Cerpen: Ria Febrina
Tutunende. Sebuah Kota hujan.
Di atas sebuah atap rumah yang berdinding putih, dengan pohon kelapa yang menyembul di sebelah kiri, perempuan itu menatap hujan yang turun. Tangan kanannya memegang payung berwarna bening. Tangan kirinya menjulur. Ia resapi air yang dingin, membasahi telapan tangan, mengalir ke lengan, dan mulai membasahi baju yang dipakai.
Perempuan itu tersenyum. Hujan di Tutunende merupakan impiannya. Hujan yang datang siang ini, di langit biru yang akan kelabu, merupakan saat-saat yang ditunggunya. Sejak tiba di kota ini, ia memang menunggu hujan. Menanti air yang menetes dengan deras dari langit yang luas. Langit Tutunende.
Perlahan ia buka payung dan menatap ke langit yang biru kelabu. Ia rasakan tetesan air yang mulai deras membasahi mata, hidung, mulut, hingga ke dada. Mengalir dengan dingin di antara dadanya yang berdegup kencang. Dadanya yang panas, tapi berdetak bahagia. Hujan sore hari. Hujan Kota Tutunende.
***
Mengapa ia suka hujan?
Suatu malam ia harus terbangun karena mendengar suara teriakan dari kamar ibu. Ia pun mengintip ke arah pintu dengan perasaan takut. Ada seorang laki-laki yang berusaha membuka pakaian ibu. Pada saat yang sama, mata ibunya bersitatap dengan matanya. Seakan-akan memberi tanda, ibunya berkata, “hujan”. Perempuan itu tersentak. Ia ingin berteriak dengan kencang, tetapi ia ingat perkataan ibu. “Jika suatu hari ibu berkata hujan, pergilah, Nak, sejauh mungkin. Kamu sedang berada dalam bahaya saat itu.”
Sebelum laki-laki itu berbalik dan melihat dirinya, si perempuan pun pergi sejauh mungkin. Berusaha tanpa menimbulkan suara. Sedikit mungkin gerakan. Padahal, dadanya sudah bergemuruh sesak. Ia ketakutan, tapi ia percaya menangis akan membuatnya berada dalam keadaan bahaya. Ia keluar dari rumahnya, dari rumah kayu di tepi hutan, dan berlari sejauh mungkin. Tanpa alas kaki. Tanpa payung. Ia menekan dada dan memastikan ada sebuah kalung di dalamnya. Kalung pemberian ibu.
“Nak, dalam keadaan sesulit apa pun ibu, kamu harus tetap menjaga kalung ini ada di dadamu. Namun, ketika kau berada dalam keadaan paling sulit, gunakan agar engkau bisa bertahan hidup.”
Ia menangis mengingat kalimat Ibu. Rupanya ini pertanda mengapa ibu memberikan kalung emas yang merupakan satu-satunya harta ibu. Sebuah kalung warisan. Kalung yang akhir-akhir ini diincar oleh sepupu ibu. Laki-laki yang sudah kelabakan karena dihimpit banyak utang. Sehari-hari berjudi dan bermabuk-mabukkan. Ketika ibu tahu bahwa sepupunya mengincar kalung warisan, ibu pun memberikan kepada anaknya, kepada perempuan itu, dan berharap anaknya bisa menjaga dan menyelamatkan.
Perempuan itu tidak menduga. Ketika ia harus pergi untuk menyelamatkan diri, ia harus menyaksikan ibunya diperlakukan dengan hina. Ia menyaksikan ibunya diperkosa dengan ancaman sebilah pisau di sisi mereka. Sebelum ia diperlakukan sama, ia pun mematuhi nasihat ibu, pergi sejauh mungkin dalam keadaan hujan lebat tanpa pakaian pengganti.
***
Perempuan itu menari dengan riang di bawah hujan. Ia biarkan dirinya basah. Di atas sebuah rumah tradisional yang ia sewa. Di sebuah rumah yang berada di pinggang bukit, namun menghadap ke arah laut yang tampak jauh di sana. Berada di bawah derasnya hujan menjadi satu-satunya cara agar ia bisa melepas rindu kepada ibu.
Setelah menari riang, ia mengeluarkan sebuah kamera polaroid. Ia berdiri di sisi yang agak jauh dari pinggir pagar, lalu menghadap ke arah laut. Ia akan mengabadikan hujan dengan kamera ini. Jika hujan tidak datang lagi esok hari, ia bisa menatap hujan sepuas mungkin dan membayangkan ibu sebanyak yang ia rindukan. Dalam potret yang ia ambil sore ini.
Lensa kamera ia arahkan ke hamparan laut dengan menampakkan sebagian sisi pinggang bukit yang berada di sebelah kiri. Di depan lensa yang menghadap ke laut, ia biarkan hamparan rumah bergaya Swedia yang tertata dengan apik masuk ke dalam lensa. Berwarna-warni membuat hujan turun semakin cantik.
