Ria Febrina, S.S., M.Hum.
(Dosen Sastra Indonesia FIB Unand dan Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu-ilmu Humaniora, FIB, Universitas Gadjah Mada)
Pernahkah kita bertanya, mengapa orang Hindu begitu tabu menyembelih sapi? Mungkin tidak banyak yang berupaya menemukan jawaban secara logis karena kita sudah dihadapkan pada sebuah pemikiran bahwa bagi penganut agama Hindu, sapi itu suci dan merupakan penjelmaan dewa. Namun, bagi Marvin Harris, seorang antropolog asal Amerika Serikat, ada penjelasan ilmiah mengapa sapi itu suci bagi masyarakat India. Antropolog kelahiran 18 Agustus 1927–25 Oktober 2001 ini mengungkapkan bahwa kebudayaan manusia sebenarnya memiliki pola yang dapat dijelaskan secara ilmiah.
Masyarakat India memang memandang sapi sebagai sesuatu yang sakral atau suci. Mereka menolak menyembelih seekor sapi meskipun berada dalam kondisi kelaparan. Menyembelih sapi bagi masyarakat India merupakan hal yang tabu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tabu merupakan ‘hal yang tidak boleh disentuh, diucapkan, dan sebagainya karena berkaitan dengan kekuatan supernatural yang berbahaya (ada risiko kutukan); pantangan; larangan’. Hal-hal yang bersifat tabu memang dijauhi masyarakat karena dianggap dapat mengacaukan kehidupan mereka yang harmonis. Sapi bagi masyarakat India memiliki nilai religi. Tabu terhadap sapi menjadi hal yang harus dipatuhi karena berkenaan dengan kepercayaan mereka terhadap Tuhan.
Akibat tabu terhadap sapi, seorang ekonom dari University of Pennsylvania mengungkapkan bahwa pada tahun 1971, India memiliki 30 juta ekor sapi yang tidak produktif. Sapi-sapi tersebut dapat ditemukan wisatawan dalam perjalanan melewati Delhi, Kalkuta, Madras, Bombay, dan kota-kota lain di India. Sapi-sapi dengan bebas berkeliaran di jalanan menyusuri kios, merangsek kebun-kebun pribadi, buang air di sepanjang trotoar, dan mengacaukan lalu lintas sembari mengunyah makanan.
Sementara itu, lembaga pemerintah menyediakan rumah jompo bagi sapi (betina) yang tua dan renta tanpa biaya. Di Madras polisi mengumpulkan ternak nyasar yang jatuh sakit dan merawat hingga sembuh dengan cara membiarkan sapi merumput di lapangan kecil yang berada di sebelah kantor polisi. Masyarakat India juga mendandani sapi dengan kalung, mendoakan ketika sakit, dan merayakan kelahiran anak sapi, bahkan orang Hindu menghiasi dinding mereka dengan kalender gantung bergambar perempuan muda yang cantik memakai perhiasan dengan badan serupa sapi yang putih, gemuk, dan besar.
Lalu, apa yang menggelisahkan dari kecintaan masyarakat India yang memuja sapi? Para pakar di Barat menilai bahwa pemujaan terhadap sapi (betina) merupakan penyebab kelaparan dan kemiskinan di India karena terdapat sebuah penelitian yang didanai oleh Ford Foundation pada tahun 1959 yang mengungkapkan bahwa pemujaan sapi menyebabkan penurunan efisiensi pertanian karena sapi (betina) tidak menyumbangkan susu dan daging, tetapi ikut berebut lahan dan pangan dengan hewan yang berguna bagi manusia. Hampir sepanjang tahun, sapi-sapi itu kurus dan bahkan tidak bisa menyusui anak sendiri. Hanya 500 pon per tahun susu yang bisa diperoleh masyarakat dari zebu biasa atau sapi Brahma yang sangat berbeda dengan sapi perah biasa yang ada di Amerika Serikat yang bisa mencapai lebih dari 5000 pon atau sapi perah unggulan yang mencapai 20.000 pon.
