PERMINTAAN MAAF RUDI
Sejatinya Kita adalah Sang Pemimpi.
Bermimpilah Hingga Menembus Batas Cakrawala.
Biar Allah yang Menjadikannya Nyata
(Martha Zhahira El-Kutuby)
“Kak, dia itu sudah kelewatan, Kak. Kakak itu harus sadar. Cobalah kakak pikirkan. Dia itu cuek dan tidak menghiraukan usaha kita. Tolonglah, Kak!” Rudi kesal padaku.
Perkara untuk simposium ini semakin melewati batas. Aku lelah. Tapi, aku kasihan dengan Rudi. Dia juga sudah semangat untuk mengurusi ini semua. Aku saja yang memang mengiyakan mereka semua. Belum lagi Hasbi yang memang keliatan seperti orang yang tanpa masalah. Dia selalu tenang dan damai saja.
“Bukan begitu, Rud! Kakak bukannya tidak sadar. Cobalah kamu pikirkan jika kamu di posisi dia. Kamu sibuk dan lain-lain. Apakah kamu nanti akan terima diomongkan seperti ini?”
“Ya, tidaklah, Kak. Aku sudah kesal, Kak. Ini sudah mepet waktu. Kakak juga tahu kan ini semua akan mubazir jika tidak dilanjutkan. Kakak harus paham itu.”
“Ya, kakak paham. Tidak ada usaha yang tidak beresiko, Rud. Kamu juga harus paham juga efeknya. Jika kamu merasa rugi dan mubazir. Toh, dari awal kita selesaikan. Tidak usah memulai. Kalau sudah memulai harus sabar dan ikhlas. Jangan sampai ukhuwah kitarusak.”
Aku mencoba menenangkannya. Walaupun dia terlihat masih kesal dan sakit hati. Aku memang tidak sependapat dengan Rudi. Aku juga tidak suka dengan orang suudzon. Mungkin kita perlu memeriksa hati untuk tetap menjadi yang terbaik dalam bersaudara.
“Oke, Kak. Aku cuma menyampaikan itu saja ke kakak. Asal kakak tahu, temannya dia itu, Mustafa. Dia itu jahat, Kak. Dia suka menghujat dan menyalahkan. Jahat dia, Kak. Aku Cuma mau sampaikan ini saja ke kakak. Kalau kakak masih bersikukuh untuk bertahan dengan pendapat kakak. Ya, silahkan! Aku mau urus ini dulu ya, Kak,” Rudi mulai menyerah untuk menasihatiku.
“Iya. Janganlah suudzon dulu ya. Nanti kakak tanyakan kebenarannya. Kamu tidak usah khawatir. Kalau kamu merasa tidak enak dengan dia. Silahkan, kamu telpon dan ngobrol langsung dengan Kayla. Mungkin saja dia ada masalah atau apa gitu. Tidak baik ngomong di belakang. Kakak takut ghibah. Kakak mohon maaf ya. Bukan kakak menyalahkan Rudi dan siapapun. Kakak berusaha adil sama kalian. Mungkin kakak juga punya salah. Kakak mohonmaaf.”
“Iya, Kak. Nggak apa-apa. Kalau gitu aku lanjut urus persiapanku ke tiga negara dulu ya, Kak.”
“Oke. Jangan lupa oleh-olehnya, ya!” aku memecahkan ketegangan dan rasa sakit Rudi.
“Insya Allah, Kak. Doain aja ya, Kak.” “Iya. Assalamu‟alaikum.”
„Wa‟alaikumussalam.”
Telepon itu ditutup dan aku melanjutkan hafalanku yang tertunda beberapa hari ini. Sudah lupa dan banyak yang terlupakan urutan ayat-ayatnya. Banyaknya kesalahan dan melakukan hal yang kurang baik akan membuat otak kurang merespon kegiatan yang baik. Hal ini yang membuatku semakin lupa dan semakin turun ingatannya.
