“DPR harus hadir menjawab keresahan rakyat. Mulai dari tingginya angka pemutusan hubungan kerja, carut-marut pelaksanaan ibadah haji 2025, hingga polemik pengoplosan gas subsidi,” tegas Puan.
Lebih dari itu, Puan mengangkat persoalan lain yang tak kalah genting, seperti keterlambatan pengisian posisi duta besar di sejumlah negara strategis, hingga urgensi evakuasi warga negara Indonesia dari wilayah konflik. Semua ini, menurutnya, menuntut ketegasan dan kesiapan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi.
Di masa sidang kali ini, DPR akan melanjutkan pembahasan delapan Rancangan Undang-Undang (RUU), tujuh di antaranya merupakan carry over dari masa keanggotaan sebelumnya. Puan menjanjikan proses pembentukan undang-undang akan berlangsung transparan dan mengedepankan dialog dengan berbagai pihak berkepentingan.
“Undang-undang bukan hanya hasil kerja meja. Ia harus lahir dari titik temu antara kepentingan rakyat dan keberlanjutan pembangunan nasional,” ujarnya.
Tak hanya urusan legislasi, DPR juga bersiap memasuki fase awal pembahasan RAPBN 2026 serta laporan pertanggungjawaban APBN 2024. Dalam konteks ini, Puan menyoroti ketidakpastian ekonomi global akibat ketegangan geopolitik, yang menurutnya harus diantisipasi secara cermat dalam kerangka kebijakan fiskal.
“KEM-PPKF 2026 wajib memuat langkah antisipatif, termasuk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait pendidikan dasar gratis,” paparnya.
Dalam ranah diplomasi parlemen, DPR juga akan intensif membangun relasi internasional dengan menerima kunjungan para duta besar serta melakukan lawatan kerja ke sejumlah negara mitra strategis seperti Meksiko, Tiongkok, hingga Kazakhstan.
Menutup pernyataannya, Puan menyerukan partisipasi publik untuk turut mengawasi kinerja DPR.
“Dewan adalah rumah rakyat, maka sudah semestinya rakyat mengawasi dan memberi suara,” tandasnya.(yrp)