
Oleh: ALFITRI
(Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)
Banyak cara siswa SMA era 1980-an mengisi malam minggu mereka. Sebagian mungkin santai di rumah: main gitar atau mendengar radio Arbes. Sebagian lagi keluar rumah: mungkin raun “paniang” naik motor keliling kota, pergi acara ultah teman (yang pakai acara disko), pedekate ke rumah cewek, dan sebagainya.
Saya sendiri dan sejumlah teman Smandu 83 seringnya pergi nonton bioskop. Kadang pukul 9 malam, kadang juga midnite show yang pukul 12 malam. Biasanya kami nonton di Purnama Theatre atau New Rex Theatre, di kawasan Pondok.
Pilihan film-nya macam-macam. Paling sering ya film action produksi Italia yang banyak adegan kejar-kejaran mobil plus tembak- tembakannnya. Sesekali tentu kami juga nonton film dewasa. Produksi Italia juga. Aktrisnya yang paling hot waktu itu Edwige Fenech. Ada teman sekelas waktu itu yang sering mengajak saya untuk nonton film ini.
Pada suatu malam minggu di semester tiga, saya dan beberapa teman nonton midnite show di Purnama Theatre. Film selesai hampir jam 2 malam. Entah siapa yang punya ide dan mulai, terdengar suara di antara kami, “ke Ladang Padi yuk…ngopi…ngopi…” katanya sambil menunjuk-nunjuk ke arah timur. Spontan, beberapa teman lain dan saya pun menimpali dengan antusias, “yuk…yuk…brangkat”.
Lalu, motor-motor kami pun menderu berpacu membelah malam yang sunyi. Kami melaju menuju RM Mintuo di Ladang Padi, Sitinjau Laut — kawasan sejuk yang berada di antara bukit barisan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Solok. Tempat itu memang populer di kalangan anak muda Padang saat itu, apalagi buat yang ingin ngopi-ngopi sebentar sembari menghirup udara segar.
Seusai ngopi dan “maota-ota lamak”, kami pun memutuskan untuk kembali pulang ke pusat Kota Padang. Waktu sudah hampir subuh. Jalanan sunyi, hanya suara angin dan gelegak suara knalpot yang menemani.
Saya mengendarai vespa sendiri. Tak ada teman yang membonceng. Jalur Sitinjau Laut yang menurun, berkelok-kelok, dan diapit jurang menganga di sisi kiri dan tebing bukit di sebelah kanan, seakan menambah kesan dramatis malam itu.
Menjelang Panorama 2, saya yang mengendarai vespa, entah kenapa tiba-tiba punya ide “cerdas”: menetralkan gigi motor di jalan turunan. Dalam pikiran polos saya saat itu, vespa akan meluncur lebih ringan dan hemat bensin. Tapi saya salah besar. Vespa malah meluncur kencang seperti lepas dari kendali — dan memang, itu kenyataannya.
Di depan saya, belokan tajam sudah menanti. Di kiri, ada sebagian pagar tembok pembatas dan setelah itu… jurang yang dalam dan gelap gulita. Saya mulai panik. Keringat dingin mengucur, dan dalam hati saya hanya bisa berdoa sambil menggenggam stang vespa erat-erat.
Saya mencoba berpikir cepat: jangan panik, jangan lompat, jangan banting stang mendadak. Saya coba rem pelan-pelan, tapi tetap saja vespa meluncur liar. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana rasanya detik-detik itu. Bayangan orang tua, masa depan, dan kemungkinan kecelakaan fatal berkelebat di kepala. Rasanya hidup sedang dipertaruhkan.
Alhamdulillah, setelah beberapa tikungan, jalan mulai agak mendatar. Saya memanfaatkan momentum itu untuk menarik napas dalam-dalam, lalu dengan hati-hati menekan rem dan memasukkan gigi dua. Vespa mulai melambat. Roda belakang sedikit mengunci, tapi saya tetap menahan stang agar tidak tergelincir. Akhirnya, saya berhasil sepenuhnya mengendalikan vespa, dan memperlambat lajunya.
Teman-teman lain dengan motornya telah mendahului dan melaju di depan. Di atas vespa yang sudah berjalan pelan, saya merasa seperti baru saja dilahirkan kembali. Berulang kali dalam hati saya berucap syukur ke Ilahi Rabbi. Kejadian dini hari itu tak akan pernah terlupa seumur hidup.
Pas azan subuh saya sampai di rumah. Saat itu saya menjadi salah seorang remaja pulang pagi. Saya bersikap seolah tak ada kejadian apa-apa. Padahal barusan merasa nyaris mati di atas vespa. Tapi orang tua saya seolah tahu ada yang tidak beres. Wajah pucat saya, baju yang basah oleh keringat, dan cara saya diam — semuanya jadi tanda. Sambil menahan marah, ibu saya berkata pendek namun tegas, “Jangan diulang lagi. Ingat masa depanmu.”
Dari situ saya mulai berpikir ulang. Masa muda bukan hanya untuk main-main. Cukup sudah tiga semester tanpa orientasi yang jelas selama sekolah di SMA. Tiga semester ke depan hidup mesti ditata dan dikelola untuk meraih cita-cita. “Need for achievement” harus dipupuk dan dibentuk.
Sekolah yang sebelumnya hanya saya anggap sebagai rutinitas harian saya ubah menjadi momen yang menyenangkan. Bersama teman-teman saya mulai belajar lebih serius. Hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan.
Kini, setiap kali melewati jalur Sitinjau Laut — yang masih curam dan menantang seperti dulu — saya selalu teringat peristiwa itu. Suatu malam minggu yang mengubah hidup. Dari hampir mati di atas vespa, saya belajar tentang pentingnya kendali — bukan hanya kendali kendaraan, tetapi kendali dalam hidup ke arah yang benar.*









