Hari Guru dan Tantangan Mendidik Generasi Alpha

Oleh : Fatma Hayati, M.Pd
November menjadi bulan yang istimewa bagi hampir seluruh insan pendidik di nusantara, tepatnya pada tanggal 25 November, tanggal itu dikukuhkan sebagai Hari Guru Nasional (HNG) sebagai bentuk penghargaan pada dunia pendidikan yang hampir keseluruhan tubuhnya digerakkan oleh pekerja akademik yang disebut guru.
Secara umum, guru adalah seseorang yang mendidik, mengajar dan membentuk karakter peserta didiknya menjadi pribadi yang lebih bermakna. Menurut Paulo Freire Guru bukan “pengisi tabungan pengetahuan” melainkan fasilitator dialog dan pembebasan, dalam teorinya (Pedagogy of the Oppressed), guru dan murid adalah subjek yang sama-sama belajar dalam proses dialogis. Ki Hajar Dewantara menjelaskan Guru adalah pamong, pendamping yang menuntun kodrat anak agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Guru menjalankan prinsip Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan) Ing madya mangun karso (di tengah membangun semangat) Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).
Sedangkan Menurut John Dewey memaknai Guru adalah pembimbing pengalaman belajar, pembelajaran efektif terjadi ketika guru mampu menciptakan lingkungan yang mendorong eksplorasi dan refleksi. Secara keseluruhan Guru adalah pendidik profesional yang bertugas merencanakan, melaksanakan, menilai, dan mengevaluasi proses pembelajaran serta membimbing peserta didik untuk mencapai perkembangan optimal baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Pada Momen Hari Guru diharapkan tidak sekedar merayakan sosok-sosok yang telah berperan membentuk masa depan bangsa, tetapi juga merenungkan kembali wajah pendidikan yang terus berubah, mulai dari perubahan yang sederhana sampai pada berubahnya sistem Pendidikan yang terjadi sangat cepat. Pada titik ini, penghargaan kepada guru bukan sekadar seremoni melainkan pengakuan bahwa profesi ini adalah profesi membangun peradaban, membentuk insan-insan cendikia, terutama ketika dunia bergerak cepat dan generasi yang kita didik pun berubah secara drastis.
Transformasi Dunia Pendidikan Tanah air
Pendidikan adalah serangkaian proses sadar dan terencana yang bertujuan untuk mengembangkan potensi manusia meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap, dan karakter agar individu mampu berperan secara optimal dalam kehidupan pribadi, sosial, dan professional. Aktifitas seseorang dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan ataupun pribadi yang berkarakter harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah ilmu itu sendiri, baik dari caranya, instrumennya ataupun material yang terkait di dalamnya.
Seiring perkembangan zaman, kita bisa melihat bahwa dunia pendidikan hari ini tak lagi berjalan di jalur yang sama seperti satu atau dua dekade lalu. Teknologi telah mengubah cara anak belajar, mencari informasi, dan berinteraksi, sekolah tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu. Peserta didik bisa dengan sangat mudah mengakses materi-materi pelajaran lewat benda segi empat pipih yang kita kenal dengan gadget, tentu ini menjadi tantangan sendiri bagi para guru.
Kalau dulu anak-anak itu datang dengan gelas kosong yang siap untuk diisi oleh para guru dan percaya sepenuhnya dengan materi yang diajarkan guru, kalau sekarang mereka datang ke ruang-ruang kelas dengan gelas terisi bahkan hampir penuh, guru tidak lagi menjadi pengisi kekosongan, namun menjadi teman berdiskusi yang “harus” asyik, bahkan kerap sekali jika kondisi guru tidak update, tidak sesuai selera mereka gaya mengajarnya maka akan terlihat seperti mesin tua yang tak bisa menyala.
Fenomena ini tentu menjadi tantangan sendiri bagi para guru, dan tantangan ini bukan untuk diabaikan namun disambut dengan tangan terbuka sembari menyiapkan diri dan terus berproses menjadikan dunia pendidikan ini tetap asyik dan guru tetap menyenangkan. Guru yang menyenangkan itu mungkin bisa dimulai dengan merubah pola pikir seperti: guru menjadi fasilitator pembelajaran, bukan hanya pengajar, guru sebagai navigator informasi, bukan sekadar penyampai materi dan memberikan pendamping karakter, bukan hanya pemberi nilai. Dengan beberapa tindakan diatas diharapkan Generasi Alpha tidak kehilangan acuan dalam belajar dan memperoleh pendidikan sehingga mereka tetap memiliki karakter yang kuat tanpa merubah makna pendidikan itu sendiri
Generasi Alpha adalah generasi pertama yang benar-benar digital native. Mereka tumbuh bersama gawai, kecerdasan buatan, dan dunia yang bergerak dalam kecepatan instan. Mereka cepat belajar, mudah bosan, lebih visual, lebih kritis, dan sangat terbiasa dengan personalisasi. Mark McCrindle (Sosiolog & Futuris, Pencetus istilah “Generasi Alpha”) menyebutkan bahwa Generasi Alpha sebagai generasi paling terdidik, paling kaya, dan paling terpapar teknologi dalam sejarah manusia. Mereka tumbuh dengan AI, digitalisasi total, dan otomatisasi, sehingga kemampuan adaptasi teknologi mereka sangat tinggi. McCrindle juga berpendapat bahwa Gen Alpha akan menjadi generasi paling lama bersekolah dan memiliki gaya belajar yang sangat visual serta interaktif.
Tidak berlebihan rasanya jika mereka disebut generasi paling unggul dari generasi sebelumnya. Namun, di balik keunggulannya banyak terdapat kekurangan seperti rentan pada distraksi, kurang sabar dengan proses panjang, sering kali lemah dalam interaksi sosial, dan hidup di tengah tekanan global yang tidak menentu. Mendidik Generasi Alpha bukan sekadar soal teknologi, tetapi membekali mereka dengan keterampilan manusiawi seperti empati, kolaborasi, kreativitas, dan ketahanan mental.
Peran Guru di Tengah Gempuran Perubahan
Di tengah perubahan wajah pendidikan dan hadirnya generasi digital, guru tetap menjadi jangkar. Mereka adalah penghubung masa lalu yang penuh kearifan dengan masa depan yang serba cepat. Guru adalah pihak yang mengajarkan bahwa di balik algoritma ada nilai, di balik teknologi ada etika, dan di balik kemajuan ada tanggung jawab. Pada Hari Guru ini, kita merayakan keteguhan para pendidik yang terus berdiri meskipun dunia berubah dan tantangan datang tanpa permisi, dia bercokol memaksa para guru untuk bisa menghadapi semua ini.
Kita menundukkan kepala, memberikan hormat, dan menyadari bahwa tanpa guru, masa depan hanyalah ruang kosong. Hari Guru adalah momen untuk mengingat bahwa pendidikan bukan hanya soal bangunan sekolah atau kurikulum, melainkan hubungan manusia antara guru yang tulus dan murid yang haus belajar. Wajah pendidikan boleh berubah, teknologi boleh berkembang, generasi boleh berganti namun peran guru selalu abadi. (*)
Fatma Hayati, M.Pd, adalah seorang guru Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Tangerang Selatan, Provinsi, Banten.








