Oleh: M. Yunis
(Mahasiswa Program Doktoral Linguistik Universitas Padjajaran)
Palangkahan adalah salah satu kebudayaan mengenai penentuan waktu yang ada dalam masyarakat Minangkabau. Palangkahan berasal dari kata dasar langkah, secara semantik yang identik dengan langkah kaki atau gerakan arah tujuan kaki. Menurut Wilson (2002: 5—6) langkah (basic steps) ialah physical training began with half an hours of stretching and other warm up exercises, followed by various kinds of jumping and rolling’. Di dalam silat tradisional Minangkabau, langkah merupakan arah gerakan kaki di saat berhadapan dengan lawan atau musuh. Pesilat pemula disebut sebagai orang yang baru belajar melangkah. Langkah harus dirumuskan sehingga pesilat dapat terhindar dari ancaman dan serangan musuh. Langkah di dalam silek dianggap sebagai pengaturan dan perumusan strategi gerakan dalam menghadapi lawan atau mengalahkan musuh.
Terdapat dua jenis langkah pada silek tradisi Minangkabau. Pertama langkah ampek (langkah empat) satu langkah maju, satu langkah ke kiri, satu langkah ke kanan, dan satu langkah mundur. Langkah ampek ini dianggap sebagai manifestasi dari empat sahabat Nabi Muhammad SAW. Sahabat tersebut di antaranya; Umar, Usman, Ali, dan Abu Bakar Sidiq. Kedua langkah tigo (langkah tiga), langkah ini dipakai oleh pesilat disaat berhadapan dengan musuh. Satu langkah ke kanan, satu langkah ke kiri, dan satu langkah maju. Pada langkah tigo ini tidak dikenal adanya langkah mundur. Melangkah di dalam silek diikuti oleh pola-pola jurus yang telah dikombinasikan dengan gerakan tangan dan kaki. Jurus-jurus itu digunakan untuk menjatuhkan lawan, dapat berupa gerakan tipuan, pemanfaatan tenaga lawan, dan pancingan. Jadi, langkah dibentuk di dalam silek tradisi merupakan strategi yang ampuh untuk mengalahkan musuh. Belajar melangkah termasuk tahap dasar di dalam batang silek.
Menariknya, di dalam pembelajaran silek tradisi, penentuan waktu menjadi pokok persoalan yang paling utama. Bulan purnama dianggap sebagai waktu yang baik dan bertuah di dalam pembelajaran silek (Purna, dkk, 1997: 29–40). Sebagian dari aliran silek tradisi, seperti sitaralak menjadikan hari Minggu dan Kamis sebagai waktu paling bagus di dalam latihan. Penentuan waktu seperti ini disebut sebagai palangkahan.
Falsafahnya mati jo langkah iduik jo langkah menjadi dasar utama pada silek Minangkabau. Artinya, mati dengan langkah, hidup dengan langkah. Hidup ataupun matinya seseorang tergantung pada perencanaan yang telah dipersiapkan. Hidup mati secara semantik tidak hanya sekedar perpisahan jasad dengan badan, tetapi lebih luas merambah pada persoalan lain di dalam kehidupan, misalnya persoalan ekonomi, karier, jodoh, dan masa depan. Segala bentuk persiapan ini disebut sebagai palangkahan.
Di masa lalu, palangkahan pernah menjadi latar karangan sastrawan angkatan Balai Pustaka, misalnya Nur St. Iskandar salah satu pengarang yang berlatarbelakang Minangkabau, meramu pituah langkah dan palangkahan silek di dalam karangannya (1979: 91—93). Di ceritakan bahwa langkah ampek berfungsi untuk memelihara diri dari sengketa pergaulan hidup dimana saja berada. Filosofi langkah ampek dituliskan dalam bentuk empat nasihat, di antaranya pertama milik kita jangan diberikan pada orang lain; kedua punya orang jangan diambil; ketiga berjalan lurus; dan ke empat berkata benar. Empat langkah ini disebut oleh penulis dapat menyelamatkan diri dari niat jahat orang lain.
Tidak jauh berbeda dengan Iskandar, Selasih juga melatari karangannya dengan langkah (1983: 134–140). Selasih menceritakan perkelahian dua tokoh, antara bujang Piaman dengan Sutan Lembak Tuah dibungkus dalam narasi ingin belajar melangkah. Pada karya berikutnya (1985: 46– 285), Selasih juga melatari karangannya dengan langkah ampek (langkah empat) yang disebut sebagai langkah adaik (langkah orang beradat). Langkah ini juga disebut oleh pengarang sebagai langkah yang dapat menyelamatkan diri dari kesalahan. Pada karya berikutnya (1986: 80—116), Selasih menceritakan perkelahian tokoh Gadih dinarasikan dalam bentuk mengulang-ulang langkah (mengasah langkah).
