Hujan
Cerpen Karya: Fauzia Alvino
hujan….. lagi….
apakah sudah musim hujan lagi?
ah…..
Dari jendela lantai dua perpustakaan ini Gua kembali teringat suatu kenangan entah itu bisa dibilang terindah atau buruk. Hujan…. ya hujan yang mengubah semuanya.
“Rin…” sebuah suara yang memecahkan lamunan Gua. Hanya seulas senyum yang Gua berikan.
“Keingat lagi?” suara tersebut berdiri tepat disebelah Gua dan memberikan secangkir kopi, ya… kafein yang Gua butuhkan saat ini. Setidaknya dengan kafein dapat menenangkan susana yang Gua rasakan.
“Gimana cara ngelupainnya Ra, Ah…. serasa kemarin kita bersama sekarang lihatlah hanya kita berdua yang tinggal.” Rara yang berdiri disamping Gua dan dia satu-satunya sahabat yang selamat saat kejadian itu.
“Udah…..udah, kalau Lo kayak gini mereka pasti akan sedih Rin. Kita ambil hikmahnya saja mungkin itu yang terbaik.”
Benar apa yang dibilang Rara, tapi jujur Gua tidak sanggup mengigat kenangan itu, indah memang indah, tapi kenapa harus berubah sepahit ini. Gua masih mau bareng-bareng.
***
Ok, kali ini Gua mau kenalin teman-teman yang mau stay bersahabat dengan orang yang tidak punya arah dan tujuan kayak Gua.
Mereka itu Rara, Hana dan Tika.
Rara, dia yang paling tua dari kita bertiga dan sifatnya terkadang mencerminkan sebagai leader. Nih cewek hidupnya santai kayak dipantai tidak terlapau lebai sama alay. Dia selalu ada di saat kita sedih dan kalau senang dia yang selalu ngeruasak suasana dan pada saat itulah kelalaian dan bocornya keluar.
Hana, dia cewek pinter banget entah itu otaknya terbuat dari apa, asalkan diberi soal tinggkatnya high dengan mudahnya dijawab tanpa ngeluh. Biasanya kalau orang pintar identik kutu buku, nih anak beda, pinter tapi kerjaanya tidur mulu dan kalau udah tidur jangan harap bisa dibangunin. Hana sebaya dengan Gua, tanggal lahirpun sama dan kami pun bersebelahan duduk dikelas.
Tika, cewek satu ini kalau Gua nilai perfect si, tapi entahlah kalau yang lain nilai. soalnya ini anak tidak bisa marah dan cara bicarannya tu lembut banget. Dia selalu jadi penengah kalau ada yang bertengkar, pinter, tidak sombong dan dia juga pencair suasana jika mencekam . Tapi entah kalau bareng teman-teman yang lain.
***
“Mari kepusat kota besok, Gua mau habisin waktu bareng-bareng, disana ada taman bermain dan festival kuliner”
Rara, Airin dan Hana saling padang memandang heran, ini kalimat yang keluar dari Tika. biasanya orang yang selalu ngucapin kalimat seperti itu hanya Airin dan Rara itupun tidak pernah diiyain sama Tika.
“Ka, lu sakit? bagian mana sakitnya”
Hana bergumam dan mulai memegang Tika, anggukan Rara yang mengiyakan perkataan Hana. Tapi yang bedanya hanya Airin yang setuju dengan Tika.
“Gua mah setuju, sekali-kali kita boloskan dan besenang-senang tentunya. Mungkin sekarang Tika sadar bahwa ia perlu istirahat sejenakkan Na!”
Tika menganggukkan kepada Airin dengan semangat.
“Ka, bilang ama kita kalau lu punya masalah kita bisa cari solusinya. jadi lu nggk harus gini.”
“Ya elah Lo, Nyet, Lo pikir gue ini ngenes apa. Gue hanya ingin menghabiskan waktu sama kalian toh sebentar lagi kita akan menghadipi ujian nasional, bukannya begitu Airin Sayang. “
Dengan wajah yang di imutkan Tika berkata sama ke tiga temannya.
***
Setiba mereka di taman kota meraka menghapiskan waktu berkeliing-berkeliling sambil mencoba sempel makanan dari kuliner yang tersediah di sana. Dan tak pula mereka juga berusaha menjari calon-calon iman mereka mungkin saja ketemu dengan mereka, hehehe inilah sambil menyelam minum air.