Dulu aku rajin mengulang dan membaca AlQur‟an. Sehingga minus mataku sembuh. Sekarang tidak lagi. Malah minus mataku bertambah. Segudang aktifitas di depan handphone da laptop membuat mataku sering lelah dan sangat capek.
***
“Kak, aku dengar kakak sakit, ya? Kakak sudah terlalu lelah dan sudah baik banget sama kami. Kakak harusnya istirahat dan tidak usah menerima tawaran siapapun lagi untuk menyiapkan semua ini.”
Hasbi tiba-tiba menelponku dan langsung menasihatiku. Aku sengaja untuk mendengar saja. Sambil tersenyum aku memperhatikan cara dia bicara. Sudah sedikit suudzon namun aku melepas rasa buruk sangkaku pada dia.
“Iya, Bi. Nggak terlalu sakit juga. Kakak cuma kelelahan saja. Mungkin mau istirahat dulu. Namun, kakak selagi sanggup kakak bantuin juga. Nggak usah khawatir, ya.”
“Bukan begitu, Kak. Kakak harus paham juga. Aku dengar dari Rudi. Kakak juga sudah meluangkan waktunya buat kita. Harusnya kita paham dong sama kakak. Kalau aku boleh kasih saran ke kakak. Tolak saja kalau memang kakak sudah terlalu lelah dan terlalu letih. Ini bentuk kalau kita sudah tidak sanggup lagi, Kak. Proposal kita saja belum kelar, Kak. Kenapa bisa kakak mau urusinmereka?”
“Astaghfirullah. Bukan begitu, Bi. Kakak memang tidak kuasa untuk menolak mereka yang minta tolong. Terlepas dari itu semua, kakak tidak mau berburuk sangka kepada siapapun. Kakak juga tidak menyalahkan kalian ngomong ini semua ke kakak. Kakak juga tidak memenangkan Kayla dan teman-temannya. Mungkin hati kita sedang rusak. Jadinya, kita terlalu mudah untuk menyakit sesama. Kakak paham kalian kesal. Kakak juga tidak akan membiarkan kalian terpecah begini.”
“Iya, Kak. Aku tahu. Asal kakak tahu. Itu teman Kayla itu ada yang cowok. Cowok itu jahat banget. Bisanya cuma memanfaatin saja. Kakak kalau belum kena ya buktikan saja sendiri. Aku sudah nggak tahu lagi sih gimana caranya mau membaikkan Kayla.”
“Kakak tidak kenal temannya. Kakak masih berpikir positif kepada mereka semua. Bukan apa-apa. Kakak memang tidak mau berpikir negatif. Nanti jatuhnya kita suudzon dan akhirnya berpecah. Kalau pengen tahu siapa mereka silahkan Hasbi hubungi Kayla dan Mustafa. Mungkin bisa menambah saudara.”
Aku sudah pasrah dengan omongan Hasbi. Sepertinya dia kena virus dari Rudi. Aku percaya kalau Rudi sudah menyampaikan hal ini kepada Hasbi. Aku sungguh tidak suka ada perpecahan begini. Sebisa mungkin aku akan membuat mereka damai. Aku
harus bicara dengan Kayla. Mungkin saja mereka salah sangka. Aku juga tidak pernah ingin mencampuri urusan mereka semua. Tugasku disini hanya untuk membantu mereka. Bukan membuat mereka berpecah.
***
“Kay, ada waktu nggak?” “Ada apa, Kak?”
“Kakak mau ngomong sesuatu. Ini penting. Mungkin kamu sudah lelah mendengarnya. Kakak mau semuanya selesai.”
“Tentang apa, Kak?” “Kakak telpon saja.”
Aku menelpon Kayla dan menceritakan semuanya. Wajar Kayla kaget. Aku sudah membuang semua pikiran negatifku dengan Rudi, Hasbi dan Kayla. Terlepas satu tim juga tidak akan ada buatku untuk sebuah perpecahan. Ini semua omong kosong.