Pada gambaran di atas, jelas terlihat bahwa penulis angkatan Balai Pustaka sengaja menyediakan ruang di dalam karyanya yang khusus membahas langkah. Dalam karya sastra lama ini, pengarang ingin menyampaikan bahwa langkah dan palangkahan memiliki peran penting bagi Masyarakat Minangkabau di masa itu.
Sejalan dengan di atas, kebiasaan hidup merantau orang Minangkabau ikut mendorong generasi mudanya untuk menguasai ilmu palangkahan. Pengetahuan itu tidak hanya berupa kemahiran di dalam penentuan waktu-waktu baik, tetapi juga penguasaan terhadap mantra-mantra yang melekat pada palangkahan. Mantra-mantra ini dianggap sebagai pakaian dari palangkahan dan sebagian lagi diwujudkan dalam bentuk azimat. Mantra palangkahan sering ditemukan dalam bentuk wujud pepatah petitih klasik Minangkabau. Oleh karena itu, ia disebut sebagai salah satu genre Sastra Lisan (Bakar, dkk, 1981: 124—135). Tetapi Noverita (2018, 114—116) mengkategorikannya sebagai salah satu unsur adat yang terdapat pada kebudayaan Minangkabau.
Kemudian, kesakralan daerah rantau juga telah menginisiasi para perantau Minang mempelajari dan menguasai ilmu palangkahan. Mamangan adat, ‘lauik sati rantau batuah’ memperkuat keyakinan tersebut bahwa rantau memang benar memiliki tuah dan kesatian. Kesusahan hidup di dunia perantauan, rintangan-rintangan, dan bahkan kegagalan menjadi penanda bahwa fenomena tersebut nyata adanya. Oleh karena itu, penguasaan ilmu palangkahan menjadi satu-satunya jalan untuk menghadapi kepelikan yang disebutkan di atas.
Palangkahan juga dipakai oleh Maha Raja Diraja di saat melakukan perjalanan menemukan pemukiman baru, sehingga sampai ke Pulau Sumatera. Maha Raja Diraja ini diceritakan di dalam Tambo Minangkabau sebagai sosok nenek moyang orang Minangkabau di daerah Pariangan (Jamal, 1987: 39—47). Perjalanan panjang penemuan tempat baru bukanlah hal yang mudah. Perjalanan ini diuraikan dalam tambo seperti memasuki suatu kawasan hutan belantara dan dikiaskan dalam bentuk yang paling menakutkan. Kiasan itu disematkan dalam pepatah Minangkabau, terjemahannya, ‘’tempat burung mati di sarangnya, tempat tinggal Raja Jin, tempat setan berkuasa, Naga bergulung di uratnya, dan batang dililit ular bidai’’ (Marthala, 2014: 144). Begitulah gambaran kengerian yang ditempuh di masa pencarian wilayah baru.
Pada masa agresi milter Belanda II tanggal 19–20 Desember 1948, di daerah Padang Pariaman palangkahan digunakan sebagai pengatur strategi di dalam perang. Menurut keterangan Ali Ludin (veteran perang), sebelum melakukan serangan pada Belanda, pemimpin perang mendatangi labai. Labai adalah jabatan pengelola sekaligus sebagai imam shalat di surau Minangkabau. Labai menentukan hari baik dan waktu yang tepat untuk melakukan penyerangan ke markas Belanda di Lubuk Alung. Ali Ludin dan kelompoknya selalu mengalahkan pasukan Belanda di setiap kali serangan dilakukan.
‘’Kami dicap Belanda estrimis (extrimis), markas Belanda ketika itu berada di Lubuak Alung, jadi kami berkumpul di rumah Raki’ah (Tj. Pisang). Kami manyerang Belanda pukul 12 malam, pasukan dibagi 2 (Barat dan Timur). Satu rombongan melewati rel kereta api dan satu rombongan lagi melewati Rimbo Kalawi Punggung Kasiak. Pasukan membawa senapan lengkap hanya saya yang membawa Pedang (setelah saya telusuri model pedang yang dikatakan tersebut ternyata pedang KNIL Milsco Belanda). Katika rombonga kami samapi di Lubuk Aluang, saya mandobrak pintu dan saya langsung menyemblih leher Belanda di saat tidur. Dulu penyerangan dilakukan tiap hari, kemudian setelah itu kami lakukan satu kali dalam satu minggu. Jadi untuk hari penyerangan terlebih dahulu dicarikan hari yang baik oleh labai’’. (wawancara dengan Ali Ludin Pejuang Veteran di Nagari Sintuak, 21 Februari 2021).
