
Oleh: Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Di era modern yang serba digital dan cepat, komunikasi publik menjadi pilar penting dalam menjaga legitimasi wakil rakyat. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang dianggap “tak merakyat”, yakni para wakil rakyat dengan sebutan “Dewan Perwakilan Rakyat” atau DPR yang membatasi komunikasi hanya dalam format simbolis dan tidak menyentuh realitas warga. Tidak adanya komunikasi yang bermakna dapat memperlebar jarak antara wakil rakyat dan masyarakat. Sebaliknya, komunikasi publik yang baik dan belum diterapkan oleh para pemangku kepentingan kelompok padahal mampu menjembatani jurang pengertian di antara keduanya.
Rentetan peristiwa terjadi pada bulan Agustus ketika ribuan buruh, mahasiswa, dan elemen masyarakat turun ke jalan. Mereka memadati kawasan Gedung DPR/MPR RI sebagai buntut dari komunikasi publik yang buruk dari para wakil rakyat. Aksi ini membawa enam tuntutan utama, mulai dari penghapusan sistem outsourcing, kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5–10,5%, hingga penghentian praktik PHK massal. Gedung DPR pun dipilih sebagai pusat aksi karena dianggap sebagai simbol kekuasaan politik yang seharusnya dan semestinya mewakili rakyat. Namun, jangankan mewakili suara rakyat, lembaga ini justru dinilai abai terhadap suara dan aspirasi publik.
Hubungan antara penguasa dan masyarakat yang demonstrasi ini semakin nyata terlihat ketika ketidakpuasan masyarakat kepada pemegang kekuasaan dan para wakil rakyat. DPR dinilai lebih sibuk berpolitik daripada benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Aksi yang awalnya berlangsung damai selama siang harinya berubah menjadi ricuh ketika sebagian massa mencoba masuk ke dalam wilayah DPR yang memang jaraknya sangat jauh dari massa yang berteriak di luar gedung, sehingga memicu bentrokan dengan aparat keamanan dan bahkan memakan korban. Peristiwa ini mencerminkan kekecewaan yang mendalam sekaligus potensi eskalasi konflik. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang tersumbat antara DPR dan masyarakat dapat berujung pada konflik fisik yang sulit dikendalikan.
Salah satu isu yang paling disorot dalam demonstrasi tersebut adalah besarnya tunjangan dan fasilitas mewah yang diterima anggota DPR, termasuk tunjangan perumahan. Isu ini memicu kemarahan karena dianggap tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang tengah sulit. Banyak pengunjuk rasa menilai DPR gagal menunjukkan empati dan kepekaan sosial. Di satu sisi, para wakil rakyat menikmati berbagai fasilitas dan kenyamanan hidup. Sementara itu, rakyat harus berjuang keras menghadapi krisis ekonomi dan ketidakpastian pekerjaan. Ketimpangan ini semakin memperkuat stigma bahwa DPR kian jauh dari rakyat yang seharusnya mereka wakili dan perjuangkan.
Yang lebih memprihatinkan, muncul seruan “Bubarkan DPR” dari sebagian masyarakat yang merasa sangat lelah dan kecewa hingga menjadi tagar yang ramai diperbincangkan di media sosial. Seorang Wakil Ketua Komisi III DPR RI yang sekarang sedang dinonaktifkan, Sahroni, justru menyatakan bahwa menyuarakan pembubaran DPR adalah tindakan yang “tolol se-dunia.” Pernyataan tersebut bak menuangkan minyak ke dalam jerami yang sudah terbakar dan memicu gelombang kecaman sangat besar dari publik. Banyak pihak menilai perkataan tersebut merendahkan aspirasi masyarakat yang seharusnya didengar dan dipahami. Alih-alih meredakan ketegangan, pernyataan tersebut semakin memperburuk citra DPR di mata masyarakat.
Kegagalan DPR lainnya yang paling disorot dalam membangun komunikasi publik tampak nyata dalam kasus misinformasi yang sempat viral di media sosial. Salah satunya adalah pernyataan Uya Kuya dengan narasi “kita artis, kita DPR” yang memicu kemarahan publik. Ucapan tersebut dinilai banyak pihak sangat arogan dan tidak sensitif, apalagi disampaikan pada waktu yang tidak tepat ketika masyarakat sedang kecewa dan krisis kepercayaan terhadap DPR. Seorang wakil rakyat dan juga public figure mestinya mampu memberikan klarifikasi yang tegas dan meredakan situasi namun malah memperkeruh keadaan. Akibatnya, narasi negatif terus menyebar dan memperkuat citra DPR sebagai lembaga yang jauh dari rakyat.