“Kak, aku minta maaf ya kalau aku salah. Aku memang terlihat cuek dan kesannya tidak memperhatikan tim kita. Tapi, aku sekarang sedang ada urusan dirumah dan juga mau menenangkan hati. Aku sudah terlalu sakit dengan kata-kata Rudi kemarin. Aku tahu apa yang akan aku kerjakan. Harusnya dia paham aku sedang apa disini.”
“Iya. Kakak paham dengan kesibukanmu. Kakak Cuma minta kamu kalau memang serius, ayo serius mengurusnya. Kalau memang sibuk dirumah silahkan saja. Sampaikan juga di grup kalau kamu memang sibuk dan sedang mengunjungi orangtua dirumah. Itu tidak masalah. Daripada kamu menghilang dan semua orang berburuk sangka.”
“Iya, Kak. Mohon maaf ya, Kak. Nanti akan ngomong di grup. Mudah-mudahan mereka paham ya, Kak.”
“Iya. Aamiin. Kakak nggak mau lagi itu mereka suudzon dengan kamu. Sebisa mungkin kakak mencegah kalian untuk berpecah. Kakak tahu kamu sudah terlalu sakit dan agak malas untuk mengurus ini sampai selesai. Ketahuilah, ketika sudah terjun ke lapangan untuk berperang. Maka, selesaikanlah perperangan itu dengan bijaksana. Apapun itu resikonya.”
“Iya, Kak. Insya Allah.”
“Jika kamu mundur. Kamu akan kalah. Kalah dalam mental, kalah dalam kebijaksanaan, kalah dalam mempertahankan profesionalisme kamu sendiri. Pikirkan itu, Dik. Jangan sampai hanya karena ini persaudaraan kitahancur.”
“Iya, Kak. Maafkan aku ya, Kak. Terima kasih sudah mengingatkanku. Aku butuh belajar lagi dari Kakak. Mungkin karena ego kita dan kita terpecah tanpa kita sadari.”
“Nah, itu. Jika sudah berpecah. Akan mempersempit rezki. Sudahlah. Jangan sampai mempersempit rezki. Istighfarlah banyak-banyak. Kita ini manusia. Pasti punya salah. Berdoalah pada Allah agar dikuatkan selalu.”
“Iya, Kak. Syukran ya, Kak. Terima kasih sudah paham. Semoga semua kebaikan dan kesabaran kakak berbuah manis dan dibalas surga olehAllah.”
“Aamiin. Kakak pamit dulu, ya.” “Iya, Kak.”
“Assalamu‟alaikum.” “Wa‟alaikumussalam.”
Aku mematikan telepon dengan Kayla. Melanjutkan pekerjaanku untuk membuat skema acara di Jakarta. Aku juga sedang menyusun ide untuk mengadakan proyek terbesarku disini. Mungkin tidak terlalu fokus lagi untuk mengurusi simposium ini. Lupakan sajalah. Lain waktu aku bisa ke Pakistan.
Tak lama berselang. Aku sedang berada di silang Monas bagian Tenggara. Kaget bercampur tertawa. Hanya senyum yang bisa kuhaturkan ketika memandangi handphoneku. Membuka WhatsApp Group yang begitu sensitifrasanya.
“Rudi keluar”
Kekesalannya sungguh berbuntut untuk keluar dari grup itu. Entah apa yang salah. Tidak tahu juga siapa yang memulai sebuah kesalahan. Sakit hati membuat semuanya jadi pecah. Awalnya admin grupnya dia. Sekarang berpindah ke Hasbi. Tak lama berselang, Hasbi memasukkan kembali ke grup sekalian menjadikan Kayla admin tambahan.
“Eh, kamu kenapa keluar sih?” gerutu Hasbi.
“Malas, ah! Nggak ada yang respon. Cuek semua. Mikir dong, ini waktu sudah mepet. Mau diurus kapan lagi coba. Ngerespin juga enggak. Cuek amat,” sesal Rudi menyindir Kayla.
“Udah-udah. Mana tahu orang lagi sibuk. Kamu pahami aja deh. Damai dong, bro!”
