Oleh: Nahdaturrahmi
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Sjech M. Jamil Jambek Bukittinggi)
Sejarah ilmu sosial, B.F. Skinner dan Émile Durkheim menempati posisi penting dalam memahami perilaku individu dan struktur sosial. Skinner sebagai seorang behavioris percaya bahwa perilaku manusia sebagian besar dibentuk oleh lingkungan melalui proses penguatan dan hukuman. Sementara itu, Durkheim, seorang fungsionalis, melihat bahwa institusi sosial berperan dalam menjaga keseimbangan masyarakat. Meskipun berasal dari disiplin yang berbeda, kedua pendekatan ini memiliki titik temu dalam menjelaskan bagaimana manusia beradaptasi dan berfungsi dalam kehidupan sosial.
Behaviorisme menekankan pada kontrol eksternal terhadap perilaku individu. Menurut Skinner, manusia merespons stimulus dari lingkungan mereka, membentuk pola kebiasaan berdasarkan konsekuensi yang mereka terima. Dalam konteks masyarakat, ini dapat dilihat dalam dunia pendidikan, ekonomi, dan politik. Individu diarahkan melalui aturan, norma, serta sistem penghargaan dan hukuman. Pendekatan ini mencerminkan bagaimana individu bukanlah agen yang sepenuhnya bebas, melainkan produk dari interaksi dengan lingkungan mereka.
Fungsionalisme yang dikembangkan oleh Durkheim berfokus pada struktur sosial bekerja untuk mempertahankan stabilitas dan keteraturan. Durkheim percaya bahwa nilai-nilai, norma, dan institusi sosial berfungsi sebagai mekanisme yang membentuk individu agar dapat hidup dalam masyarakat secara harmonis. Sebagai contoh, sistem pendidikan tidak hanya mendidik seseorang secara akademik tetapi juga membentuk mereka menjadi warga negara yang sesuai dengan standar sosial yang ada.
Titik temu antara behaviorisme dan fungsionalisme terletak pada gagasan bahwa individu dipengaruhi oleh lingkungan mereka dan masyarakat memiliki peran penting dalam membentuk perilaku manusia. Skinner menjelaskan bagaimana perilaku dapat dikondisikan oleh stimulus eksternal, sementara Durkheim menekankan bagaimana norma sosial membentuk individu dalam sebuah sistem yang lebih besar. Dalam masyarakat modern, konsep-konsep ini masih sangat relevan, terutama dalam memahami bagaimana kebijakan publik, pendidikan, dan media massa berperan dalam membentuk perilaku kolektif dan stabilitas sosial.
Melihat perspektif dari kedua teori ini, kita bisa memahami bahwa manusia bukan hanya sekadar makhluk yang bereaksi terhadap stimulus, tetapi juga bagian dari sebuah struktur sosial yang lebih besar. Baik behaviorisme maupun fungsionalisme membantu kita memahami hubungan antara individu dan masyarakat, memberikan wawasan yang lebih dalam tentang perilaku manusia terbentuk dan keseimbangan sosial dipertahankan.
Ada beberapa aspek menarik yang bisa dieksplorasi lebih dalam untuk memperkuat analisis dalam artikel ini. Salah satunya teknologi dan media sosial menggabungkan prinsip behaviorisme dan fungsionalisme dalam membentuk masyarakat modern. Dalam konteks behaviorisme, platform seperti media sosial menggunakan algoritma yang mendorong perilaku pengguna melalui sistem reward dan punishment. Misalnya, jumlah “likes” dan komentar menjadi penguatan positif yang mendorong seseorang untuk terus berbagi konten. Dari perspektif fungsionalisme, media sosial juga berfungsi sebagai alat yang menjaga keteraturan sosial, membentuk norma digital, dan menciptakan identitas kolektif dalam komunitas virtual.
Selain itu, eksplorasi tentang implikasi behaviorisme dan fungsionalisme terhadap kebijakan publik juga bisa menjadi tambahan yang menarik, misalnya pemerintah menggunakan pendekatan behaviorisme dalam kebijakan ekonomi dan pendidikan, serta fungsionalisme membantu dalam merancang struktur sosial agar masyarakat tetap stabil dan sejahtera. Implikasi behaviorisme dan fungsionalisme dalam kebijakan publik berkontribusi merancang kebijakan untuk membentuk perilaku individu dan menjaga keseimbangan sosial.
