Cerpen: Faizul F U
Setiap malam adalah hantu. Pertanyaan itu selalu muncul sebelum pikir benar-benar berhenti lalu tenggelam. Siapa yang akan ikhlas merawat kucing-kucing itu? Yang rela setiap mereka meong akan sigap pergi ke dapur, mengambil potongan ikan asin untuk dipotong lagi sebanyak ekor kucing yang meong itu. Ia benar-benar rela mendermakan dirinya untuk kucing-kucingnya. Barangkali, kucing-kucing itu menganggap ia adalah ibunya. Ketika pikiranku sudah terlalu jauh, aku seperti berada di sudut ruang yang runcing. Daripada aku tertusuk, aku memilih menyerah dan tidur.
Di desa ini, angin tidak terlalu ribut berhembus. Ia lebih seperti makhluk halus yang syahdu. Setiap siang dan malam selalu hidup. Anak sungai bercabang, seperti jejak cacing menggeliat di atas tanah basah. Batu-batu masih setia pada jalan khas desa yang tertata saling menguatkan satu-sama lain. Bila kita masuk dari jalan utara, kita akan temui rumah-rumah sederhana yang berderet saling berhadapan di sepanjang jalan. Bila kita masuk lebih dalam, kita akan lihat satu rumah yang lebih sederhana di antara rumah sederhana yang lain.
Itulah rumahku. Aku menyebutnya surga. Ayah pernah berpesan untuk selalu mencintai rumah sendiri. Untuk itu, jadikanlah ia surga agar kau mudah mencintainya. Ibu juga pernah bertutur untuk selalu mencintai rumah dan apa-apa yang di sekeliling rumah. Pintu, jendela kayu, kursi, halaman sempit, tiga bunga mawar yang sedang mekar, pagar tetangga dan yang paling utama adalah kucing-kucing ibu. Pada yang terakhir, ibu selalu memberi tekanan lebih.
Aku tidak tahu mengapa ibu begitu menyayangi kucing-kucingnya. Aku pun tidak tahu sejak kapan ibu mulai memelihara kucing. Tahu-tahu, saat kecil, aku sudah bermain dengan kucing. Ibu sudah dahulu menjadi ibu dari kucing-kucing itu. Iya kucing-kucing karena kucing ibu banyak dan semuanya pendiam. Mereka hanya akan meong saat lapar dan kawin saja. Selain itu, mereka akan diam. Ibu selalu berpesan pada kucing-kucingnya untuk menjaga mulut dengan mengurangi meong dan aku pun demikian. Belajar dari kucing.
Hampir setiap hari ibu membeli ikan asin. Selain untuk dimakan sendiri. Sisanya akan diberikan pada kucing saat mereka meong. Sesekali, kucing itu akan senang bila ayah dapat ikan setelah memancing. Kucing-kucing akan bermain di pintu belakang sambil menunggu ayah pulang. Saat pintu dibuka, semuanya akan meong dan ibu mulai kerepotan.
Aku melihat kucing-kucing itu kegirangan. Mereka tahu ikan sungai rasanya lebih enak dari ikan asin meskipun hanya duri dan kepalanya. Menunggu ibu memasak ikan, mereka bermain sendiri, sesekali, salah satu dari mereka datang padaku. Kepalanya dielus-eluskan ke kakiku. Aku angkat ia, lalu aku dudukkan di atas pangkuanku. Saat masakan ibu mulai matang dan menguapkan aroma ikan, semua kucing mendekati ibu dan mengeong lagi. Ibu kemudian bilang “sabar ya”. Aku membayangkan bila menjadi seekor kucing, aku pun akan demikian. Atau barangkali aku akan lebih banyak meong.
Saat ikan masak, ibu membaginya menjadi beberapa potongan. Aku mendapat potongan yang paling besar lalu diletakkan terpisah. Kucing-kucing sudah ramai meong. Ibu lalu mengambil tempat makan kucing. Mengambil nasi dan mencampurnya dengan potongan ikan. Kucing-kucing sibuk dengan ikannya. Ibuku bahagia.