Ia pun menekan tombol jepret. Namun, ia malah merasakan cahaya bukan ke arah pantai, tetapi ke arahnya. Setelah itu, sebuah foto keluar dari dalam kamera dan terhempas ke tanah. Hujan masih turun dengan deras. Payung masih tergeletak di sisinya, tapi ia kebingungan karena tidak menemukan kamera dan juga sebuah foto.
“Tak mungkin jatuh ke lantai bawah,” ujarnya dalam hati.
Ia tidak berada di pinggir pagar rumah berlantai dua ini. Ia masih berada di tengah. Di sekelilingnya pun hanya teras kosong tanpa apa pun. Karena tidak menemukan kamera miliknya, perempuan itu pun meraih payung dan memilih turun ke bawah. Menelusuri tangga secara perlahan di bawah hujan yang masih deras. Ia memastikan matanya tidak luput dari benda apa pun. Ia ingin memastikan kamera polaroid miliknya masih ada secara utuh.
Ia sengaja membeli kamera ini ketika tiba di Kota Tutunende. Ia tidak ingin menyimpan gambar hujan hanya dalam kamera hape. Ia juga tidak ingin mencetak foto ke studio. Ia ingin hujan yang dijepret langsung dilihat setelah memantik. Tapi, apa daya, ia tak menemukan kamera polaroid itu.
Di bawah rumah tradisional berlantai dua, ia menyusuri pinggiran toko demi toko. Matanya ke lantai jalan hingga badannya membungkuk. Berulang kali ia bolak-balik melayangkan pandang. Tak ada kamera polaroid. Hingga tanpa sadar ia menabrak sebuah tubuh yang sedang tegak. Ia mendongak ke atas dan menyaksikan seorang laki-laki tinggi, berbadan tegap, memegang payung biru dan tersenyum kepadanya.
“Adakah yang kaucari?” tanyanya.
“Kamera polaroid milikku,” jawab perempuan itu.
“Sudah jatuh di lantai duniamu,” jawab laki-laki itu.
Si perempuan mengernyitkan kening. Dalam hatinya, ia berkata, “laki-laki aneh”.
“Mari kutunjukkan bahwa aku benar,” jawab laki-laki itu seakan-akan bisa membaca kata hatinya.
Si perempuan mengabaikan laki-laki itu. Ia mundur, lalu memutar ke arah kanan laki-laki dan terus berjalan. Ia susuri jalan di sepanjang toko dalam menit-menit yang tak terkira. Hingga agak terasa lelah, lalu ia berhenti mencari. Setelah melihat sekeliling, ia pun sadar kalau ada yang aneh di sekitarnya. Ia menyaksikan toko roti dengan aroma yang wangi tanpa orang di dalamnya. Di sebelah toko roti, ia menyaksikan toko buku—juga tanpa orang di dalamnya. Ia mencoba berjalan. Di sebelah toko buku, ada sebuah butik dengan baju yang cantik—tanpa orang di dalamnya. Ia berbalik ke belakang. Toko-toko di seberangnya juga menunjukkan tanpa seorang pun di sana.
Ia menatap ke arah atas, ke pinggang bukit yang mendaki. Sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda ada kendaraan sebagaimana saat ia tiba di kota ini. Setidaknya ada sepeda yang terparkir di setiap sisi. Juga sepeda motor. Atau sebuah mobil, tapi ini nihil. Tak ada satu pun.
Ia melihat ke arah bawah, ke jalan yang menurun, dan hingga matanya menatap laut yang terbentang jauh. Tidak ada apa pun. Tiba-tiba, ia menjadi takut. Hanya laki-laki tadi satu-satunya orang yang ia temui. Ia ingat pesan ibu. Ia ingat makna sebuah kata, hujan. Ia harus berlari sejauh mungkin. Namun, ke mana? Tak satu pun orang bisa menolongnya. Tak ada siapa-siapa di Kota Tutunende ini. Ia hendak menangis, tapi laki-laki tadi sudah duluan menepuk pundaknya dengan halus.
“Tahukah di mana engkau sekarang, perempuan cantik?” tanyanya.
Ia mengelak dengan kencang hingga melepaskan tangan laki-laki itu dengan kasar.
“Jangan sentuh aku,” ujar perempuan itu.
“Jangan takut. Hanya ada kamu dan aku di kota ini. Di Kota Tutunende.”
“Jangan mendekat,” ujar perempuan itu mengelak.
Ia hendak mengayunkan payung sebagai sebuah perlawanan. Ia ingat pesan ibu, jangan sampai laki-laki mana pun menyakitinya.
“Pergi!”
“Percayalah, hanya kita berdua di kota ini. Tidak ada orang lain.”
“Penipu!”
“Bukankah ini yang engkau inginkan? Hidup di kota yang setiap hari turun hujan. Hidup di tempat yang akan memberikanmu kedamaian?”
“Berhenti. Aku mohon, izinkan aku pergi!”
“Aku tidak akan menyakitimu. Aku Iluvia,” ujarnya.
Perempuan itu bisa menatap mata yang teduh dari laki-laki yang bernama Iluvia itu. Ia juga menemukan kejujuran di sana, lalu berusaha untuk mempercayai laki-laki itu.
