Oleh: Arina Isti’anah
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma)
Baru-baru ini kita disadarkan oleh fenomena kerusakan alam Raja Ampat yang pertama kali diunggah oleh Greenpeace Indonesia melalui akun Instagramnya pada 5 Juni 2025. Tagar #SaveRajaAmpat juga sempat mendominasi unggahan netizen di berbagai media sosial. Bagaimana tidak? Raja Ampat yang diimpikan orang sebagai surga terakhir the last paradise ternyata harus dirusak oleh tambang nikel yang kata Bahlil, Menteri ESDM kita, terletak sekitar 30-40 km dari lokasi pariwisata Raja Ampat. Terlepas dari jauh atau dekatnya lokasi tambang tersebut, netizen ternyata memberikan reaksi keras terhadap aktivitas eksploitasi alam Raja Ampat. Tak lama setelah kehebohan yang terjadi di dunia maya, pemerintah kemudian menetapkan penghentian sementara aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, seperti yang disampaikan oleh Mensesneg Prasetyo Hadi pada 10 Juni 2025 lalu (tempo.com).
Walaupun netizen tetap tidak puas karena sifat sementara dari penghentian aktivitas tambang tersebut, fenomena di atas menunjukkan dampak besar yang ditimbulkan oleh unggahan media sosial yang memuat aspek bahasa. Sebagai organisasi internasional yang aktif mengkampanyekan isu tentang kerusakan lingkungan, Greenpeace memiliki strategi kebahasaan yang menarik jika kita amati lebih mendalam. Tulisan ini akan berfokus pada penggunaan frasa “iklim” dalam situs web Greenpeace Southeast Asia. Penggunaan kata dan frasa merupakan strategi wacana penting dalam menyampaikan ideologi penutur dan mempengaruhi persepsi mitra tutur karena kata dan frasa merupakan unsur kebahasaan yang paling mudah diingat (Fowler, 1985).
Greenpeace Southeast Asia merupakan bagian dari organisasi Greenpeace yang aktif menyuarakan isu-isu tentang peran bumi sebagai tempat yang dapat memelihara berbagai isinya. Dengan kata lain, Greenpeace bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati, mencegah polusi yang merusak air, tanah, dan udara, serta mempromosikan perdamaian (greenpeace.org). Melalui situs webnya, Grenpeace Southeast Asia menyediakan berbagai laman khusus terkait iklim, yakni clean energy, climate justice and liability, climate change, dan climate and energy. Dari laman-laman tersebut kita dapat menemukan berbagai artikel terkait berita atau cerita dari para aktivis dan kelompok adat yang berperan aktif dalam mitigasi permasalahan iklim.
Penggunaan bahasa, terutama kata dan frasa, oleh Greenpeace memiliki berbagai bentuk. Dari 291.506 kata dari 355 artikel yang dikumpulkan dari situs web Greenpeace Southeast Asia, kata “iklim” berada dalam beberapa frasa yang berbeda. Jika diurutkan dari frekuensinya, berikut frasa-frasa terkait iklim yang ditemukan: climate change (549), climate crisis (322), climate justice (226), climate impact (135), climate emergency (82), climate polluter (21), climate disaster (19), climate strike (98), climate breakdown (7), climate harm (6), climate chaos (5), climate hell (4), dan climate crime (4). Dari data tersebut, dapat kita amati bahwa Greenpeace menggunakan berbagai bentuk frasa terkait iklim. Penggunaan frasa-frasa tersebut tentu bukan tanpa alasan karena terdapat maksud yang sejalan dengan cita-cita Greenpeace dalam mengadvokasi lingkungan.
Frasa climate change “perubahan iklim” memang secara signifikan muncul dengan frekuensi paling tinggi yang digunakan oleh Greenpeace Southeast Asia. Hal tersebut bisa juga dipilih untuk memudahkan pembaca menangkap maksud dari Greenpeace terkait fenomena yang merusak alam. Kata climate change telah dianggap sebagai frasa yang merujuk pada fenomena dan siklus yang ditandai oleh berbagai bencana, seperti mencairnya es di Kutub Utara, banjir bandang, badai typhoon, dan kebakaran hutan. Terkait dengan tanda-tanda kerusakan alam tersebut, Greenpeace menggunakan frasa lain, yakni climate crisis “krisis iklim”. Frasa climate crisis menekankan pada kondisi yang berbahaya, genting, dan suram (KBBI).
