayah selesai dioperasi itu.
Sebagai sebuah cerita pendek yang menceritakan kejadian singkat, cerpen ini sudah selesai. Cerpen ini memenuhi syarat sebagai cerita pendek melihat durasi pengisahan yang pendek, selain itu juga disajikan dengan pendek. Untuk menjadi cerita yang menarik, sebenarnya cerita pendek berjudul “Ketika Ia Datang Menyapa” ini masih memungkinkan.
Ada beberapa hal yang perlu ditambahkan agar cerita berkesan dan memiliki pesan moral yang bermanfaat untuk masyarakat. Contohnya bisa jadi sekilas penulis menambahkan sebab-sebab terjadinya banjir bandang itu. Penulis bisa menceritakan contohnya banjir itu terjadi karena perubahan struktur hutan di hulu sungai. Bisa jadi hutan-hutan sebagai penyimpan air ketika hujan sudah ditebangi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Artinya ada faktor manusia yang menyebabkan bencana itu.
Menurut saya, penyebab terjadinya banjir bandang itu perlu disampaikan sekilas, karena pada dasarnya sebuah cerita harus memenuhi hukum kejadian sebab – akibat. Banjir bandang dan hanyutnya rumah-rumah penduduk di sekitarnya adalah akibat. Sementara sebab kejadian itu belum tergambarkan dalam cerita ini. Apakah murni bencana alam saja atau justru bencana alam yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian manusia.
Selain belum memperlihatkan hukum sebab – akibat dalam cerita, cerita “Ketika Ia Datang Menyapa” ini juga menggantung emosi pembaca. Hal ini umum terjadi pada cerita-cerita yang menggunakan prinsip akhir bahagia (happy ending). Akan lebih mengaduk emosi pembaca jika diceritakan banjir bandang yang disebabkan oleh ulah manusia itu mengakibatkan kerugian pada manusia itu sendiri. Walaupun tidak ada kewajiban sebenarnya untuk membuat cerita memiliki pesan-pesan berat seperti itu.
Saya membayangkan cerpen ini akan menarik jika memuat dua hal seperti yang disampaikan di atas, yaitu pertama memuat hukum sebab akibat cerita. Hal ini bisa saja dengan penulis menambahkan sedikit latar belakang terjadinya banjir bandang yang mengakibatkan keluarga Joni menjadi korban itu. Untuk menambahkannya, banyak sekali kisah yang dapat dibuat, seperti mungkin saja ayah Joni adalah seorang petani miskin yang karena tidak bisa lagi Bertani karena lahan pertanian sudah habis beralih profesi sebagai penebang kayu di hutan. Karena pohon-pohon di hutan sudah gundul hal itu menyebabkan tidak ada lagi yang menampung air hujan, sehingga struktur tanah hutan yang bercampur air hanyut ke sungai dan ketika volumenya semakin banyak menyebabkan banjir bandang.
Kisah lain yang bisa ditambahkan adalah bisa saja Joni dan keluarganya terpaksa pindah ke tepi sungai karena rumah tempat tinggalnya semula dengan keluarga merupakan tanah konflik dengan kaum ayahnya. Cerita seperti ini bisa ditarik ke dalam tema-tema adat Minangkabau yang dalam kehidupan nyata tentang tanah atau harta pusaka ini banyak menyisakan konflik.
Kedua untuk membuat cerita ini semakin menarik adalah dengan menambahkan ending yang tidak biasa. Ada kejutan di akhir cerita yang mampu mengaduk perasaan pembaca. Contohnya mungkin saja Joni yang rapuh itu benar-benar harus kehilangan orang tuanya karena banjir bandang itu. Sebagai sebuah cerita fiksi seorang penulis sah saja berlaku kejam pada tokohnya. Toh cerpen hanyalah fiksi atau cerita rekaan untuk tujuan-tujuan tertentu seperti menyampaikan pesan moral agar jangan merusak lingkungan dan lain sebagainya.
Sekali lagi sebagai sebuah cerita, cerpen “Ketika Ia Datang Menyapa” ini sudah selesai, akan tetapi untuk menjadi cerita yang menarik, cerpen ini masih memiliki peluang dengan menambahkan beberapa hal seperti yang disampaikan dalam tulisan ini.(*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post