“Di mana aku sekarang?”
Ia mengulurkan tangan, “Mari aku tunjukkan, di mana engkau sekarang.”
Ia tidak meraih tangan laki-laki itu, tapi berusaha berada persis di belakang laki-laki dan menjawab, “Tunjukkan kepadaku.”
Laki-laki dengan payung biru di tangannya kembali berjalan ke arah bukit. Ke arah toko roti. Persis di sebelah toko roti tadi, ada tangga yang dituruninya tadi. Si laki-laki membawanya berjalan ke arah sana.
Laki-laki itu menaiki tangga satu per satu. Ia naik ke atas rumah yang disewa oleh perempuan itu. Karena menuju tempat tinggalnya, si perempuan mengikuti begitu saja. Di bawah hujan yang masih terus turun, ia tak merasakan dingin dan juga gigil. Laki-laki tadi mengajaknya kembali berdiri di pinggir pagar. Di tempat semula ia memegang kamera dan akan memfoto hujan.
“Lihatlah dengan matamu langit biru yang tampak kelabu itu,” tunjuk laki-laki ke arah langit dan ke arah laut yang jauh.
Si perempuan patuh. Ia lihat dengan saksama. Di langit yang memang tampak biru kelabu itu, ia melihat sepasang mata yang besar menatapnya lekat-lekat dengan senyuman. Sebuah mata dan senyuman yang mengisi seluruh ruang di langit, tapi tidak menyeramkan.
“Tahukah kamu bahwa engkau dan aku sekarang berada dalam sebuah foto. Foto yang sudah kaujepret tadi. Laki-laki itu adalah orang yang menemukan kamera polaroidmu dan juga menemukan foto yang keluar dari kamera milikmu.”
“Gila!” ujar perempuan itu.
“Inilah dunia dalam foto yang kaujepret,” laki-laki itu dengan tegas berkata hingga perempuan itu diam.
“Engkau ingin hidup di kota yang hujannya turun setiap hari. Inilah kotanya. Dalam potret ini, hujan tidak akan pernah berhenti. Langit tidak akan menjadi kelam dan juga tidak akan menjadi terang. Engkau bisa menikmati hujan setiap waktu. Tanpa henti. Engkau bisa mengenang kerinduan yang panjang kepada ibumu. Di sini.”
Perempuan itu terdiam, lalu ia merasakan seakan dunia bergerak dan menyaksikan langit tadi berubah perlahan menunjukkan gambar sebuah ruangan di dalam rumah. Ia menatap dengan saksama. Ia melihat tangan laki-laki yang besar meletakkan sebuah kaca besar di hadapannya. Ia juga melihat sebuah bingkai mendekat. Ia berayun hingga seperti didesak atau ditempel di sebuah dinding.
Ia melihat laki-laki itu melipat tangan dan menoleh ke sebelah kirinya. Ia tersenyum kepada seorang perempuan. Mereka berpelukan, lalu pergi meninggalkan dirinya dan laki-laki yang bernama Iluvia. Meninggalkan mereka—yang kata laki-laki tadi dalam sebuah potret.
Ia pandangi lagi lekat-lekat—ke arah langit. Ada dinding besar di ujung sana. Di antara perempuan itu dan dinding yang besar, ada sebuah sofa dan sebuah televisi. Ia pernah melihat ruangan ini. Dalam rumah yang disewanya. Ia melirik ke arah laki-laki.
“Engkau sudah dipajang di rumahmu sendiri,” ucapnya, “Engkau sudah menjadi penghuni tetap di kota hujan ini. Penghuni abadi di Kota Tutunende.”
Laki-laki di sebelahnya yang bernama Iluvia tersenyum.
“Jangan takut, aku akan menemanimu.”
Ia melihat ke belakang, berjalan menuju pintu rumahnya, mencari dinding yang dilihatnya tadi. Ia melewati pintu, lalu sofa, dan menatap dinding. Ia ingin memastikan sebuah potret yang pasti tidak mungkin ada di sana. Namun, ia tertegun. Di depannya ada sebuah foto yang dibingkai dengan kayu berwarna coklat. Di dalamnya tampak seorang perempuan basah kuyup berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki berpayung biru.
Ia ternganga tidak percaya. Laki-laki bernama Iluvia tadi datang mendekat dan tersenyum kepadanya.
“Hanya ada kita di kota ini. Dan juga hanya ada kita dalam potret itu.”
Yogyakarta Kala Hujan, 2021
Biodata Penulis:
Ria Febrina dilahirkan di Batusangkar pada 3 Februari 1988. Ia menamatkan S-1 dan S-2 di Universitas Andalas dan saat ini sedang menempuh studi S-3 di Universitas Gadjah Mada Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora. Sejak tahun 2015, ia mengabdi sebagai dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di Harian Padang Ekspres, Majalah P’Mails, Jurnal Bogor, Scientia, antologi puisi Dua Episode Pacar Merah (2005), antologi cerpen Rumah Ibu (2013), dan antologi cerpen Jemari Laurin (2007).
Discussion about this post