Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Semasa sekolah menengah, saya dan banyak teman sebaya gemar mengakses ramalan, dari situs mistis hingga layanan pesan singkat (SMS) berbayar. Kala itu, ramalan menjadi tren yang meluas, televisi pun turut meramaikan dengan sinetron dan reality show bertema supranatural. Pengaruhnya terasa hingga di dalam kelas, banyak teman yang mengaku punya indra keenam.
Kala itu, seolah ada euforia kolektif untuk percaya pada hal-hal yang tak kasatmata. Dari ramalan zodiak harian hingga prediksi jodoh berdasarkan nama depan dari aplikasi daring. Beragam layanan serupa pun bermunculan, menawarkan kemampuan untuk membaca aura, memprediksi masa depan, hingga menghitung tingkat kecocokan hubungan berdasarkan data sederhana seperti tanggal lahir.
Kami tak pernah benar-benar serius, tapi juga tak sepenuhnya main-main. Bagi kami, tren itu terasa sah-sah saja, paling tidak dijadikan bahan obrolan seru di kantin sekolah. Di sela jam istirahat atau saat guru terlambat masuk kelas, telapak tangan mulai dibaca, garis hidup ditafsir, dan nama gebetan dilafalkan pelan-pelan seolah memiliki resonansi magis.
Seorang teman yang konon punya kesaktian itu jadi pusat perhatian. Cara ia mengernyit, menatap telapak tangan, lalu menyebut masa depan dengan suara rendah, cukup membuat seisi kelas terdiam sesaat. Tidak ada yang bertanya soal validitas, apalagi metodologi. Semua berlangsung dalam kesepakatan diam, bahwa ramalan bukan soal benar atau salah, melainkan soal harapan yang dibungkus rasa ingin tahu.
Seiring berjalannya waktu, kegemaran itu mulai memperlihatkan sisi lain yang patut dipertimbangkan. Tak sedikit teman yang larut dalam euforia, rutin mengirimkan nama, tanggal lahir, hingga inisial orang disukai ke layanan SMS berbayar demi sepotong ramalan yang terasa personal. Pulsa terkuras perlahan, sementara balasannya templat.
Belakangan baru sadar, yang terkuras bukan hanya pulsa. Di balik permainan sederhana bernama ramalan itu, tanpa disadari kami sudah memberikan banyak data diri yang beberapa di antaranya patut dirahasiakan.
Pada dasarnya, ramalan bukan sekadar usaha menerka masa depan, melainkan cerminan kebutuhan manusia akan kepastian di tengah ketidakpastian. Namun, dalam konteks digital, praktik semacam ini berpotensi membuka ruang bagi pemanfaatan data pribadi secara tidak bertanggung jawab. Di sinilah pentingnya kesadaran kritis, bahwa di balik godaan sederhana bernama ramalan, tersimpan risiko yang jauh lebih kompleks dari sekadar pulsa yang habis.