Elly Delfia, S.S., M.Hum.
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
“Bahasa dalam pandangan analisis wacana kritis menggambarkan bagaimana realitas dunia dilihat dan melalui bahasa seseorang menyampaikan serta mengontrol pengalamannya tentang realitas sosial dilihatnya. Dalam hal ini, bahasa menggambarkan bagaimana pertarungan sosial terjadi”(Roger Fowler, dkk.).
Kenduri Arwah tidak hanya sebuah novel horor yang menggidikkan bulu roma, tetapi juga novel yang sarat nilai sosial dan budaya. Novel karangan A.R. Rizal ini diterbitkan oleh Pustaka Obor Indonesia pada tahun 2021. Novel ini telah diluncurkan dan dibedah di ruang virtual zoom meeting dan kanal YouTube Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Sumatera Barat pada Sabtu, 5 Februari 2022 lalu. Novel ini mendapat beragam apresiasi dari peserta. Selain mengekspos realitas sosial dan tradisi kebudayaan Minangkabau tentang pelaksanaan prosesi kematian, novel ini juga berkisah mengenai pertarungan sosial dalam hal ini pertarungan ide dan pemikiran antara Farida dan anak perempuannya, Arini. Farida dan Arini merupakan dua tokoh sentral yang mendominasi jalan cerita. Kedua tokoh ini ditemani dua tokoh pendukung protagonis lainnya, yaitu Fatimah dan anak lelakinya Sjamsul. Fatimah merupakan adik atau saudara perempuan Farida. Konflik dalam novel ini berkisar pada kemunculan arwah Kamaruzzaman selama prosesi kematian yang dalam novel ini disebut kenduri arwah.
Selama prosesi kematian, Farida melakukan ritual-ritual yang tidak masuk di akal di mata Arini. Menurut Arini, ibunya tidak waras lagi karena terlalu sedih dengan kematian sang ayah. Ketidakwarasan ditunjukkan Farida dengan menyediakan air di teko untuk arwah Kamaruzzaman, membakar kemenyan untuk mengasapi jas peninggalan Kamaruzzaman, dan berbincang-bincang dengan arwah Kamaruzzaman dalam ritual-ritual yang dilakukannya pada malam hari. Arwah Kamaruzzaman yang menjadi objek kunci seluruh alur cerita.
Kenduri arwah yang dimaksud dalam novel ini dalam masyarakat Padang Pariaman disebut dengan Mangaji (membaca zikir, ayat Alquran, dan doa). Mangaji merupakan salah satu tradisi yang dilaksanakan untuk memperingati kematian seseorang dalam tradisi Minangkabau, khususnya pada masyarakat daerah Padang Pariaman. Jika tradisi ini tidak dilaksanakan, arwah dipercaya tidak tenang di alam kubur karena tidak mendapatkan sedekah “kaji” atau doa dari keluarga yang masih hidup. Keluarga akan mendapatkan malu jika tidak melaksanakan prosesi kematian ini sampai selesai karena salah satu fungsi harato pusako (harta pusaka) dalam konsep masyarakat Minangkabau adalah untuk penyelenggaraan jenazah yang sudah meninggal dengan istilah mayik tabujua di tangah rumah.
Prosesi kematian ini dimulai pada hari pertama sampai hari ketiga setelah kematian, lalu dilanjutkan pada hari ketujuh, hari keempat belas, hari keempat puluh, dan berakhir pada hari keseratus sejak kematian. Dalam bahasa Minangkabau, disebut dengan istilah manigo hari, manujuah hari, manduo kali tujuh, maampek puluh, dan manyaratuih hari. Mangaji (pembacaan zikir tahlilan dan doa) dilakukan hanya boleh dilakukan oleh ahli agama (Tuanku, Imam Katik, Labai). Selesai pembacaan zikir tahlilan dan doa, acara diakhiri dengan memakan hidangan bersama.
