
Padang, Scientia.id – Tiga isu menarik yaitu keigo, kegare, dan Kaguya-hime menjadi benang merah yang menyatukan diskusi akademik pada sesi utama Seminar Nasional Dinamika Bahasa, Sastra, dan Budaya Jepang di Era Digital yang digelar di Padang, Kamis (23/10/2025). Acara ini menampilkan tiga pakar terkemuka yang memberikan pandangan mendalam tentang hubungan antara tradisi dan tantangan sosial budaya di era digital.
Prof. Dr. Ely Triasih Rahayu dari Universitas Jenderal Soedirman membuka sesi dengan presentasinya berjudul “Perspektif Keigo bagi Migran Indonesia: Studi Tantangan Komunikasi dan Adaptasi Sosial Migran Indonesia di Jepang.” Ia menekankan bahwa keigo atau bahasa hormat bukan hanya persoalan linguistik, melainkan hambatan sosial yang memengaruhi kualitas hidup dan profesionalisme tenaga kerja Indonesia di Jepang.
“Seiring meningkatnya permintaan tenaga kerja produktif dari Indonesia, kita tidak bisa hanya fokus pada keterampilan teknis. Masalah keigo ini harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan institusi pengirim tenaga kerja,” tegas Prof. Ely.
Paparan berikutnya datang dari Dr. Alimansyar, M.A., Ph.D. dari Universitas Sumatera Utara (USU), yang mengangkat topik “Omamori; Kesucian dan Kekotoran.” Ia mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat Jepang tidak menyadari alasan spiritual di balik ritual pengembalian omamori ke kuil Jinja. “Mayoritas masyarakat Jepang tidak menyadari bahwa alasan utama mengembalikan omamori adalah karena adanya kekotoran (kegare) yang melekat pada jimat tersebut setelah melindungi pemiliknya,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Rima Devi dari Universitas Andalas (UNAND) menutup sesi dengan membedah transformasi Kaguya-hime dari teks klasik menjadi narasi digital.
“Kaguya-hime hari ini bertransformasi dari teks pasif menjadi ekosistem partisipatif. Teknologi adalah agen determinan dalam evolusi sastra,” paparnya.
Baca Juga: UNAND, USU, dan UNSOED Perkuat Kerja Sama dalam Studi Bahasa, Sastra, Budaya Jepang
Diskusi berjalan hangat, dengan partisipasi aktif dari peneliti Irwan (USU), Felicia (UNAND), Aulia (UNAND), Dewi sensei (UBH), dan Beni (alumni UNAND). Para peserta menyoroti relevansi riset ini terhadap realitas sosial, menunjukkan bahwa studi Jepang kini tak sekadar kajian tradisional, tetapi refleksi lintas disiplin yang hidup dan terus berkembang. (*)