Tidak terasa udah dua jam mereka berkeliling untuk mencoba sempel makanan dan hal ini cara untuk menghemat uang jajan, mereka melanjutkan berbagai mainan yang tersedia.
“Rara aku mau boneka itu.”
Airin menarik-narik lengan baju Rara sambil merengek-rengek dan menujuk-nunjuk boneka bunny rabbit.
Rara yang di tarik-tarik seperti itu terasa udah punya anak saja, sedangkan Tika sama Hana juga ikut-ikutan seperti itu, Sehingga Rara sudah seperti punya tiga anak yang Bapak nya tidak tau siapa, kalau seandainya bapaknya Chanyeol exo Rara akan mengakui dengan senang hati kalau mereka bertiga anakanya.
“Oke mari kesana, tapi pakai uang kalian semua biar gue yang main permainan nya semua.”
Inilah alasan mereka bermanja-manja sama Rara karena mereka tau si Rara Ratu dari segalah game.
“Ini uang gue, gue mau Boneka Teddy Bear di sana.” Tika langsung menunjuk-nunjuk kearah boneka teddy bear berwara coklat susu yabg ukurannya sama besar sama dia
“Dan gue Boneka Sapi yang di sana sambil menarik-narik tangan Rara.” Hana gak kalah antusias dari Tika,
“Eee eneng semua gue duluan yang mintak sama Unnie kita lo, ya gue dulu lah. Budayakan hidup antri neng-neng …” Airin tidak mau kalah dengan kedua temannya tersebut
Sedangkan Rara yang merasa di rebutkan hanya diam-diam ajah toh ia gak keberatan hadiah-hadiah untuk mereka karena di rumahnya udah tidak ada tempat buat hadiah tersebut.
“gini aja, kita suid saja, jadi dengan itu kita urutkan siapa dulu yang di dulukan oleh Rara”. Usulan Hana
“Setujuh”.
Jawab mereka berdua, akhirnya di dapat urutanya Hana, Tika dan aira terakhir.
Dengan hasil tersebut Hana berseru bahagiah sambil joget-joget di depan Tika dan Airin
Setelah persaingan yang sengit Rara langsung melaju ke tempat boneka yang di inginkan Hana, di lanjutkan ke arah boneka yang di inginkan Tika dan terakhir Airin. Dari ketiga nya Rara berhasil mendapatkan yang di inginkan oleh anak-anaknya .. upps salah sahabat-sabatnya itu, si Rara udah seperti emak-emak ajah terkadangpun ia mirip kakak bagi mereka. Hal itu yang membuat sahabatnya menyanyangi Rara itu lah pesona dari seorang Rara yaitu “the power of emak-emak”. Ya….. gimana nggak, saat mereka sakit yang ribet duluan pasti Rara, kalau ada masalah yang ada pasti Rara, apalagi soal kedewasaannya itu.
Setelah cukup lelah bermain-main mereka ingin mencari tempat makan untuk mengisi perut mereka karena cacing perut mereka udah melakukan aksi demo untuk makan, Rara di suruh menunggu saja di taman oleh mereka bertigaa karena Rara sudah cukup lelah.
Sepanjang perjalanan mereka selalu bercanda dan tertawa, namun tiba-tiba Airin merasakan hal yang sama ketika mereka memutuskan ingin pergi dengan sahabat-sahabatnya ini. Karena Airin tidak berhati-hati dan melamun ia hampir di tabrak mobil namun hal itu hambir saja terjadi karena Hana melihat itu dan mendorong jauh Airin yang mengakibatkan Hana yang tertabrak sedangkan Tika yang melihat itu di seberang jalan tiba-tiba berlari sambil menangis histeris karena tidak menyaka hal terjadi dengan Hana, namun hal yang tak di sangka-sangka terjadi dari arah yang berlawan ada truk yang lagi melaju kencang dan menabrak Tika yang lagi berlari, hal itu mengakibatkan Tika terlembar cukup jauh.