Aku ikut makan di meja sambil melihat kucing-kucing sedang memilih ikan di antara nasi-nasi. Mereka terlihat menikmati sekali. Barangkali, bukan karena ikannya, namun karena mereka bisa makan bersama. Bukankah kebersamaan membuat segalanya menjadi nikmat? Lalu, aku mengajak ibu untuk makan bersama. Ibu langsung mengiyakan. Memang benar, nikmat rasanya. Aku menghabiskan ikannya dan ibu yang menghabiskan nasinya. Nikmat sekali.
Aku melihat kucing-kucing hampir menghabiskan ikannya. Tiba-tiba, ada seekor kucing mundur dari tempat makan dan meninggalkan kebersamaan. Ia seperti terbatuk-batuk. Moncongnya mangap-mangap. Seperti ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya. Barangkali, duri ikan. Aku menyolek ibu. Ibu langsung mencuci tangan mengambil air ke dalam wadah kecil lalu menyodorkannya pada kucing itu.
“Minum ini, nanti hilang sendiri. Bismillah.”
Aku hafal betul kalimat itu. Kucing itu seperti mengerti apa yang dikatakan ibu. Ia jilati air itu pelan-pelan. Ibu memperhatikannya dengan penuh iba. Aku melihat cahaya matanya. Ada samudera welas asih di sana. Luas sekali. Saat kucing itu berhenti menjilat, ibu tersenyum. Kucing itu kembali ke kucing-kucing yang lain namun ikan sudah habis. Hanya sisa nasi.
Ibu tidak pernah marah pada kucing-kucing itu meskipun mereka sering berak sembarangan dan kaki meja kami robek untuk mengasah kuku-kuku tajamnya. Hampir setiap minggu selalu ada saja gelas yang jatuh dan pecah karena ulah usil kucing atau yang paling tidak aku suka adalah ketika ada kucing yang melahirkan. Ia suka membawa anaknya pindah-pindah. Padahal, ia sudah dikasih tempat oleh ibu.
Ibu sabar benar menghadapi semua kucing-kucingnya. Ia hafal semua watak dari kucingnya. Ada yang manja. Ia sering datang pada ibu sendiri, lalu meong dengan pelan. Wajahnya kebetulan memang memelas dan hati ibu pun takluk. Potongan kepala ikan asin segera melompat dari piring. Ada lagi yang sukanya sendiri. Mungkin karena ia adalah kucing yang paling tua. Ia jadi merasa kebapak-bapakan. Ia akan makan saat semua kucing telah ada. Karena itu, ibu biasanya kasih bonus potongan ekor ikan saat kucing-kucing pada tidur.
Ada satu ekor kucing yang unik. Bulunya hitam. Bagian dadanya putih. Matanya kuning namun ekornya pendek. Ibu suka sekali dengannya. Ia berbeda dengan kucing lain. Suatu saat, ibu pernah bilang bahwa ini adalah kucing yang istimewa. Di desa ini, hanya ada satu jenis ini yang seperti ini. Awalnya, ibu curiga saat ada tetangga yang meninggal malam-malam. Ayah dan ibu bangun. Semua kucing masih terlelap kecuali yang satu ini. Ia masih terjaga di dapur. Ibu kaget mendapatinya.
Hingga kejadian seperti itu terjadi berulang-ulang. Ibu jadi lebih menjaganya dari kucing-kucing yang lain. Ia menjadi tanda, seperti mendung yang semua sepakat. Mendung adalah tanda akan hujan. Kucing itu pun demikian. Setiap ia hilang dari kucing-kucing yang lain. Itu menjadi tanda akan datang malapetaka.
Aku pernah bilang pada ibu untuk membuangnya saja. Aku takut bila suatu saat ibu bisa menyalahi takdir. Tidak bisa mengontrol dirinya dan menceritakan pada tetangga. Habis nanti ibu di olok-olok warga. Dianggap gila bisa. Atau nanti tetangga itu malah beli kucing itu, buat meramal. Namun, ibu dengan halus menolak. Kalau dibuang kasihan, kalau mau dijual juga kasihan apalagi dibunuh.
