Pernyataan Wendriadi muncul dikarenakan Ombudsman Republik Indonesia mengeluarkan hasil pemeriksaan yang menyatakan adanya maladministrasi serius dalam pemutusan kontrak ribuan TPP oleh Kemendes. Laporan hasil pemeriksaan tersebut diserahkan ke BPSDM-PMDDT Kemendes pada 17 Juli 2025, dan menjadi tamparan keras bagi institusi yang selama ini dipercaya mengelola pembangunan desa dari pusat.
“Kami dikorbankan tanpa evaluasi, tanpa Proses. Seperti buang barang rusak,” ujar Wendriadi kepada Scientia.
Wendriadi tak menutupi kekecewaannya. Menurutnya, pemutusan kontrak dilakukan tanpa proses evaluasi kinerja yang semestinya menjadi dasar utama pengambilan keputusan.
“Kami diputus begitu saja. Tidak ada surat evaluasi, tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Tiba-tiba nama kami hilang dari sistem,” ungkapnya.
Menurutnya, cara-cara seperti ini bukan hanya melukai para pendamping desa yang sudah bekerja di garis terdepan pembangunan, tetapi juga mencerminkan bobroknya sistem manajemen sumber daya manusia di tubuh Kemendes.
“Saya bukan hanya kehilangan pekerjaan. Saya kehilangan harga diri sebagai profesional. Padahal saya punya bukti capaian kerja, dokumen laporan, bahkan testimoni dari pemerintah nagari dan camat. Tapi itu semua seperti tidak ada artinya,” ujarnya.
Ombudsman Benarkan: Ada Maladministrasi!
Kekecewaan Wendriadi kini memiliki landasan hukum dan moral yang kuat. Dalam surat resmi Ombudsman RI bernomor T/1662/LM.11-K6/0359.VII/2025 tertanggal 25 Juli 2025, disebutkan bahwa Kemendes melalui BPSDM-PMDDT telah melakukan pemutusan kontrak tanpa melalui evaluasi kinerja, yang merupakan bentuk maladministrasi.
Tak hanya itu, Ombudsman juga menilai bahwa tindakan ini mengganggu pelayanan publik, karena para TPP selama ini merupakan bagian penting dalam pelaksanaan program-program desa.
Ombudsman bahkan memberi waktu 30 hari kepada Kemendes untuk menindaklanjuti hasil temuan ini. Namun, bagi Wendriadi, kerusakan sudah terjadi.
“Kami menuntut rehabilitasi, Bukan sekadar klarifikasi,” katanya.
Wendriadi menegaskan, yang diinginkan para TPP bukan sekadar klarifikasi atau janji perbaikan sistem.
“Kami menuntut pemulihan nama baik, pengembalian posisi, dan kompensasi atas tindakan sewenang-wenang ini. Ini bukan soal gaji, tapi soal martabat,” tegasnya.
Ia juga menyayangkan diamnya sebagian pejabat Kemendes yang menurutnya menutup mata atas kesalahan prosedural yang masif ini.
“Jika birokrasi dibiarkan bertindak semaunya, siapa yang akan menjaga rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan?,” katanya.
Gelombang Perlawanan TPP Nasional
Wendriadi bukan satu-satunya yang bersuara. Di berbagai daerah, eks TPP yang mengalami nasib serupa kini mulai menyuarakan tuntutan mereka. Dengan landasan surat Ombudsman, mereka menuntut audit total terhadap kebijakan BPSDM-PMDDT dan keterbukaan atas proses evaluasi kinerja yang selama ini terkesan tertutup dan manipulatif.
“Ini bukan soal satu atau dua orang. Ini soal ribuan pendamping yang dikorbankan untuk kepentingan yang kami tidak tahu. Negara tidak boleh diam,” ujar Wendriadi.
Wajah Buram Pemberdayaan Desa
Kasus Wendriadi adalah potret dari wajah buram pemberdayaan desa di Indonesia. Ketika mereka yang bekerja di akar rumput justru diputus nasibnya oleh kekuasaan yang duduk di ruang ber-AC tanpa proses yang adil, maka kita sedang menyaksikan ironi dalam pembangunan. Yang dibangun bukan desa, tapi luka kolektif.(yrp)