Sedangkan Rara yang lagi duduk nunggu mereka di taman sambil menjagahin boneka-boneka mereka tidak tau apa yang terjadi dengan sahabat-sahabatnya. Hal tersebut membuat orang-orang berlari menuju ke lokasi kejadian dan beberapa mobil anbulans dengan Polisi datang setelahnya.
Rara merasakan sesuatu dalam hatinya dan teringat dengan teman-temannya, Rara menitipkan boneka hasil kemenangannya sama penjaga toko dekat Rara duduk dan berlari menuju kerumunan. Betapa terkejunya Rara dengan yang ia lihat sekarang kedua sahabatnya sudah berlumuran darah dijalanan dan Airin yang menangis dengan kepalanya yang juga mengeluarkan darah karena terbetur. Tiba –tiba hujan turun dengan deras mengambarkan kesedihan dari kejadian ini.
Seperti layaknya petir yang menggelegar, Rara terduduk dengan menangis melihat apa yang ada didepannya. Serasa dia gagal menjaga mereka dan ia menyesal meinyakan ajakan Tika. Tapi apa daya semua telah terjadi penyesalan datangnya terakhir bukan?
***
Saat di Rumah Sakit Rara hanya bisa berdoa agar sahabat-sahabatnya tidak kenapa-kenapa , Rara juga sudah menghubungi orang tua dari sahabatnya itu. Rara juga mencoba menenangkan Airin yang tidak berhenti-henti menangis dan ia tidak mau di obatin sebelum tau kabar dari Tika dan Hana. Hal membuat Rara semakin sedih dan menyesal lebih baik ia juga ikut dengan mereka keTika mereka pergi.
Sudah 5 jam Hana sama Tika di ruang operasi namun belum kunjung selesai, setelah cukup lama penantian dokter yang menngani Tika dan Hana pun keluar.
“Di sini yang mana wali dari saudari Tika?” mendengar nama Tika yang disebut duluandisebutkan, orang tuanya berjalan dengan bergegas kearah dokter.
“Mohon maaf Ibuk Bapak, anak Bapak yang bernama Tika tidak dapat kami tolong, akibat banyak pendarahan…….” sebelum dokter meneruskan penjelasannya mama Tika menangis dengan histeris.
“Tidak mungkin anak kami secepat itu meninggalkan kami, saya tidak percaya sama anda, Dok” Mama Tika tidak terima dengan apa yang ia dengar
“Maaf kan kami Buk, kami sudah berusaha sekuat tenanga”
Mama Tika kembali menangis dengan histeris begitu juga denagan Airin yang merasa bersalah karena kejadian ini terjadi sedangkan Rara memeluk mama Tika untuk menenangkannya.
“Bagaimana anak kami Hana dok?” Tanya ayah Hana
“Anak Bapak sedang mengalami koma, karena tenggorak belakangnya terbentur cukup keras yang mengakibatkan pendarahan di otaknya”
Sama halnya dengan kedua orang tua Tika, Mami dan Papi Hana pun juga menangis dengan histeris. Airin dan Rara hanya dapat terdiam, serasa seperti didalam mimpi. Baru kemarin mereka saling bercanda dan saling olok-mengolokkan, sekarang hanya tingal berdua.
***
Sudah hampir satu bulan dari kejadian tersebut dan Tikapun telah dimakamkan, Hana masih belum juga sadarkan diri dari komanya dan juga luka Airin sudah mulai sebuh. Airin dan Rara rutin mengunjungi Hana selama satu bulan ini, dan selalu bercerita mengenai kejadian yang terjadi di Sekolah, karena mereka pernah mendengar bahwa orang koma itu masih bisa mendengarkan kita. Orang tua Rara maupun Airin tidak diam saja dengan kejadian tersebut.
Walaupun sebenarnya itu adalah ajakan Tika, tetapi mereka tetap merasa bersalah karena anak mereka terlibat dalam kejadian itu. Airin dan Rara pun juga sering datang kerumah Tika sekedar melihat orang tua Rara dan mereka sering meminta maaf, entah itu untuk sekian kalinya. Orang tua Tika selalu memafaatkan mereka, mereka telah memaklumi keinginan anaknya mungkin itu adalah permintaan terakhirnya sebelum pergi.
Begitu juga dengan orang tua Hana, tidak ada satupun penyesalan bagi mereka. Mereka menerimanya dengan lapang dada walaupun mereka berharap anaknya sehat seperti sedia kalah.