Rudi hanya diam dan tidak menanggapi lagi percakapan di grup. Grup seketika hening. Temasuk aku yang menyimak percakapan mereka. Aku merasakan kelucuan mereka yang memang belum dewasa dalam menyikapi masalah. Esoknya juga begitu. Rudi kesal dan keluar grup lagi. Seperti grup mainan. Masih saja kesal dengan seseorang. Kali ini tidak ada yang memasukkan dia ke grup.
***
Detik berlalu. Aku disibukkan dengan desain proposal acaraku. Berbagai ide sudah kukumpulkan sejak lama. Baru terpikirkan sekarang. Aku juga baru ada ide akhir- akhir ini. Samar-samar lampu teras kamarku memantikkan api semangat buatku. Walaupun cahayanya tidak seterang matahari kala siang. Aku merasakan ada seberkas cahaya yang menyambutku baik.
“Kak, boleh masukin aku lagi ke grup nggak?” pesan singkat Rudi mengejutkanku.
“Sebentar ya. Kakak lihat adminnya siapa dulu.” “Iya, Kak.”
Beberapa saat menjelang. Aku semakin tersenyum dan akhirnya tertawa lepas. Adikku, Syifa juga terheran-heran aku tertawa sendiri di kamar. Ini saatnya untuk mendamaikan mereka. Aku akan hubungi Hasbi.
“Maaf, Rud. Adminnya bukan kakak. Tapi, Kayla. Baiknya Rudi bilang saja ke Kayla. Kakak ada kesibukan ini.”
“Oh iya, Kak. Boleh bantuin bilangin nggak, Kak?”
“Maaf, Rud. Ini kakak lagi ada perlu. Coba saja chat sendiri ya.” “Iya, Kak. Makasih ya, Kak.”
“Iya, sama-sama, Rudi.”
Pesan singkat kami terhenti. Aku dengan cepat mencari kontak Hasbi untuk tidak membantu Rudi untuk minta tolong kepada Kayla. Ini momen yang sangat tepat untuk mereka bermaaf-maafan. Aku sudah hampir kehabisan cara untuk menghubungi merekasemua.
“Bi, kalau nanti ada Rudi minta tolong ke kamu untuk bicara dengan Kayla. Bilang nggak bisa aja, ya. Ini dia mau masuk grup, tapi adminnya Kayla. Biarkan mereka selesaikan urusan mereka sendiri. Biar Rudi tahu dimana kesalahannya.”
“Iya, Kak. Insya Allah. Strategi yang tepat, Kak.” “Iya, Bi. Diam-diam saja, ya.”
“Siap, Kak.”
Aku lega. Mereka harus berdamai. Kayla harus tahu perihal ini. Biar Rudi tidak seenaknya ngomong dengan perempuan. Bahkan, dalam organisasi pun seperti itu.
“Kay, sibukkah?” “Ada apa, Kak?”
“Ini kakak ada cerita. Tadi Rudi kirim pesan ke kakak. Dia mau minta tolong ke kakak dan Hasbi untuk ngomong sama kamu. Dia mau masuk grup lagi. Tapi, kakak minta dia hubungi langsung kamu. Minta maaf dulu sama Kayla. Biar kalian itu damai.”
“Haha. Kakak ini ada-ada aja. Bagus juga tuh, Kak. Semoga saja dia chat aku ya,Kak.”
“Iya, harus begitu. Kalau tidak dia akan sewenang-wenang dengan orang lain. Tidak hanya dengan kita. Nanti susah. Kita akan bergaul dengan orang-orang sekitar. Jadi, harus dilatih untuk bertanggungjawab.”
“Iya, benar, Kak. Nanti aku tunggu aja, Kak.”
“Iya. Usahakanlah kalian berdamai, ya. Jangan begini terus. Masa udah dewasa begini masih ada yang sakit hati.”
“Iya, Kak. Insya Allah. Aku juga sudah memaafkan diakok.” “Alhamdulillah kalaubegitu.”
