Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)
Beberapa waktu lalu saya mengalami pengalaman yang sederhana, tetapi ternyata cukup menyita tenaga dan pikiran, yaitu pindah rumah. Seperti biasa, kegiatan pindahan identik dengan menata kembali barang-barang yang sebelumnya sudah rapi di tempat lama. Mulai dari perabotan, pakaian, hingga peralatan kecil di dapur. Namun, ada satu hal yang menurut saya paling membutuhkan perhatian khusus, yaitu menyusun kembali buku-buku.
Semula, semua buku itu dimasukkan ke dalam beberapa karton. Rasanya praktis, tinggal angkut, lalu simpan. Tetapi begitu sampai di tempat baru, pekerjaan sesungguhnya justru dimulai. Membuka karton demi karton, lalu mengembalikan buku-buku itu ke dalam lemari bukan perkara sebentar.
Saya sadar, menyusun buku tidak bisa asal taruh. Ada semacam “aturan tak tertulis” yang membuat saya ingin menatanya sesuai kategori. Maka, saya pisahkan antara buku fiksi dan nonfiksi. Cara ini bukan hanya membuat rak terlihat lebih rapi, tetapi juga memudahkan saya saat ingin mencari bacaan tertentu di kemudian hari.
Jika dipikir-pikir, kegiatan sederhana ini menyimpan makna filosofis. Menata buku ternyata mirip dengan menata kehidupan. Kita semua membawa banyak “isi” dalam hidup: pengalaman, kenangan, ilmu, bahkan masalah. Kalau semuanya dibiarkan bercampur tanpa arah, kita akan kesulitan menemukan apa yang benar-benar penting ketika dibutuhkan.
Menyusun buku berdasarkan kategori mengajarkan saya pentingnya keteraturan. Hidup memang tidak selalu bisa diatur seperti rak buku, tetapi memiliki sistem atau prioritas membuat segalanya lebih terarah. Ada saatnya kita butuh bacaan ringan untuk hiburan, sama seperti kita butuh jeda dari rutinitas. Ada pula saatnya kita membutuhkan bacaan serius untuk menambah wawasan, seperti halnya kita perlu fokus pada tanggung jawab dan pekerjaan.
Dalam kehidupan sekarang yang serba cepat, sering kali kita terbawa arus informasi yang menumpuk tanpa sempat memilah mana yang benar-benar penting. Menata buku mengingatkan saya bahwa memilah dan menata ulang itu perlu, bukan hanya untuk rak buku, tetapi juga untuk pikiran dan perasaan. Dengan begitu, hidup terasa lebih teratur, dan kita lebih mudah menemukan “hal-hal berharga” yang sebenarnya sudah kita miliki sejak lama. Pada akhirnya, menyusun buku memang bukan sekadar urusan memindahkannya. Ia butuh kesabaran, sedikit logika, dan kadang tenaga ekstra.