Tampa mereka semua sadari, Hana hanya dapat bertahan tidak sampai dua bulan. Saat itu Airin yang menerima telpon dari mami Hana bahwa Hana dilarikan ke ICU dan ia juga langsung menelepon Rara. Airin berlari ke arah rumah sakit dengan tergesa-gesa berharap semuanya baik-baik saja. Secara tiba-tiba Airin berhenti dan menatap langit, langit kembali mengeluarkan airnya cukup deras sangat deras yang membuat Airin menangis cukup keras. Ini bertanda bahwa ini berita buruk. Ternyata apa yang dipikirkan Airin benar, sebelum ia sampai dirumah sakit Hana dinyatakan meninggal karena pendarahan diotaknya semakin parah.
***
Seolah-olah menjadi pertanda bagi Airin dan Rara, jikalau hujan datang hal yang buruk akan segera terjadi atau hal yang membuat mereka sangat sedih. Sama halnya dengan pemakaman Hana saat ini, hujan turun sangat deras seperti ikut larut dalam kesedihan ini. semuanya yang datang pasti akan pergi entah itu kapan. Rara dan Airin hanya dapat terdiam melihat proses pemakaman Hana, mereka larut dalam pemikiran sendiri-sendiri.
Dan perpisahan yang sebenarnya telah datang, tidak menunggu waktu lama Airin terpaksa pindah setelah ujian sekolah berakhir dan meninggalkan Rara di kota ini. Rara hanya dapat tersenyum mendengar kabar itu, ia menganggap semua ini takdir, takdir harus kehilangan mereka bertiga. Walaupun Airin berjanji akan balik lagi ke kota ini, Rara merasa sangat sedih belum cukup lama Tika dan Hana pergi sekarang Airin ikut pergi.
***
Beberapa tahun kemudian
Airin berdiri didepan gedung perpustakaan milik Rara, ia memandingi gedung itu sambil tersenyum. Airin merasa sangat rindu dengan Rara, sudah bertahun tahun mereka tidak pernah bertemu lagi dan akhirnya sekarang Airin kembali ke Kota ini. Kota yang dulu pernah menjadi tempat kebahagiaannya dan sekaligus menjadi tempat terpahit dalam hidupnya.
Dengan semyum yang semakin melebar Airin menatatp Rara yang berlari dari arah dalam gedung. Mereka saling berpelukan melepaskan kerinduan mereka. Tanpa disadari Rara menangis terseduh-seduh saat memeluk Airin.
Tepat sekarang hari peringatan meninggalnya dua orang sahabat mereka yang ke enam tahun. Tak terasa lima kali Airin tak pernah mengunjungi pemakaman mereka dan membiarkan Rara pergi dengan sendiri kesana. Bukan karena Airin membeci atau takut untuk ikut, tapi Airin harus ikut dengan keluarganya yang pindah kerja. Airin menyelesaikan kuliahnya disana dan menemukan pekerjaan yang diinginkannya dari dulu, ia tetap saling berkomunikasi dengan Rara walaupun tidak sering. Mereka sibuk dengan kehidupan mereka berdua.
Airin tak menyangkan kalau jam peringatan untuk sahabatnya sama dengan Rara yaitu jam 1 malam dan alas an mereka juga sama. Alasannya walaupun mereka tidak bersama, tidak lagi dialam yang sama, dan tidak lagi mengetahui kabar masing-masing, mereka tetap 1 dan tetap bersama maka dari itu mereka memilih angka 1.
“Ra, beli bunga nggak?”
“Beli, bunga yang mereka sukai ada kok di Toko.”
Sesampainya mereka dipemakaman Airin maupun Rara hanya terdiam dalam pemikiran masing-masing. Pemakaman Tika dan Hana tidak dekat melainkan sangat jauh, mereka memutuskan datang kepemakan Hana dan setelah itu Tika.