Di India kecintaan terhadap sapi pernah menyebabkan kerusuhan massal berdarah antara penganut Hindu dan Islam—sebelum India terpisah menjadi India dan Pakistan. Pada 1917 di Bihar, 30 orang tewas dan 170 desa Muslim dijarah. Kerusuhan terjadi karena orang-orang muslim India menyembelih sapi, terutama pada Hari Raya Idul Adha. Mohanda K. Gandhi sebagai pecinta sapi pun menetapkan pelarangan total atas penyembelihan sapi. Persoalan ini kemudian berlanjut menjadi penyebab utama kerusuhan antara Partai Kongres yang berkuasa dan faksi-faksi Hindu ekstremis pecinta sapi. Pada 7 November 1966, gerombolan massa yang berjumlah 120.000 orang yang dipimpin seorang pertapa suci yang telanjang menentang penyembelihan sapi di depan gedung parlemen India. Delapan orang terbunuh dan empat puluh delapan orang terluka. Selanjutnya, disusul dengan gelombang puasa di kalangan orang suci yang dipimpin oleh Muni Shustril Kumar, Presiden Komite Kampanye Perlindungan Sapi Segala Partai.
Ketika para pengamat Barat menganggap situasi ini tidak masuk akal, Marvis Harris menemukan jawaban bahwa pertanian adalah bagian dari sistem yang dijaga masyarakat India dalam memuja sapi. Ternak berperan dalam ekosistem India melalui cara-cara yang diabaikan oleh para pengamat dari masyarakat industri yang boros energi. Di Amerika Serikat misalnya, ternak digantikan oleh traktor dan menghasilkan racun karena menggunakan bahan kimia sebagai pupuk. Dalam kondisi ini, petani India memang tidak dapat mengikuti keriuhan tersebut. Bukan karena petani India memuja sapi, melainkan karena petani India tidak mampu membeli traktor.
Di samping itu, menggunakan traktor berarti mengurangi jumlah orang yang mencari nafkah dan menghancurkan pertanian keluarga skala kecil. Di Amerika Serikat kurang dari 5% keluarga rumah tangga AS yang mencari nafkah dengan bertani dan berbanding terbalik dengan 60% pada masa sekitar seratus tahun lalu. Jika India melakukan hal ini, harus ditemukan lapangan kerja dan pemukiman untuk sekitar seperempat miliar petani yang kelak terdepak.
Marvis Harris menyatakan bahwa dengan tetap merawat sapi dan tidak menyembelih saat mereka kelaparan merupakan cara orang India untuk bertahan hidup. Mengapa demikian? Ternak di India mampu menghasilkan 700 juta ton kotoran terdaur ulang. Setengah dari jumlah tersebut digunakan untuk pupuk kandang dan sebagian lagi dibakar sebagai pemanas untuk memasak. Bahan bakar dari kotoran sapi di India ini setara dengan 27 juta ton minyak tanah, 35 juta ton batubara, atau 68 juta ton kayu bakar. Apalagi, kebanyakan masakan India disiapkan dengan jenis mentega yang disebut ghee (minyak samin). Kotoran sapi menjadi sumber panas pilihan karena dapat membakar ghee dengan nyala api yang awet, lambat, dan bersih sehingga tidak menghanguskan makanan. Perempuan India dapat meninggalkan masakan selama berjam-jam tanpa perlu menunggui. Mereka bisa membantu-bantu di lahan, mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh anak.
Tidak hanya itu, kotoran sapi juga bermanfaat untuk bahan membuat lantai rumah. Kotoran sapi yang dicampur dengan air dapat dibuat menjadi adonan, lalu dioleskan pada tanah dan ditinggalkan mengering hingga permukaan menjadi keras. Kotoran tersebut dapat menjaga debu di lantai sehingga mudah disapu bersih. Oleh karena itu, banyaknya manfaat sapi membuat anak-anak diberi tugas mengikuti keluarga sapi dan membawa pulang buangan petrokimia tersebut. Di kota, kasta-kasta tukang sapu menikmati monopoli tahi yang dihasilkan oleh ternak dan mendapatkan nafkah dengan menjualnya kepada ibu rumah tangga.