Secara kultur, semua kisah dalam novel Kenduri Arwah merupakan realitas sosial yang hidup di tengah masyarakat Minangkabau di daerah Padang Pariaman. Tradisi ini hasil akulturasi (percampuran) budaya Islam dan animisme (kepercayaan pada arwah atau roh-roh nenek moyang) yang merupakan kepercayaan masyarakat Minangkabau di masa lalu. Pengabungan kedua tradisi ini menghasilkan “pertarungan sosial” menurut pandangan ahli linguistik kritis, Roger Fowler, dkk. (1970-an) dan “pertentangan sosial” menurut pandangan ahli wacana kritis, Norman Fairclough (1980-an). Pertarungan ataupun pertentangan ini termasuk di dalamnya pertarungan ide, sudut pandang, pemikiran, sikap, dan tindakan. Bentuk-bentuk pertarungan atau pertentangan sosial dalam Kenduri Arwah termanisfestasi dalam sikap-sikap, tindakan, sudut pandang, dan ide yang saling bertentangan antara tokoh Farida dan Arini, seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini.
Kutipan 1
“Untuk apa kain putih dan kemenyan di dekat jas dan peci ayah itu, Bu?”
“Bukan untuk apa-apa.”
“Seperti sebuah pemujaan saja.”
“Hus otakmu sudah dirusak oleh film-film yang kau tonton di kota. Tak ada yang boleh dipuja selain yang Mahakuasa.
Arini mengabaikan perhatiannya terhadap kain putih dan kemenyan di lantai kayu. Gadis itu membaringkan tubuhnya di sudut dipan. Mencoba memicingkan mata tapi tak bisa terlelap. Bayangan tempat pemujaan masih bermain-main di kepalanya.” (Rizal, 2021:40)
Kutipan 2
Arini masih ingat kebiasaan Kamaruzzaman. Setiap kali pulang ke rumah, ia duduk di kursi kayu dekat meja kecil. Sambil mengisap tembakau yang dibalut daun nipah, ia mengisi waktu senggang dengan menikmati pemandangan dari jendela ruang tengah. Jika kerongkongannya kering, ia mengambil air dari teko. Air yang direbus di waktu pagi menjadi sejuk menjelang siang dan petang. Namun, Kamaruzzaman sudah tiada. Tak berguna lagi air di dalam teko itu. Mubazir telah memasaknya.
“Ayah sudah tak ada, Bu. Tak ada yang meminum air di teko ini,”Arini mencoba mengingatkan Farida.
“Tak usah kau pikirkan tentang siapa yang akan meminum air itu,” Farida membalas dengan kata-kata ketus. (Rizal, 2021:44).
Pertarungan ide antara tindakan Farida dan Arini terlihat jelas dalam kutipan-kutipan di atas. Secara umum, sosok Farida merepresentasikan realitas sosial kehidupan masyarakat Minangkabau yang masih menjaga tradisi dan budaya. Masyarakat yang belum sepenuhnya tersentuh moderenitas dan masih terikat dengan ritual-ritual dan kehidupan tradisional. Sementara itu, Arini, anaknya merepresentasikan sosok anak berpendidikan tinggi, sudah tersentuh modernitas, dan menolak hal-hal tidak logis serta tidak masuk akal. Ia menolak dengan komentar “Seperti sebuah pemujaan saja.” Kalimat tersebut bisa bermakna ejekan atau sindiran halus untuk ibunya, Farida. Penolakan juga membuat ia tidak bisa tidur menyaksikan perilaku dan tindakan ibunya. Selain pertarungan ide dengan Arini, Farida juga memiliki pertarungan dalam dirinya yang berbentuk dualisme kepribadian antara ketaatan menjalankan perintah agama (kepercayaan pada Tuhan) serta kepercayaan pada mitos dan mistis.
Kutipan 3
“Petang merangkak dari jendela rumah kayu. Farida keluar dari kamarnya dengan mukenah yang masih terpakai. Selesai ashar, perempuan itu melanjutkan dengan mengaji hingga petang datang.” (Rizal,2021:49)
Sosok Farida digambarkan sebagai sosok yang religius namun ia percaya pada mitos dan mistis, seperti mempercayai kepulangan arwah Kamaruzzaman selama prosesi kematian. Kepulangan arwah dalam realitas masyarakat Minangkabau daerah Padang Pariaman yang dikatakan penulis sebagai latar belakang masyarakat dalam novel ini, biasanya digambarkan dengan cara yang berbeda dengan realitas yang ada dalam novel. Arwah tidak menampakkan diri secara nyata dan tidak melakukan hal-hal yang tidak logis, seperti memindahkan teko air minum atau muncul tiba-tiba dengan wajah dingin. Arwah diceritakan hanya muncul dalam mimpi keluarga atau kerabat, dalam bentuk hawa dingin, atau bunyi-bunyian aneh di luar rumah.
