Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Beberapa tahun lalu, saudara saya terhenyak saat mendapati motornya hilang dari teras rumah kos. Seperti biasa, setiap pulang kuliah, ia memarkirkannya di sana tanpa curiga. Rasa penasaran membawanya memeriksa rekaman CCTV, yang kemudian menampilkan dua sosok pemuda dengan gerak-gerik penuh kehati-hatian.
Mereka bersusah payah membuka pagar, tanpa satpam, tanpa anjing penjaga, hanya sebuah gembok yang akhirnya berhasil mereka bobol. Aksi itu berlangsung saat dini hari, ketika penghuni kos tertidur lelap. Namun, bukannya mendapat simpati, pagi itu saudara saya justru menerima omelan. Ironisnya, alih-alih mengecam si pencuri, mereka justru menyalahkan korban.
Selain itu, saya juga pernah membaca berita tentang pelecehan seksual di media, dengan korban entah itu perempuan atau laki-laki. Namun, yang lebih mengejutkan adalah komentar-komentar yang muncul di ruang publik. Tak jarang, ada yang berujar, “Salah sendiri, bajunya terbuka. Siapa yang nggak tergoda melihatnya?”.
Jika logika semacam ini terus dibiarkan, saya ingin bertanya, bagaimana dengan anak-anak yang menjadi korban? Apakah mereka berpakaian minim? Apakah tubuh mereka memiliki daya tarik yang dianggap mengundang? Jelas tidak. Maka, sudah saatnya kita berhenti mencari alasan untuk membenarkan tindakan yang jelas-jelas keliru dan melimpahkan kesalahan kepada korban.
Ada stereotip yang keliru, tapi justru kita benarkan dan dipraktikkan dalam keseharian. Kesalahan yang seharusnya dikutuk malah dimaklumi, sementara korban justru disalahkan. Seperti kasus, pencurian seakan mendapat pembenaran. Niat dan kesempatan si maling dianggap wajar, sementara korban yang ceroboh justru disalahkan. Bukankah ini bentuk pengalihan kesalahan yang tidak semestinya? Seharusnya pelaku yang bertanggung jawab, bukan korban yang menanggung beban tambahan. Kok bisa begini, padahal seharusnya tidak begitu?
Pada kasus pelecehan sekesual, korban bisa berasal dari kalangan mana pun, tapi sering kali kita berpura-pura tidak tahu. Perdebatan soal pakaian terus berulang, padahal faktanya pelecehan tidak hanya menimpa mereka yang berpakaian seksi. Ironisnya, perilaku pelaku seolah dimaklumi dengan dalih “ada kesempatan, ada niat.” Padahal, jelas perbuatannya salah dan mencerminkan moral yang rusak.
Pada akhirnya, jika logika kita tetap jungkir balik seperti ini, mungkin suatu hari nanti maling akan diberi penghargaan atas keahliannya membobol gembok, dan pelaku pelecehan akan dielu-elukan karena “hanya manusia biasa yang tak tahan godaan.” Kita hidup di dunia nyata, bukan dalam dunia terbalik di film kartun. Jadi, mari kita pakai akal sehat: yang salah tetap salah, yang benar tetap benar.