Tiba saatnya Airin untuk menangis, dia menangis tanpa henti. Penyesalan itu datang lagi seperti sebuah film yang ditayangkan didepannya. Rara hanya dapat memeluk Airin, ia tahu gimana perasaan Airin sekarang. Perasaat itu yang pernah dirasakan Rara dahulu saat pertama kali datang kesini sendirian. (*)
Tentang Penulis
Fauzia Alvino dikenal juga dengan nama pena Jungjien2808. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa semester akhir jurusan Tadris Fisika. Hobi menulis berawal dari suka membaca novel, dari hobi inilah ia tertarik untuk menulis. Pertama kali ia membuat cerpen pada GC Kosalama (komunitas aksara dalam rasa) dalam kesempatan itu ia mendapatkan juara 1, dari kesempatan itu memacunya untuk mengikuti berbagai macam penulisan.
Membangun Dunia Fiksi dalam Cerpen Hujan
Oleh: M. Adioska
Peristiwa tragis yang baik seharusnya memiliki foreshadowing yang lebih kuat agar dampaknya lebih mendalam bagi pembaca (Nurgiyantoro, 2018)
Dalam menciptakan dunia fiksi, penulis berperan layaknya arsitek yang membangun realitas baru dengan aturan, logika, dan jalan cerita yang unik. Dunia fiksi harus terasa masuk akal agar pembaca bisa terhanyut dalam ceritanya. Salah satu hal penting yang diatur oleh penulis adalah latar, yaitu tempat, waktu, dan suasana yang menjadi panggung utama bagi kisah yang diceritakan. Latar bukan sekadar dekorasi, tapi juga bisa mendukung tema dan perkembangan karakter. Selain itu, ada juga tokoh-tokoh dalam cerita yang dirancang dengan kepribadian, latar belakang, dan konflik yang membuat pembaca ikut merasa terhubung dengan mereka.
Kemudian, ada alur, yang menjadi rangkaian peristiwa dalam cerita. Penulis harus menyusun alur dengan baik, dari awal hingga akhir, agar cerita mengalir dengan logis dan tetap seru diikuti. Alur yang menarik akan membuat dunia fiksi terasa lebih hidup dan dinamis. Tak hanya itu, penulis juga sering memakai simbol untuk memperkaya makna cerita. Misalnya, dalam cerpen “Hujan”, hujan bukan sekadar fenomena alam, tapi juga melambangkan kesedihan, kenangan, dan kehilangan.
Dengan merancang semua elemen ini secara cermat, penulis bisa menghadirkan dunia fiksi yang terasa nyata dan emosional bagi pembaca. Aturan dan logika yang jelas dalam cerita membuat dunia yang diciptakan tetap konsisten dan menarik, sehingga pembaca bisa benar-benar larut dalam kisah yang disampaikan.
Pada edisi kali ini, Kreatika kembali mengulas sebuah cerpen, dengan judul Hujan karya Fauzia Alfino. Dari segi judul, kata yang digunakan pengarang sebagai tajuk karyanya ini sudah bersifat umum. Banyak penulis cerpen atau novel sebelumnya yang mengutil hujan sebagai judul karangannya, baik berbentuk kata maupun frase.
Diantaranya cerpen Hujan oleh Sutarji Calzoum Bachri (2001), novel “Hujan” oleh Tere Liye (2016), novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono serta banyak cerita lainnya baik dari pengarang yang sudah ternama ataupun pengarang yang masih dalam proses pencarian jati diri dalam kepenulisannya. Hal ini tentu memberikan tantangan tersendiri bagi penulis, sebab dengan menggunakan judul yang sama, penulis diharapkan mampu memberikan alternatif pilihan, sudut pandang lain, atau sesuatu yang berbeda dari pengarang sebelumnya akan makna hujan itu sendiri.
Secara singkat, cerita Hujan karya Fauzia Alfino ini mengisahkan persahabatan empat cewek—Airin, Rara, Hana, dan Tika—yang selalu dipenuhi canda tawa dan kebersamaan. Mereka tak terpisahkan, selalu ada satu sama lain dalam suka maupun duka. Tapi, hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Semua berubah ketika musibah datang menghampiri.
Di suatu hari yang harusnya jadi momen seru di taman kota, takdir justru memberikan kejutan pahit. Keceriaan mereka seketika lenyap setelah sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa Tika dan membuat Hana terbaring koma. Rara dan Airin, yang masih bertahan, harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan sahabat yang begitu mereka sayangi.
