Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)
Dalam dua tahun terakhir, rumah saya di kampung lebih sering sepi. Saya hanya pulang saat libur panjang, entah lebaran atau ketika kalender memberi jeda empat hingga lima hari. Kini orang tua pun ikut tinggal bersama saya di rantau. Rumah pun sering kosong. Akibatnya, mulai tampak kerusakan, kayu lapuk, besi berkarat, dinding lembab, dan lumut yang tumbuh di sudut-sudutnya.
Melihat kondisi itu, saya jadi merenung. Ternyata rumah tidak hanya membutuhkan atap yang kuat atau tiang yang kokoh, tapi juga kehadiran manusia di dalamnya. Tanpa penghuni, rumah cepat berubah. Ia lembab, rapuh, dan kehilangan kehangatan. Saya mulai paham, bahwa rumah memiliki jiwa selama ada penghuninya.
Saya teringat kata Atuak, bahwa rumah bukan sekadar tempat berteduh. Ia menyimpan makna lebih dalam, karena dipercaya memiliki tuah—kekuatan yang membuatnya kokoh. Namun, tuah itu hanya terjaga ketika rumah tetap dihuni, dirawat, dan dihidupkan oleh aktivitas manusia.
Kita mungkin saja heran melihat rumah kayu tua dengan ornamen yang hampir rusak masih mampu bertahan puluhan tahun. Menariknya, rumah itu tetap kokoh selama ada yang menghuni. Sementara itu, rumah yang kelihatannya megah dan kuat justru cepat rusak ketika dibiarkan kosong.
Rumah yang dihuni senantiasa “hidup”. Di dalamnya ada suka dan duka dari penghuni. Semua itu menciptakan energi kehidupan yang menjaga rumah tetap tegak, meski fisiknya mulai renta. Rumah yang tidak dihuni kehilangan denyut itu. Ia menjadi sepi, lembab, dan pelan-pelan lapuk dimakan rayap, ditumbuhi lumut, hingga akhirnya roboh tanpa ada yang menolong.
Dari sini saya belajar bahwa rumah bukan hanya soal bahan bangunan yang kuat atau arsitektur yang indah. Ia hidup karena penghuninya. Selama ada manusia yang merawat, berdoa, dan memberi makna, rumah akan tetap bertuah. Tetapi jika ditinggalkan, sehebat apapun bangunannya, ia akan cepat rapuh.
Setiap kali pulang, saya selalu berdiri lama di halaman. Ingatan pun hadir, riuh keluarga di ruang tengah, harum masakan ibu, hingga dentuman hujan di atap seng yang dulu menemani tidur masa kecil. Kini, keheningan lebih sering menyelimuti rumah, seakan menagih kembali kehidupan yang pernah mengisinya. Saat itulah saya sadar, rumah bukan sekadar bangunan, melainkan wadah kenangan dan kasih sayang. Selama kita terus pulang, walau sebentar, rumah akan tetap bertuah dan tak pernah benar-benar sepi, seperti apa yang disampaikan Atuak.