Implikasi Behaviorisme dalam Kebijakan Publik
Behaviorisme berfokus pada stimulus eksternal mempengaruhi perilaku manusia. Dalam kebijakan publik, behaviorisme diterapkan dalam berbagai cara Pertama melalui pola insentif dan hukuman. Pemerintah menggunakan sistem reward dan punishment untuk mendorong perilaku tertentu. Contohnya, pajak karbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca atau subsidi bagi industri ramah lingkungan.
Kedua modifikasi perilaku dalam kesehatan masyarakat. Kampanye kesehatan seperti larangan merokok di tempat umum atau iklan yang menunjukkan konsekuensi buruk dari gaya hidup tidak sehat menggunakan pendekatan behaviorisme. Ketiga strategi pembelajaran dalam pendidikanSistem pendidikan berbasis penguatan positif, seperti penghargaan akademik dan sistem nilai, bertujuan membentuk kebiasaan belajar pada siswa.
Implikasi Fungsionalisme dalam Kebijakan Publik
Sementara itu, fungsionalisme berargumen bahwa masyarakat harus tetap stabil dan memiliki struktur yang mendukung keseimbangan sosial. Dalam kebijakan publik, ini terlihat dalam Pertama penyediaan institusi sosial. Pemerintah membangun institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan sistem kesejahteraan sebagai bagian dari struktur sosial yang memastikan keteraturan dalam masyarakat.
Kedua regulasi norma dan nilai sosial. Kebijakan seperti hukum pernikahan, perlindungan tenaga kerja, dan program keluarga berencana bertujuan menjaga harmoni sosial. Ketiga kebijakan integrasi sosial. Upaya untuk menciptakan kesetaraan dan mengurangi konflik sosial, seperti program afirmasi bagi kelompok minoritas dan kebijakan antidisriminasi.
Dalam masyarakat modern, teori behaviorisme dan fungsionalisme dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Contoh penerapan sistem reward dan punishment dalam pendidikan, sekolah menggunakan sistem penghargaan seperti nilai tinggi dan sertifikat untuk mendorong siswa belajar lebih giat. Sebaliknya, hukuman seperti teguran atau remedial diberikan untuk mengoreksi perilaku yang tidak sesuai.
Selain itu, pada strategi pemasaran dan media sosial. Algoritma media sosial dirancang untuk memberikan stimulus berupa notifikasi, “likes,” dan komentar yang mendorong pengguna untuk terus berinteraksi dengan platform. Sementara itu, pada kebijakan publik berbasis modifikasi perilaku, kampanye kesehatan seperti larangan merokok di tempat umum atau pajak karbon bertujuan mengubah perilaku masyarakat melalui penguatan positif dan negatif.
Di samping itu, fungsionalisme melihat institusi sosial berfungsi untuk menjaga keseimbangan masyarakat, seperti struktur pendidikan sebagai mekanisme sosial. Sekolah tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi juga membentuk individu agar sesuai dengan norma sosial dan nilai budaya yang berlaku. Intansi pemerintah berperan menjaga stabilitas sosial. Kebijakan ekonomi seperti subsidi dan bantuan sosial bertujuan menjaga keseimbangan masyarakat agar tidak terjadi kesenjangan yang ekstrem. Norma sosial dalam kehidupan sehari-hari, tradisi dan aturan sosial, seperti etika dalam berkomunikasi atau sistem kerja dalam perusahaan, membantu untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat.
Titik Temu Behaviorisme dan Fungsionalisme
Kedua pendekatan ini sering digunakan bersama untuk menciptakan kebijakan yang tidak hanya mengarahkan perilaku individu tetapi juga memastikan keseimbangan sosial, misalnya dalam program bantuan sosial, behaviorisme digunakan untuk mendorong penerima manfaat agar produktif, sementara fungsionalisme memastikan bahwa sistem bantuan ini memperkuat stabilitas masyarakat secara keseluruhan.
Behaviorisme dan fungsionalisme adalah dua teori yang saling melengkapi dalam memahami perilaku individu dan struktur sosial. Dalam pendidikan, behaviorisme membantu membentuk pola belajar yang terstruktur, sementara fungsionalisme memastikan bahwa sistem pendidikan berfungsi untuk menjaga keseimbangan sosial. Dalam teknologi dan media sosial, behaviorisme digunakan untuk memodifikasi perilaku pengguna, sementara fungsionalisme berperan dalam membentuk norma sosial digital.