Waktu terus berjalan, tapi luka itu masih membekas. Hingga akhirnya, Hana pun menyusul Tika. Airin yang tidak sanggup menahan kesedihan dan harus ikut orangtua yang pindah tugas, memilih pergi meninggalkan kota penuh kenangan itu, meninggalkan Rara seorang diri. Bertahun-tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan. Di hari peringatan enam tahun kepergian sahabat mereka, Airin dan Rara bersama-sama mengenang kisah lama yang penuh haru.
Melalui cerita ini, kita diajak memahami betapa berharganya sebuah persahabatan dan bagaimana kehilangan bisa meninggalkan luka yang dalam. Hujan yang selalu hadir di momen-momen penting seolah menjadi saksi bisu perjalanan mereka, menghadirkan suasana sendu yang begitu mengena di hati.
Cerpen ini memiliki daya tarik tersendiri dalam menyampaikan emosi dan menggambarkan persahabatan yang erat di antara para tokohnya. Sejak awal, cerita ini sudah mampu membangun suasana yang melankolis, memperkenalkan pembaca pada hubungan erat antara karakter utama. Persahabatan yang mereka jalin terasa begitu kuat, sehingga ketika konflik kehilangan muncul, dampaknya benar-benar terasa. Penulis dengan cerdas menggambarkan bagaimana kehilangan seorang sahabat bisa begitu menghancurkan, terutama ketika kejadian itu datang secara tiba-tiba.
Salah satu teknik yang membuat cerita ini semakin menyentuh adalah penggunaan flashback. Dengan cara ini, pembaca tidak hanya disuguhi narasi tentang peristiwa tragis yang terjadi, tetapi juga diberikan kesempatan untuk memahami bagaimana kehidupan para tokoh sebelum tragedi tersebut. Melalui kilas balik, kita bisa melihat kebahagiaan dan dinamika persahabatan mereka, yang kemudian membuat kehilangan itu terasa lebih menyakitkan.
Tak hanya itu, karakterisasi dalam cerpen ini juga menjadi salah satu kekuatannya. Setiap tokoh memiliki kepribadian yang unik, yang membuat interaksi mereka terasa alami dan realistis. Misalnya, Rara digambarkan sebagai sosok yang ceria dan penuh semangat, sementara Airin lebih kalem dan cenderung berpikir sebelum bertindak. Hana dan Tika, sebagai bagian dari kelompok mereka, memiliki kepribadian yang melengkapi keseimbangan dalam hubungan pertemanan mereka. Perbedaan karakter ini justru membuat persahabatan mereka terasa lebih hidup, seperti dalam kehidupan nyata, di mana setiap orang memiliki peran tersendiri dalam lingkaran pertemanannya.
Namun, meskipun memiliki banyak keunggulan, cerpen ini juga memiliki beberapa ketimpangan yang bisa diperbaiki penulisnya untuk masa yang akan datang. Salah satu yang cukup mencolok adalah kesalahan tata bahasa dan ejaan. Misalnya, penggunaan kata “Gua” dalam dialog terasa kurang konsisten dengan gaya naratif yang seharusnya lebih baku. Hal ini bisa mengganggu kenyamanan membaca, karena perbedaan gaya bahasa yang tidak konsisten bisa membuat cerita terasa kurang rapi.
Penggunaan istilah “Gua” pada awal cerita juga memunculkan kerancuan bagi pembaca. Para pembaca bisa saja salah menilai apakah “Gua” (istilah lain untuk gue) adalah kata ganti yang digunakan sebagai pronomina persona pertama tunggal yang setara dengan “saya” atau “aku” atau mengacu pada nama tokoh dalam cerita. Jika dimaksudkan untuk pronomina persona pertama tunggal maka penulisannya seharusnya tidak menggunakan huruf kapital di awal kata.