Sebuah fakta lain menunjukkan bahwa sapi zebu bertubuh kecil di India memiliki punuk di punggungnya untuk menyimpan energi dan memiliki daya pulih yang besar. Sifat ini teradaptasikan pada kondisi khusus pertanian India. Ras-ras lokal mampu bertahan hidup hingga periode panjang dengan sedikit pakan atau air, serta sangat resisten terhadap penyakit yang menyerang. Bagi petani kecil, sapi menjadi pertahanan terakhir melawan lintah darat. Mereka yakin bahwa ada datang muson yang bersahabat untuk mengembalikan kesehatan hewan yang paling renta sekalipun. Hewan-hewan tersebut akan menggemuk, beranak, dan mulai menyusui lagi. Itulah alasan mengapa sapi betina jompo yang kurus kering masih terlihat cantik di mata pemiliknya.
Berdasarkan hal tersebut, Marvin Harris tidak setuju dengan pernyataan bahwa tabu anti penyembelihan dan antidaging sapi mempunyai efek yang merugikan kepada petani India. Ketika petani menyerah dan menjual sapi tersebut, dalam jangka pendek mereka memang mendapatkan makanan yang layak, tetapi dalam jangka panjang, mereka justru tidak akan bertahan hidup. Pada saat hujan, mereka tidak dapat membajak sawah; pada musim kemarau berikutnya, mereka tidak dapat lagi memanfaatkan kotoran sapi untuk keperluan hidup. Inilah alasan yang dipilih petani sapi untuk dapat bertahan hidup dalam jangka panjang.
Dengan demikian, cinta terhadap sapi ternyata berkontribusi pada keuletan masyarakat India dalam memelihara binatang yang mandul, tetapi masih berguna; melindungi ternak yang mencari makan di wilayah publik; dan menjaga potensi pemulihan populasi ternak selama kekeringan dan kelaparan. India ternyata memanfaatkan ternaknya secara efisien. Sebaliknya, petani barat justru sangat boros dan menyia-nyiakan perekonomian tradisional dengan sistem baru produksi sapi di Amerika Serikat, seperti penggemukan sapi dan pencemaran lingkungan karena kotoran ternak yang diabaikan dapat menyebabkan polusi.
Cara Marvin Harris menjelaskan pola kebudayaan orang India mengenai tabu terhadap sapi menunjukkan bahwa kehidupan manusia tidak bersifat acak atau sembarang. Manusia memiliki pola yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Gaya hidup manusia yang selama ini dianggap tidak terjelaskan sebenarnya memiliki sebab-musabab yang dapat dimengerti. Hanya saja selama ini sebab-musabab tersebut diabaikan karena sebagian orang yakin bahwa hal tersebut sudah menjadi titah Tuhan. Padahal, kepercayaan dan praktik-praktik yang terlihat paling aneh dalam suatu kelompok kebudayaan—jika diamati dengan cermat berdasarkan kondisi, kebutuhan, dan aktivitas masyarakat—dapat dijelaskan secara logis. Dengan mengamati lingkungan hidup masyarakat India—sebagaimana yang dilakukan Marvin Harris—dapat dipahami bahwa tabu terhadap sapi mampu menjaga sistem pertanian di India. Dengan demikian, tabu-tabu lain di kelompok budaya lainnya sebenarnya juga menjaga hal-hal tertentu dalam kelompok mereka.
Satu pertanyaan Marvin Harris ini pada akhirnya menjadi teka-teki kebudayaan. Setelah ia menjelaskan kepada mahasiswa S-1 dalam ruang kuliah mengenai tabu orang India terhadap sapi, ia kemudian mendapatkan sebuah pertanyaan tentang tabu orang Yahudi terhadap babi. Ia pun melakukan penelitian selama setahun tentang tentang orang Yahudi dan orang Muslim yang sama-sama mengharamkan babi. Ketika ia selesai menjelaskan di hadapan rekan seprofesi, seorang pakar kajian Indian Amerika Selatan menanyakan perihal tabu suku Tapirape tentang daging menjangan. Begitu seterusnya, ia melakukan kerja kebudayaan berdasarkan sebuah teka-teki dan berhasil menghasilkan buku Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1974.
Marvis Harris memang memulai kajian dari sebuah pertanyaan, “Mengapa bisa begini?”, lalu ia berupaya menemukan jawaban dengan menggunakan metode observasi, mengamati setiap tindakan dan ritual yang dilakukan oleh masing-masing masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Tabu terhadap sapi ini merupakan salah satu hal menarik yang dapat dilihat dari hasil pengamatan Marvin Harris terhadap sistem pertanian di India.
Discussion about this post