Oleh: Bara Redinata
(Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
“Ketika jurnalisme dibungkam maka sastra harus bicara” (Seno Gumira Ajidarma)
Sebelum teknologi dan arus informasi berkembang sangat pesat seperti saat ini, masyarakat Indonesia terlebih dahulu mengenal media cetak: koran dan majalah sebagai media utama untuk memperoleh sumber informasi. Pada zamannya, koran dan majalah sudah seperti barang kebutuhan dasar yang digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh berita dan informasi yang aktual dan kredibel.
Andrian D. Hagijanto dalam Jurnal White Space dalam Iklan Dimedia Cetak (1999) menjelaskan bahwa media cetak adalah media yang bersifat statis yang mengutamakan pesan visual. Media ini memuat sejumlah kata, gambar atau foto dalam tata warna serta halaman putih. Salah satu dari media cetak ini berupa koran, yakni sebuah media cetak ringan yang berisi berita-berita terkini serta berbagai topik mulai dari olahraga hingga opini dari berbagai orang dan latar belakang orang tersebut.
Seiring dengan perkembangannya, koran di Indonesia tidak hanya sebatas menyajikan berita-berita terkini maupun topik olahraga dan opini saja seperti yang diungkapkan oleh Andrian D. Hagijanto. Koran-koran di Indonesia kemudian mulai menyediakan rubrik khusus bagi para sastrawan yang ingin memuat karyanya ke dalam koran. Ruang khusus sastrawan tersebut kemudian akrab kita kenal dengan “rubrik sastra” yang umumnya terbit di setiap akhir pekan. Kehadiran rubrik sastra tersebut ditujukan untuk memberikan ruang istirahat sejenak pada pembaca setelah seminggu dijejali berita berat. Seiring waktu, karya-karya sastra yang terbit di koran dikenal dengan istilah “sastra koran.”
Sastra Koran dan Sejarah Awal Kemunculannya
Menurut Yakob Sumarjo dan Saini dalam buku Apresiasi Kesusastraan mengartikan sastra sebagai sebuah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sementara koran, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai lembaran kertas bertuliskan kabar berita dan sebagainya, terbagi dalam kolom-kolom yang terbit setiap hari atau secara periodik. Secara umum sastra koran dapat diartikan sebagai sebuah kumpulan karya sastra yang diterbitkan di sebuah media harian. Namun perlu digarisbawahi bahwa sastra koran hanyalah metode penerbitan karya sastra bukan menempatkannya sebagai suatu genre baru di dalam sastra, layaknya “Novel Teenlit” dan “Novel Filsafat.”
Pada awal mulanya, perkembangan era kesusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari peranan koran atau surat kabar. Surat kabar mulai menunjukkan peranannya dalam menopang kehidupan sastra dengan banyak melahirkan penulis-penulis novel dari kalangan wartawan. Sebut saja seperti Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Taufik Ikram Jamil, Nurzain Hae, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, dan Fakhrunnas MA Jabbar. Berkat karya-karya korannya, nama mereka pun menjulang tinggi cakrawala.
Menurut penuturan dari Putu Fajar Arcana selaku Redaktur Kompas yang juga merupakan seorang sastrawan dalam suatu kesempatan pernah menuturkan, bahwa awal mula dari sejarah kebangkitan sastra koran telah dimulai dari sejak masa kolonial Belanda. Ketika abad ke-19, pemerintah Hindia-Belanda pada masa itu mulai memberikan izin bagi setiap warga untuk mendirikan media massa, lalu atas adanya kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut maka mulai muncullah aneka macam koran dengan konten berita dan belum memuat karya sastra di Semarang dan Surabaya. Selepas hengkangnya Belanda dari Indonesia pada sejak saat itu karya sastra mulai menjadi bagian dalam sebuah terbitan media massa. Gaya penulisan karya sastra yang ringan, renyah, dan menghibur, menurut Putu berhasil mendapatkan jatah untuk terbit di media dan dibaca oleh para pembaca.
Sastra Koran Hanya Ada di Indonesia
Puisi, cerita pendek (cerpen), cerita gambar (cergam), khazanah budaya, maupun cerita bersambung (cerbung) sendiri merupakan bentuk karya sastra yang mungkin sudah akrab menghiasi laman rubrik koran-koran yang ada di Indonesia setiap akhir pekan. Rubrik khusus sastra yang hanya muncul sekali dalam seminggu ini pada awalnya memang sengaja dihadirkan selain sebagai wadah bagi para sastrawan untuk menuangkan tulisannya juga sebagai ruang istirahat yang disediakan oleh redaksi koran kepada pembaca agar pembaca tidak jenuh membaca berita-berita berat selama satu minggu penuh. Uniknya hubungan simbiosis mutualisme antara sastra dengan koran tersebut ternyata hanya ditemukan di Indonesia saja.