Dalam situasi ini, para wakil rakyat perlu mendalami komunikasi publik yang menjadi instrumen penting untuk memulihkan citra dan memperbaiki persepsi negatif masyarakat. Dalam buku Komunikasi Publik: Masalah-Masalah Stratejik, komunikasi publik dikatakan memiliki peran strategis dalam membangun kepercayaan, menyampaikan kebijakan, serta menunjukkan akuntabilitas (Muktiyo et al, 2023). Oleh karena itu, DPR tidak hanya dituntut untuk berbicara, tetapi juga mendengarkan aspirasi publik dengan penuh empati. Jika dilihat lebih dalam lagi, mereka juga perlu merespons keluhan masyarakat secara terbuka, jelas, dan tepat waktu agar kepercayaan publik dapat kembali terjaga.
Komunikasi publik yang efektif harus memenuhi beberapa unsur penting, seperti kredibilitas komunikator, konsistensi pesan, pemilihan media yang tepat, serta aksi nyata yang mendukung setiap kata yang disampaikan. Jika DPR hanya mengandalkan pernyataan formal tanpa diiringi tindakan yang jelas, publik akan menilainya sebagai sekadar propaganda kosong. Dalam konteks rentetan demonstrasi yang terjadi belakangan ini, lambatnya respons dari DPR justru memperkuat persepsi negatif tersebut. Hal ini semakin menegaskan kesan bahwa para wakil rakyat tidak peduli terhadap penderitaan dan suara masyarakat yang mereka wakili.
Dalam situasi yang sudah memuncak seperti yang terlihat saat ini, ketika kekecewaan masyarakat sudah begitu amat mendalam, DPR seharusnya menerapkan komunikasi publik yang proaktif untuk meredakan ketegangan. Langkah penyampaian klarifikasi yang jelas, permintaan maaf yang tulus, dan pembukaan ruang dialog terbuka menjadi wujud keseriusan dalam memperbaiki keadaan. Tindakan ini tidak hanya berfungsi sebagai strategi komunikasi, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab moral kepada rakyat. Terlebih lagi, keberanian bagi para wakil rakyat yang selama ini tersorot tidak merakyat untuk mengundurkan diri akan menjadi sinyal kuat bahwa DPR benar-benar mendengar dan menghargai suara publik.
Demo yang terjadi di penghujung Agustus seharusnya menjadi momentum refleksi bagi manusia-manusia yang menamakan diri mereka “Dewan Perwakilan Rakyat”. Bulan Agustus, yang identik dengan semangat kemerdekaan pada 17 Agustus, justru ternodai oleh gelombang aksi besar-besaran. Ironisnya, semangat kemerdekaan yang seharusnya dirayakan berubah menjadi simbol protes dengan hadirnya 17+8 tuntutan rakyat. Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bahwa komunikasi publik bukan sekadar membangun citra, tetapi juga tentang menumbuhkan kepercayaan jangka panjang. Jika DPR tidak segera melakukan pembenahan, jarak antara wakil rakyat dan masyarakat akan semakin sulit dijembatani.
Secara keseluruhan, demonstrasi yang terjadi menunjukkan bahwa kegagalan komunikasi publik DPR dapat memicu krisis legitimasi yang sangat serius. DPR harus segera memperbaiki pola komunikasinya dengan menghadirkan transparansi, empati, dan respons yang nyata terhadap aspirasi masyarakat. Perbaikan ini tidak hanya soal berbicara, tetapi juga membuktikan komitmen melalui tindakan dan kebijakan tegas yang selaras dengan kata-kata. Dengan komunikasi publik yang baik, DPR dapat kembali meraih kepercayaan dan menepis stigma sebagai lembaga yang “tak merakyat.” Pada akhirnya, hal ini akan membantu mengembalikan demokrasi Indonesia ke jalur yang lebih sehat, inklusif, dan berkeadilan.