Satu hari, setelah aku bilang sama ibu, kucing itu aku perhatikan dari siang sampai malam terus-terusan sendirian. Ia terpisah dari kucing-kucing yang lain. Ia sering meong, tapi tidak mau makan. Kawin pun sedang tidak musim. Ibu membiarkan saja. Aku yang takut. Terbesit dalam benakku mendung sudah datang. Tinggal menunggu hujan saja. Tinggal di mana dan kapan hujan akan turun. Bagaimana bila rumah ini yang nantinya kehujanan? Ah tidak. Semoga tidak. Aku menolak diri sendiri.
Aku bilang sama ibu. Rupanya ibu sudah lebih tahu. Ia bertutur untuk membiarkan saja. Nanti juga biasa lagi. Ibu sangat santai dan halus, tapi aku tetap belum tenang selama kucing itu belum mau makan dan bermain dengan kucing yang lain. Selama ia belum tidur nyenyak dengan yang lain. Aku akan terus berdoa. Supaya mendung itu menjauh dari genting rumahku.
Rupanya ibu pun demikian. Ia akan menambahkan doa keselamatan atas keluarganya setelah doa sapujagad. Ia juga akan rajin bangun pada sepertiga malam lalu sembahyang dan berdoa. Ibu memang khawatir bila mendung itu runtuh di atas rumahnya namun ibu lebih khawatir bila mendung itu runtuh pada setiap rumah dari Sabang sampai Merauke. Bukankah itu petaka yang dahsyat? Ibu kemudian berdoa atas keselamatan rumah-rumah itu.
Beberapa hari kemudian. Setelah do’a ibu barangkali benar-benar naik. Kucing hitam itu kini sudah normal. Ia kembali tidur nyenyak. Ibu juga demikian. Apalagi aku, seperti aliran sungai yang tersumbat, lalu sumbatan itu terbuka. Hatiku plong rasanya. Tidak ada tanda-tanda petaka yang muncul. Kami bersyukur.
Hidup kami jadi tenang. Namun, aku merasa tergantung pada kucing itu. Agaknya kami berlebihan dalam menaruh rasa percaya padanya. Ibu terlalu mengistimewakannya di kemudian hari dan aku terlalu takut padanya. Karena merasa aman-aman saja, ibu jadi lebih pilih kasih. Perhatiannya pada kucing yang lain jadi terkikis. Yang tampak sekali adalah ketika kucing yang paling tua itu sedang sakit. Ibu merawat dengan sekadarnya saja. Padahal, dulu ibu tidak demikian.
Ibu sendiri yang bilang bahwa kini hidupnya hanya untuk merawat kucing hitam itu. “Ini adalah takdir yang telah digariskan”, tambahnya. Urusan kucing lain ia nomor duakan, termasuk kucing yang sakit. Ibu menjadi suka marah bila ada kucing yang merebut makan kucing hitam itu. Jelas saja kucing-kucing lain merebut jatah makannya, ia mendapat jatah beda dan jatahnya selalu yang enak.
Semakin hari, ibu semakin mengistimewakan kucing hitam itu. Hingga pada puncaknya, ibu benar-benar tidak peduli dengan kucing lain. Kucing-kucing yang dulunya gemuk-gemuk, subur berbulu lebat, wangi sebab dimandikan agar menurut. Kini berubah, kucing-kucing jadi kurus. Kasihan. Bulunya kumal dan mulai rontok. Wanginya sudah pergi. Mereka seperti kucing-kucing kota yang benar-benar menjadi musuh manusia. Tidak lagi punya adab saat minta makan. Dan yang paling tidak aku suka adalah berisik sekali meongnya. Mereka juga lupa bagaimana caranya berak di luar rumah.
Aku takut bila kucing-kucing yang lain merasa teraniaya. Bahaya jika sampai mereka berdoa. Dan doa itu yang tidak-tidak. Aku belum membayangkannya, bahaya benar pasti. Apalagi kita tidak tahu mana meong yang baik mana yang tidak makanya setiap ada kucing meong aku langsung berdoa, mengantisipasi meongnya.
