Berbahasa sejatinya haruslah membangkitkan harapan. Berbahasa tidak seharusnya merendahkan atau mengecilkan arti diri seseorang atau sekelompok orang. Program Keluarga Harapan (PKH) yang digagas oleh pemerintah juga seharusnya memberikan harapan pada masyarakat untuk bangkit dari kemiskinan sesuai dengan namanya. Namun dalam praktiknya, kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan. Pelaksanaan PKH sampai saat ini masih menyisakan berbagai permasalahan, seperti penyaluran yang belum merata, penerima yang tidak tepat sasaran, dan lain-lain. Pemerintah tampak berusaha dengan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu caranya adalah membuat stiker yang berisi kalimat-kalimat penyadaran atau peringatan bagi masyarakat terkait dengan penerimaan PKH, seperti kalimat dalam stiker berikut ini:
“Saya benar keluarga miskin yang layak menerima PKH-Program BPNT/Sembako”
Ya Allah, sejahterakan keluarga saudara kami yang miskin ini, tapi apabila mereka berpura-pura miskin maka azab-Mu amatlah pedih.
Dibaca sepintas lalu ataupun berkali-kali, ada masalah dengan kalimat di atas. Kalimat pertama merupakan pernyataan yang dibuatkan dan ditujukan pada penerima keluarga PKH. Kalimat tersebut merupakan pengakuan yang dipaksakan pada penerima bahwa mereka adalah benar orang miskin. Sesungguhnya tidak ada seorang pun manusia yang mau disebut miskin apalagi dibuatkan pernyataan sebagai orang miskin, apalagi pernyataan tersebut ditempeli di pintu rumah mereka. Kemiskinan bukanlah hal yang patut dibanggakan dan diharapkan oleh semua orang. Secara tidak langsung kalimat pertama merendahkan martabat dan mempermalukan penerima PKH. Mereka dicap atau dilabeli sebagai keluarga miskin di tengah masyarakat. Seolah tidak ada lagi harapan bagi mereka. Kalimat pada baris kedua dan ketiga merupakan doa yang dipanjatkan kepada Tuhan agar keluarga miskin disejahterakan, namun di belakangnya ada klausa berisi doa yang terkesan mengancam dengan meminta Allah mendatang azab jika mereka berpura-pura miskin. Doa tersebut merupakan doa yang buruk, mendikte Tuhan, dan meragukan kinerja pemerintah sendiri yang telah melakukan survei lapangan dan mendata Kartu Keluarga (KK) untuk melihat layak atau tidaknya sebuah keluarga menerima PKH. Sebuah doa sejatinya dipanjatkan dengan kata-kata yang baik, dengan kalimat-kalimat yang penuh harapan, dan mengubah hidup ke arah yang positif. Namun dalam doa di atas, penerima PKH sudah direndahkan pada kalimat pertama serta dicurigai dan doakan mendapat azab pada kalimat kedua.
Secara keseluruhan kalimat di atas sudah melewati batas kesantunan berbahasa (language politness). Kesantunan berbahasa menunjukkan kesadaran akan martabat manusia lain saat setiap kalimat diucapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Menurut Lakoff (1973), kesantunan berbahasa dikembangkan oleh masyarakat guna mengurangi friksi dan interasi pribadi antara penutur dan lawan tutur. Ada tiga yang harus dipatuhi dalam kesantunan berbahasa, pertama formalitas (formality) artinya jangan terdengar memaksa atau angkuh dalam berbahasa, kedua, ketidaktegasan (hesitacy) artinya berbuat sedemikian rupa hingga mitra tutur menentukan pilihan sendiri, dan kesamaan atau kesekawanan (equality) artinya adanya kesamaan tindakan antara penutur dan mitra tutur. Dalam konsep kesantunan berbahasa, kalimat dan kata-kata yang diucapkan penutur tidak boleh menghilangkan muka atau mempermalukan mitra tutur atau lawan bicara. Dalam kalimat di atas, penutur adalah pihak pemerintah dan mitra tutur adalah keluarga penerima PKH yang dikondisikan seolah mereka yang bertutur. Kalimat pertama dibuatkan oleh pemerintah atas nama mereka. Mau tidak mau dan suka tidak suka, mereka harus menerima agar tetap menjadi penerima bantuan PKH. Kalimat tersebut jelas melanggar Pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang meminta negara memperlakukan fakir miskin dan anak terlantar dengan baik sesuai dengan martabat manusia. Undang-undang ini menuntut negara hadir untuk masyarakat miskin dengan sepenuh hati dan dengan cara yang bermartabat, seperti yang terdapat dalam Pasal 1 dan 2. Pasal (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Pasal (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pada akhirnya, PKH sebagai bantuan yang mewakili negara tidak cukup hanya hadir dalam bentuk bantuan materi dan sembako saja, tetapi juga harus hadir dengan bahasa yang santun, membangkitkan semangat, dan harapan agar masyarakat bangkit dari kemiskinan menuju kesejahteraan. Demikian seharusnya negara hadir dan merangkul rakyat agar berdaya. Bagaimana masyarakat miskin bisa sejahtera dan berdaya jika perlakuan yang diterima tidak memberdayakan mereka?
Discussion about this post