Menurut Katrin Bandel, seorang pengamat sastra Indonesia dari Universitas Hamburg mengungkapkan bahwa dirinya sempat merasa terheran-heran, dalam sebuah esainya yang berjudul Sastra Koran di Indonesia, Katrin mengatakan bahwa fungsi halaman sastra di Indonesia dinilai terlalu berlebihan karena menyeleweng dari peran koran pada umumnya sebagai media informasi. Hal ini juga diakui langsung oleh Redaktur Kompas, Putu Fajar Arcana, menurutnya hubungan antara sastra dan koran hanya dapat ditemukan di Indonesia, fenomena sastra koran jarang terjadi di negara luar, sebab koran-koran luar kebanyakan hanya menerbitkan berita dan tidak memuat karya fiksi atau karya ilmiah di dalamnya.
Fenomena sastra di dalam koran ini selanjutnya justru menimbulkan kontroversi dan perdebatan dari beberapa pihak, sebagian sastrawan menginginkan koran tidak seharusnya menjadi medium untuk menuliskan karya sastra. Mereka yang kontra berspekulasi bahwa karya sastra membutuhkan tempatnya tersendiri, dengan begitu maka sudah seharusnya karya sastra hanya dapat dimuat ke dalam tempat khusus, dan tentu tempat khusus yang dimaksud bukanlah media cetak seperti koran. Sementara itu, mereka yang pro dengan sastra koran mengungkapkan bahwa sastra koran punya hubungan mutualisme antar keduanya. Sastra koran terbukti berhasil menelurkan para sastrawan berbakat yang karya-karya sastranya dikenal melalui koran, seperti Seno Gumira Ajidarma. Tidak hanya itu, belakangan media cetak seperti koran dan majalah menjadi tempat pertarungan bebas bagi para sastrawan di berbagai penjuru negeri untuk menunjukkan kehebatannya dalam menghasilkan karya sastra yang epik.
Di tengah perdebatan dan kontroversi yang terjadi, para penulis karya sastra sebenarnya kini mulai berlomba-lomba agar tulisannya dimuat ke dalam koran dan majalah. Tidak hanya itu, media cetak juga pernah menjadi alat tolak ukur kehebatan seorang penulis dalam menghasilkan tulisan yang epik. Para penulis kemudian mulai menjadikan media-media besar seperti Tempo sebagai tujuan utama bagi media tulisan-tulisan mereka bersarang. Tempo dan majalah Horison bahkan pernah menjadi acuan pada masanya, yang mana penulis-penulis yang tulisannya berhasil terbit di media besar seperti Tempo dan Horison akan diakui sebagai seorang penulis hebat karena berhasil menembus proses seleksi dapur redaksi yang super ketat, sementara bagi penulis yang karyanya belum pernah dimuat di media-media besar hanya akan dianggap sebagai seorang penulis kacangan (amatir).
Eksistensi Sastra Koran Pada Masa Kini
Dewasa ini, saat arus informasi mengalir dengan begitu derasnya dan berita-berita aktual bisa di dapat hanya dari genggaman tangan, media masa seperti koran pun kini sudah mulai kehilangan pangsa pasarnya dan sudah mulai ditinggalkan. Kecanggihan teknologi kini membuat berita dan informasi jadi bisa diakses dari mana saja dalam durasi waktu yang tidak lama setelah sebuah peristiwa atau kejadian baru tengah terjadi. Atas alasan tersebutlah kemudian media cetak seperti koran dan majalah sudah mulai ditinggalkan oleh pembacanya. Kurangnya minat membaca koran seiring dengan berkembangnya kecanggihan teknologi membuat media-media kini mulai bertukar otak dengan melahirkan media online dan koran dalam bentuk digital yang bisa diakses dengan memanfaatkan gawai.
Koran digital tersebut kini menjadi media pilihan utama masyarakat dalam mengakses informasi. Menurut data dari Survei Nielsen Consumer & Media View (2017), pengunaan koran berbasis digital meningkat hingga 6 juta pembaca sejak tahun 2013. Angka tersebut juga didominasi oleh generasi Z yang menggunakan internet sebagai sumber informasi. Meskipun pengguna koran berbasis digital mengalami peningkatan jumlah pembaca dan koran tradisional mulai ditinggalkan, sejatinya koran masih tetap terus diproduksi dan diperjualbelikan sampai detik ini. Koran masih tetap punya penikmatnya sendiri yang didominasi oleh para orang-orang yang sudah berumur.
Kini, koran memang tidak lagi eksis seperti pada zaman kejayaannya dahulu, namun isi rubrik di dalam koran tidak mengalami banyak perubahan yang signifikan. Begitu pun dengan rubrik khusus sastra yang masih tetap konsisten memuat karya sastra setiap akhir pekan. Menurut Ahmadun Yosi melalui esainya yang berjudul Evolusi, Genre, dan Realitas Sastra Koran menyampaikan bahwa perjalanan sastra koran mencapai puncak pada dekade 70-an dan 80-an. Di mana beberapa media seperti Kompas, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, Berita Buana, dan Suara Karya menyajikan rubrikasi sastra di dalam lembar-lembar halamannya.