Kutipan 4
Benda itu menggelinding sampai ke pintu kamar Farida. Arini meraihnya dan membawanya ke meja kecil. Sampai di meja kayu itu, Arini terperanjat. Teko kosong berpindah ke dekat jendela. Padahal, Arini yakin barusan menaruh teko itu di sudut meja dekat kursi kayu. Tak ada angin, tak ada getaran, teko itu bergeser begitu saja ke arah jendela. Arini melompat ke belakang. Hampir saja gadis itu terjerembab ke pintu kamar Farida (Rizal, 2021:54).
Jika mengacu pada konsep agama Islam yang sebenarnya, Farida seharusnya tidak mempercayai arwah Kamaruzzaman akan pulang. Dalam agama Islam disebutkan bahwa urusan manusia sudah selesai setelah kematiannya. Arwah tidak akan muncul atau pulang dalam bentuk apa pun setelah kematian, apalagi menampakkan diri.
Dalam konsep analisis wacana kritis (AWK), Fairlclough juga mengungkapkan bahwa selalu ada dialektika (pertentangan) antara kenyataan sosial dan wacana (teks) (Kristina, 2020:8), seperti pertentangan-pertentangan antara realitas sosial dan realitas yang ada di dalam novel. Pertentangan yang dialami tokoh Farida dan Arini yang mewakili generasi yang berbeda. Farida mewakili generasi tua dan Arini mewakili generasi muda. Farida tidak bersekolah tinggi dan Arini seorang sarjana. Farida mempercayai dan melaksanakan tradisi tanpa perlu mempertanyakan dan Arini mencoba berpikir logis dengan mempertanyakan segala yang tidak masuk akal. Farida mempercayai dunia metafisik (dunia arwah) dan Arini meragukannya.
Pertarungan-pertarungan sosial ini dapat menyebabkan perbenturan dan menyebabkan konfliks dalam masyarakat, seperti realitas sosial yang direpresentasikan dalam novel Kenduri Arwah. Akibatnya, pertarungan sosial dan pertentangan sosial selalu melahirkan dua sisi yang saling bertarung di dunia ini. Pertarungan dunia fisik dan metafisik, dunia tradisionalitas dan modernitas, dunia rasional dan irrasional, pertarungan antara dunia hayalan dan kenyataan, dan sebagainya.
Terlepas dari apa pun bentuk pertarungan sosial yang ada dalam novel ini, secara kebahasaan, nuansa mistis dan horor telah berhasil digambarkan penulis dalam novel ini. Pembaca digiring memasuki dunia horor yang menggidikkan bulu tengkuk. Hal itu tergambar dalam narasi dan dialog yang menggunakan istilah sosok hitam tinggi besar, daun pintu bergerak sendiri, arwah muncul berwajah dingin, teko pindah sendiri, dan sejenisnya. Novel ini juga menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipaham, seperti mendeskripsikan cara membuat gulai kepala ikan dengan bahasa yang ringan dan renyah serupa dalam buku tips-tips memasak mudah.
Kutipan 5
“Mula-mula, kepala ikan dibersihkan. Tak boleh ada setitik darah pun yang melekat. Darah yang mengental akan mempengaruhi rasa. Selesai dibersihkan, ikan dibawa ke dapur. Arini sudah menyiapkan kuali besar dengan santan di dalamnya. Tersapu api dari tungku, santan mendidih menciptakan buih-buih. Arini harus terus mengaduk agar santan tak pecah.” (Rizal, 2021:185).
Hal menarik lain dari novel ini adalah masalah kebahasaan. Penggunaan huruf j pada nama Sjamsul menunjukkan penggunaan ejaan lama yang berlaku sebelum EYD (1972), yaitu Ejaan Van Ophujsen (1901-1947) dan Ejaan Soewandi (1947-1972). Mungkinkah novel ini berlatar belakang pada tahun 1901 sampai dengan tahun 1972 ataukah ini salah satu strategi penulis untuk membuat pembaca semakin penasaran dengan novelnya? Wallau alam bin shawab. Semoga mencerahkan.
Padang, 13 Februari 2022
Discussion about this post