Kucing yang paling tua sudah tidak doyan makan. Tidur melulu. Bulunya rontok banyak. Napasnya sudah, ah. Ibu bilang sudah tidak lama lagi napasnya putus. Paling besok. Ibu jadi tega sekali. Ibu bukan lagi air hujan yang menghidupkan, tapi hujan itu sudah terlau banyak. Jadi banjir. Ibu jadi banjir. Ah.
Benar saja kata ibu. Esoknya kucing itu benar putus napasnya. Tubuhnya kaku pagi-pagi, tapi ekornya masih lurus. Kucing yang lain diam-diam saja. Aku iba melihatnya. Dan ibu tidak pikir panjang untuk membawanya ke belakang rumah. Digalinya tanah seperlunya. Memompong kaku tubuhnya dan sedikit memaksa membengkokkan ekornya agar pas dengan lubang. Setelah pas dan seluruh tubuhnya masuk, ibu menyuruhku mengambil kardus bekas. Aku mengiyakan dan tidak lama kembali. Kardus itu di tutupkan di atas kucing. Barulah ibu menguburnya dengan tanah.
Aku diam-diam melihat mata ibu. Samudera welas asih telah kering. Gersang. Ibu berubah. Berubah. Mungkin, aku sampai melamun. Ibu menepukku. Menyuruhku masuk ke rumah. Ibu kemudian mencuci tangan. Lalu, ibu merasa tidak enak badan. Menyuruhku mengambil segelas air putih dan langsung diminumnya. Ia kemudian istrahat padahal belum petang. Tidak pernah sebelumnya ibu seperti ini.
Tengah malam, ibu baru bangun. Aku memegang tangannya panas sekali. Badannya menggigil. Aku takut. Aku panggil Ayah. Ia bilang rujuk saja ke rumah sakit. Aku iya saja. Ibu yang tidak mau. Sudah kami paksa, tapi tetap saja ibu kepala batu dan kami kepala kaca. Kami yang pecah.
Akhirnya, ibu istirahat kembali setelah mengusir kami berdua. Sambil berpesan untuk memberi makan kucing-kucingnya yang sudah dari sore meong terus. Telingaku sudah bebal dengan meong. Sebenarnya aku kesal pada ibuku, tapi sebenarnya tidak boleh. Aku tidak jadi kesal.
Ayah pergi mencari obat. Aku menyiapkan makan untuk kucing, tapi aku bingung, di mana ibu meletakkan makanan kucing itu? Mau panggil ibu, kasihan. Aku cari saja sendiri. Untung ketemu.Rupanya di samping rak piring. Aku ambil semua makanannnya. Aku sajikan apa adanya dalam satu wadah kecuali untuk yang hitam, aku pisahkan. Aku panggil-panggil ia. Tidak meong juga. Aku cari ke ruang depan dan ia ada di sana. Aku panggil masih diam saja. Aku sentuh ekornya sudah kaku. Aku angkat ia, sudah putus napasnya. Ia benar-benar kaku. Aku takut dan lari pada ibu. Memangggilnya keras-keras. Masuk ke kamar ibu. Ibu tidak kaget. Ia masih pulas tertidur tampaknya. Aku dekati pelan. Aku pegang tangannya sudah dingin. Lalu aku gerakan, sudah kaku.
“Siapa yang akan merawat kucing-kucing ini?”, bisik dingin dalam hatiku.
Wonosobo, 2020-2021
Biodata Penulis:
Faizul Futhona Ulinnuha lahir di Wonosobo, 28 Desember 1999. Sekarang sedang meneruskan pendidikan di UIN WALISONGO Semarang pada Prodi Tasawuf Dan Psikoterapi. Ia bisa dihubungi lewat fb: faizul futhona ulinnuha, e-mail: faizulfuthona@gmail.com atau no. Hp/Wa 083145122254.
Discussion about this post