Pun, jika memang dimaksudkan untuk kata ganti orang pertama tunggal maka terjadi inkonsistensi sudut pandang dalam cerpen ini. Dimana pada awal cerita menggunakan sudut pandang orang pertama, sementara pada pertengahan hingga akhir cerita menggunakan sudut pandang orang ketiga yang dibuktikan dengan kata ganti mereka; “Setiba mereka di taman kota meraka menghabiskan waktu berkeliing-berkeliling…”
Selanjutnya, pemilihan hujan sebagai simbol juga sangat menarik. Hujan tidak hanya digunakan sebagai latar suasana, tetapi juga memiliki makna yang lebih dalam. Dalam banyak karya sastra, hujan sering dikaitkan dengan kesedihan, kehilangan, atau nostalgia, dan dalam cerpen ini, hujan berfungsi sebagai representasi dari duka yang dirasakan oleh tokoh utama. Setiap kali hujan turun, itu seperti menghidupkan kembali kenangan akan mereka yang telah tiada, mengingatkan bahwa kehilangan bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah dilupakan. Oleh karena itu, makna hujan dalam cerpen ini masih mencerminkan makna kebanyakan.
Selain itu, alur cerita dalam cerpen ini terasa terlalu cepat, terutama menjelang bagian kecelakaan. Peristiwa tragis yang dialami Hana dan Tika terjadi begitu mendadak, tanpa adanya buildup ketegangan yang cukup. Dalam cerita-cerita tragedi yang kuat, biasanya ada tanda-tanda atau foreshadowing yang lebih jelas untuk memperkuat dampaknya bagi pembaca.
Jika tragedi datang terlalu tiba-tiba, tanpa peringatan atau pembangunan suasana yang cukup, pembaca bisa kehilangan momen emosional yang seharusnya lebih mendalam. Menurut Nurgiyantoro (2018) dalam Teori Pengkajian Fiksi, peristiwa tragis yang baik seharusnya memiliki foreshadowing yang lebih kuat agar dampaknya lebih mendalam bagi pembaca.
Hal ini juga terlihat pada judul Hujan serta penggambarannya. Dalam cerpen ini, hujan tidak banyak dinarasikan. Peristiwa turunnya hujan digambarkan secara tiba-tiba tanpa ada pertanda yang disampaikan sebelumnya oleh pengarang, seperti awan yang menghitam, angin lembab yang bertiup, atau suasana lain yang menggambarkan tanda-tanda akan turunnya hujan;
“Betapa terkejunya Rara dengan yang ia lihat sekarang kedua sahabatnya sudah berlumuran darah dijalanan dan Airin yang menangis dengan kepalanya yang juga mengeluarkan darah karena terbetur. Tiba –tiba hujan turun dengan deras mengambarkan kesedihan dari kejadian ini.”
Hingga sampai pada akhir cerita ini, hujan tidak dibahas banyak.
Begitu juga halnya dengan transisi suasana dari ceria ke tragedi. Sebelum kecelakaan, para tokoh diceritakan sedang bercanda dan menikmati kebersamaan mereka, namun peralihan ke kejadian tragis terasa begitu mendadak. Tidak hanya itu, diakhir cerita ternyata juga dituliskan bahwa Rara memiliki sebuah gedung perpustakaan sendiri. Dan, tiba-tiba saja, Ting! Airin berdiri didepan gedung perpustakaan milik Rara. Meskipun pada awal diceritakan bahwa Airin berdiri di lantai dua sebuah perpustakaan, tetapi disana tidak disampaikan perihal perpustakaan tersebut.
Dalam teori fiksi, perubahan suasana yang baik seharusnya dilakukan secara bertahap, sehingga pembaca dapat benar-benar merasakan perubahan emosi yang dialami tokoh. Jika transisi ini terlalu drastis, pembaca bisa kehilangan keterikatan emosional dengan cerita, karena perubahan suasananya terasa kurang natural.
Secara keseluruhan, cerpen Hujan adalah sebuah kisah yang menyentuh, dengan tema persahabatan dan kehilangan. Karakterisasi yang kuat membuat interaksi antar tokoh terasa hidup. Meski masih ada beberapa kekurangan dalam aspek alur, transisi suasana, dan tata bahasa yang -sayangnya- cukup mengganggu pengalaman pembaca saat menikmatinya.
Jika alur dan beberapa elemen dalam cerpen ini disempurnakan, maka sebuah dunia fiksi akan terbentuk dengan apik. Karena bagaimanapun, penulis memang berperan layaknya arsitek yang membangun realitas baru dengan aturan, logika, dan jalan cerita yang unik. Dunia fiksi harus terasa masuk akal agar pembaca bisa terhanyut dalam ceritanya. (*)
Tentang Kreatika

Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerjasama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.