Jauh sebelum agresi Militer Belanda II, Tuanku Imam Bonjol pun telah menerapkan palangkahan. Pada masa konflik awal, kaum hitam (kaum adat) menyerang kaum putih (kaum agama) tahun 1803 hingga 1821. Alhasil, benteng Bonjol selalu dapat dipertahan oleh Tuanku Imam Bonjol. Setelah perang dengan kaum adat selesai, nama Tuanku Imam Bonjol menjadi terkenal dan banyak orang yang datang berlajar agama kepada beliau di Bonjol. Imam Bonjol, tidak hanya paham ilmu agama tetapi juga Ilmu dunia yang dikenal dengan palangkahan. Seperti yang ditulis Madjolelo (Madjolelo, 1951: 65–76).
‘’Orang-orang kampung sangat takut dan pertjaja kepada beliau, sebab beliau pandai bertenung dan melihat ketika jang baik dan jang tiada baik. Di bawah ini, ada dua buah gambar jang dipakai orang untuk menentukan waktu jang baik dan jang jahat pada tiap-tiap hari bulan arab dan pada tiap-tiap djam sepandjang hari’’.
Pada kutipan di atas digambarkan bahwa orang-orang kampung sangat percaya pada Tuanku Imam Bonjol, karena beliau menguasai ilmu tanuang dan pandai mencari waktu yang baik terhadap semua pekerjaan yang akan dilakukan.
Pengetahuan Imam Bonjol terhadap ilmu dunia ini menjadi kesulitan tersendiri bagi Belanda. Selama 16 tahun Belanda mengalami kegagalan merebut Bonjol, mulai tahun 1821, tahun 1833, dan tahun 1836 (Hadler, 2008: 21—22). Faktanya Belanda selalu gagal mendekati benteng Bonjol. Belanda terpaksa memilih berdamai sementara waktu dengan Imam Bonjol. Strategi ini digunakan Belanda agar bisa fokus menghadapi Perang Diponegoro (1825—1830) di Pulau Jawa. Pada tahun 1837 Belanda kembali menyerang Bonjol dengan cara menghambat penyaluran logistik terhadap pejuang Paderi. Benteng Bonjol pun telah ditembus dan pejuang terpaksa menyingkir ke hutan. Pada masa gerilya itulah, Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap oleh Belanda.
Unsur-unsur magis ini juga mewarnai perjuangan Tuanku Imam Bonjol di dalam melawan Belanda. Hal ini dianggap aspek dan aktivitas kehidupan yang bersifat duniawi, tetapi juga kehidupan religi. Terkadang, dua unsur magis ini dicampurkan ke dalam amalan keagamaan yang dianut. Walaupun unsur-unsur magis itu ciptaan manusia tetapi dianggap bagian dari ajaran, ritual, dan amalan keagamaan. Unsur magis ini terkandung di dalam palangkahan milik keluarga Tuanku Imam Bonjol.
Dengan demikian, keberadaan palangkahan Minangkabau menjadi salah satu bukti sejarah bahwa palangkahan pernah mengisi kehidupan masyarakat Minangkabau pada masa lampau dan masa sekarang. Keberadaanya dalam berbagai bentuk, berbagai tujuan, dan kepentingan masih dipraktikkan oleh masyarakat Minangkabau di masa kini. Sebagaimana telah dikatakan di atas, sebagai sesuatu yang berasal dari masa lampau, palangkahan belum ‘dijangkau’ oleh para peneliti sebelumnya, khususnya Minangkabau. Di samping itu, teks bahasa palangkahan tidak dipahami oleh masyarakat awam, kecuali orang-orang yang disebutkan di atas.
Terkait dengan ilmu langkah, terdapat satu hal yang luput dari kesadaran kita. Palangkahan tak obahnya sebuah metodologi penghitungan waktu yang dilandasi oleh peredaran benda langit (bintang). Sekurang-kurangnya terdapat 7 bintang yang digunakan di dalam palangkahan. Di dalam manuscript palangkahan Ulakan dijelaskan tujuh bintang tersebut di antaranya; pertama bintang Qamarun berada di langit yang pertama berwarna merah.; kedua bintang Katibun di langit kedua berwarna hitam; ketiga bintang Dzuhriyyun berwarna putih; keempat bintang Syamsun berwarna hijau berada di langit keempat; kelima bintang Marîjun berwarnanya merah-hitam berada di langit yang kelima; keenam Musytariyun berwarna putih-kuning berada di langit keenam; dan ketujuh bintang Dakhil berwarna putih kuning hijau merah berada di langit ketujuh (Pramono transliterasi, 2021). Tujuh bintang di atas lah digunakan di dalam merumuskan dan menentukan waktu di dalam palangkahan sehingga masyarakat Minangkabau di masa lalau dapat menentukan hari dan waktu yang baik di dalam beraktivitas.
Discussion about this post