Sudah malam. Selimut biru itu membalut tubuhku yang kedinginan karena AC kamar. Mungkin kali AC sangat mengerti perasaanku yang lumayan bahagia. Aku memang sudah bahagia dari tadi menyikapi kelakuan Rudi dan Kayla. Sungguh, bersaudara itu menyejukkan.
***
Sudah dua hari grup simposium ini diam dan tak bergeming. Tampak Rudi sedang berpikir. Biasanya dia selalu heboh di grup. Selalu memberikan info terbaru mengenai sponsor dan perkembangan setiap proposal yang diberikan ke pihak sponsor- sponsor. Termasuk mengabari untuk urusan kampusnya.
Begitu juga dengan Hasbi. Si pendiam dan lembut ini cuma bisa diajak tenang dan damai. Entah mengapa laki-laki yang satu ini hanya bisa berdamai di grup. Ada empat sifat yang terangkum di grup itu. Dengan sifat itu aku juga belajar menyikapi mereka. Berbeda dengan Rudi yang hanya bisa menyikapi semuanya dengan keluar dari grup lalu masuk lagi.
“Kak, ada berita baru,” pesan singkat Kayla. “Berita apa, Dik?”
“Ini, Rudi udah chat aku, Kak. Minta maaf dan dimasukin lagi ke grup. Hehe.” “Strategi sukses,” balasku singkat.
Grup mulai heboh lagi. Sudah ada Rudi yang akan cerewet dengan semua aktifitas persiapan simposium. Aku masih lelah. Info dari Kayla membuatku sedikit bertenaga. Kayla masih belum semangat. Dia masih memikirkan teman-temannya yang akan ikut juga. Mereka ada di kampus UIN Banten. Ada tiga orang temannya yang juga akan berangkat.
“Kak, aku merasa tak enak sama teman-temanku yang di UIN Banten. Aku mau ajak mereka juga. Tapi, proposal kita sudah jalan. Itu gimana ya, Kak?” suara Kayla mengagetkanku.
“ Eh, ada temannya yang ikut juga ya? Kok baru dibilang?”
“Iya, Kak. Kemaren juga nggak tahu sih. Jadinya, baru dibilang.” “Yaudah. Kita bantuin dia, yuk!”
“Serius, Kak?”
“Iya. Siapkan saja keperluannya. Seperti passpor dan kelengkapan lainnya.
Nanti kakak bantuin ya. Semoga kita bisa berangkat semua ya. Aamiin.”
“Aamiin, Kak. Syukran ya, Kak.” “Iya. „afwan ya, Dik.”
Sejak kemaren Rudi marah kalau aku mau bantuin teman-temannya Kayla. Aku tak gentar. Ini urusanku dengan temannya. Bukan dengan Rudi. Urusanku untuk membantunya bukan urusan Rudi. Aku akan bantu sesanggupnya.
“Kak, maaf ya merepotkan kakak,” Kayla memelas.
“Sudah. Tidak apa-apa. Nanti kita perjuangkan mereka bisa berangkat.” “Aamiin, Kak. Semoga saja.”
Aku segera pamit untuk pulang ke rumah. Sudah sore lagi. Jatahku untuk menginap sudah habis. Sekarang aku harus pulang. Semalam apapun itu, aku harus pulang dan aku harus istirahat dirumah.
“Dik, kakak pulang ya. Besok kita sambung lagi. Atau nanti kita sambung via chat. Kakak sudah tidak ada lagi izin untuk menginap disini.”
“Iya, Kak. Tidak apa-apa. Hati-hati ya, Kak. Maaf nggak bisa mengantarkan kakak ke stasiun. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi. Aamiin.”
“Aamiin. Jangan lupa banyak minum dan jangan telat makan ya. Sehat-sehat selalu ya.”
“Insya Allah, Kak.”
Aku pulang. Kereta sudah menungguku. Saatnya untuk menuju rumah. Sudah terlalu lelah disini. Hari-hariku masih bolak-balik Pondok Ranji-Pasar Minggu. Untuk silaturrahim, Allah kasih kemudahan.
bersambung…
Discussion about this post