Penggunaan frasa climate crisis dimotivasi oleh dampak berbahaya dari perubahan iklim yang patut kita soroti. Dalam pernyataannya, perwakilan Greenpeace Asia menyebutkan bahwa batu bara merupakan penyumbang terburuk bagi krisis iklim global. Hal tersebut didukung oleh fakta ilmiah bahwa pembakaran batu bara melepaskan partikel polutan yang menembus ke dalam sel-sel kita, merusak setiap organ dalam tubuh kita, menyebabkan berbagai hal mulai dari demensia hingga membahayakan anak-anak yang belum lahir. Dengan demikian, penggunaan frasa climate crisis dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran atas dampak nyata perubahan iklim yang bertransformasi sebagai suatu krisis.
Hal menarik lain adalah ternyata Greenpeace juga menggunakan istilah climate justice “keadilan iklim” untuk memprotes perusahaan yang menggunakan bahan bakar fosil. Di Filipina, para demonstran menggunakan istilah climate justice untuk memprotes perusahaan Shell yang terus menerus membakar bumi. Para demonstran juga dengan tegas menyerukan “Shell, stop burning our future” dalam kampanyenya. Dalam beberapa tahun terakhir, seruan terkait keadilan iklim sudah mulai dikibarkan oleh para aktivis lingkungan. Frasa climate injustice juga ditemukan dalam situs web Greenpeace Southeast Asia terkait para kelompok yang terkena dampak ketidakadilan iklim yang dihasilkan oleh perusahaan penghasil polutan. Para aktivis lingkungan mengkritik produksi plastik oleh perusahaan multinasional yang mengancam ketidakadilan iklim yang merusak laut, tanah, dan udara, khususnya di negara-negara berkembang.
Dominasi industrialisasi dan produksi masif oleh berbagai perusahaan berbahan bakar fosil di seluruh dunia membuat Greenpeace perlu menyuarakan kondisi kerusakan lingkungan yang semakin parah. Grenpeace menyebut perusahaan-perusahaan tersebut sebagai climate polluter “pencemar iklim”, sehingga Greenpeace perlu menghimbau climate emergency “darurat iklim”. Istilah climate emergency disampaikan oleh direktur Greenpeace sebagai tanggapannya terhadap Presiden Filipina yang berbicara di PBB terkait seruan memerangi krisis iklim. Greenpeace berkomitmen bahwa seruan darurat iklim harus diwujudkan dalam suatu instrumen kebijakan yang akan memastikan bahwa pemerintahan bertindak atas krisis iklim dengan urgensi yang sangat dibutuhkan. Dengan kata lain, mitigasi krisis iklim memerlukan komitmen dan keseriusan pemerintah dalam memfasilitasi, berkolaborasi, dan menyediakan sumberdaya untuk proyek mitigasi iklim berbasis komunitas (Mees dkk., 2019).
Permasalahan terkait iklim kian memburuk dan serius. Beberapa frasa seperti climate disaster “bencana iklim”, climate chaos “kekacauan iklim”, dan climate hell “neraka iklim” memuat makna yang semakin berkonotasi negatif. Namun demikian, pemilihan frasa-frasa tersebut justru perlu kita suarakan lebih lantang agar kita lebih mempedulikan lingkungan yang semakin rusak karena ulah manusia. Terjadinya bencana, kekacauan, bahkan dimetaforakan sebagai neraka, merupakan wujud nyata dari perubahan iklim yang semakin dekat dengan kita. Iklim tidak hanya mengalami perubahan, namun aktivitas antroposentris yang membuat iklim lebih panaslah yang menyebabkan berbagai bencana di sekitar kita.
Tulisan ringkas di atas mengungkapkan bahwa bahasa memuat fungsi ideologis yang sejalan dengan penutur. Pemilihan kata dan frasa dalam kampanye Greenpeace ternyata dapat mempengaruhi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakannya terkait aktivitas tambang nikel di Raja Ampat. Hal yang demikian membuktikan peran bahasa sebagai piranti yang dapat membentuk persepsi, interaksi, dan perilaku kita terhadap lingkungan.