Cerpen: Armini Arbain
Senja turun dengan cepat dan azan magrib pun berkumandang dengan merdunya. Seperti biasa aku bergegas mengambil Alquran, sarung dan kopiah hitamku. Sembari memakai kopiah aku berlari ke samping rumah dan berteriak memanggil Amri, teman mengajiku, untuk segera ke masjid. Tidak ada sahutan dari rumahnya, itu artinya Amri telah duluan pergi ke masjid.
Aku berlari menuju masjid sambil membantin,
“Kok Amri tidak memanggilku untuk berangkat bersama, ada apa ya? mungkin Amri belum menghafal bacaannya dan ingin menghafal di masjid sebelum salat magrib”. Menghafal Al – Quran di masjid sebelum magrib memang sering kami lakukan karena bagi mereka yang tidak hafal bacaannya, harus merelakan telapak tangannya merasakan lecutan rotan Inyiak Pakiah.
Kami belajar Al- Quran di beranda masjid Jamiak. Guru kami adalah Inyiak Pakiah. Dalam belajar membaca Al- Quran bersama Inyiak Pakiah, kami harus menghafal dan membaca dengan lancar hafalan kami. Kami sangat takut pergi mengaji kalau hafalan kami belum lancar. Bagi yang hafalannya belum lancar hafalannya, tidak akan berani maju untuk membaca hafalannya karena rotan inyiak Pakiah akan menggelegar di telapak tangan. Jumlah lecutan akan sama dengan jumlah kesalahan, baik kesalahan tajwid maupun kesalahan makhrajnya. Tentu saja banyak anak perempuan yang menangis tapi suaranya terpaksa ditelan saja. Sementara itu, anak laki-laki akan terhuyung-huyung karena kerasnya lecutan rotan guru kami. Untuk menangis, tentu kami malu karena kalau anak laki-laki yang menangis, mereka akan dicap cengeng dan gelar cengeng itu akan melekat lama pada nama orangnya. Sampai kini masih ada teman kami yang dipanggil “sicengeng”.
Dulu, orang kampung kami selalu mengatakan bahwa karena lecutan guru mengaji itulah yang membuat murid menjadi pintar mengaji. Sudah jamak, ketika orang tua mengantarkan anaknya masuk mengaji, mereka akan mengatakan atau berpesan pada Inyiak Pakiah untuk melecut anaknya jika malas dan tidak bisa mengaji. Bagi kami para santri hal ini tentu sangat menakutkan. Apa lagi rotan yang digunakan inyiak Pakiah untuk melecut kami cukup besar, apa lagi untuk kami yang masih berusia sepuluh atau sebelas tahun.
Hal lain yang sudah menjadi konsensus tak tertulis adalah jika seseorang kena lecut oleh Inyiak Pakiah jangan sampai mengadukan kepada orang tua di rumah. Jika ada yang mengadu pada orang tuanya, bukan simpati yang didapat tapi lecutan dengan ikat pinggang bapak yang akan dirasakan. Hal ini lebih menyakitkan karena lecutan itu disertai omelan Bapak. Sampai awal 70-an, kebiasaan itu masih berlaku di kampung kami.
Kami mengaji dengan cara duduk di lantai papan yang dialas dengan tikar pandan. Di depan kami ada meja atau rehal untuk meletakkan Al Quran yang di susun secara melingkar. Guru kami, Inyiak Pakiah akan duduk di tengah-tengah dengan mengunakan korsi dan di depannya ada sebuah meja kecil. Setiap anak akan berurutan maju ke meja guru membacakan hapalannya. Inyiak Pakiah mendengarkan hapalan kami dengan mata terpejam. Walaupun seperti orang mengantuk, namun ketika kami salah membaca. Beliau akan langsung mengetahui kesalahan bacaan kami dan akan menghardik dan kemudian membetulkan. Jika sudah tiga kali membetulkan bacaan kami dan masih didengarnya kesalahan bacaan, ia akan mengangkat rotannya dan secepat kilat rotan itu akan menggelegar di tangan santri. Banyak santri yang kapok dan mogok untuk tidak pergi mengaji, namun tentu saja orang tua kami tidak membolehkan kami berhenti pergi mengaji.
Sampai di mesjid aku ikut salat magrib berjemaah. Setelah itu, aku masuk ke tempat mengaji yang terletak di beranda masjid. Aku edarkan pandangan ke seluruh ruangan, namun aku tidak melihat Amri. Hatiku mulai bertanya-tanya, kemana Amri. Walaupun ingatanku masih pada Amri, aku berusaha untuk membaca hafalanku agar tidak salah. Setelah selesai menyetor bacaanku pada Inyiak Pakiah, aku duduk kembali dan pikiranku tetap pada Amri
Biasanya, setelah menyetor bacaan, kami akan kembali membaca bacaan untuk esok harinya. Surat atau ayat yang kami baca bervariasi dan cara membacanya juga tidak seirama sehingga suaranya terdengar sangat riyuh. Semakin banyak yang membaca tentu suaranya makin riyuh sehingga tak terdengar lagi kalau ada santri yang bercanda atau berkelahi. Bercanda dan berkelahi sambil mata melihat Al Quran adalah hal sangat menyenangkan.
Selesai menyetor hapalan, bagi kami anak laki-laki. Ada suatu kegiatan yang paling menarik. Sambil mulutnya membaca Al Quran, tapi matanya melirik anak perempuan bahkan menggodanya. Ada kenikmatan sendiri jika anak perempuan marah dan mengerutu. Ketika Inyiak Pakiah mulai curiga melihat kelakuan kami dan pandangannya mengitari kami, semuanya tunduk membaca Alqur’an seolah kami sedang membaca Alqur’an dengan serius.
Malam itu kami mengaji sampai pukul sembilan malam, setelah semuanya selesai menyetor hapalan. Biasanya, kalau kami cepat selesai menyetor hapalan, Inyiak Pakiah akan mendongeng. Guru kami ini sangat pandai bercerita sehingga kami tidak mengantuk. Biasanya melaui cerita itulah Beliau menyelipkan pendidikan akhlak. Inyiak sangat pandai bercerita. Gaya dan suaranya akan berubah-ubah tergantung tokoh yang diperankannya sehingga kami sangat terkesima dengan ceritanya.
Ketika mendengar dongeng Inyiak Pakiah yang lucu kami akan tertawa-tawa dan Inyiak Pakiah juga membiarkan kami tertawa sepuasnya. Namun ketika mendengar cerita yang seram dan menakutkan kami merinding, apa lagi kalau cerita hantu. Biasanya, sesudah mendengar cerita hantu kami akan pulang bergerombolan karena takut bertemu hantu. Bahkan sering kami minta diantar Inyiak Pakiah dan Beliau pun bersedia. Inyiak mengantar kami dengan menggunakan patromak sehingga jalan menjadi terang. Sampai di gerbang rumah masing-masing, setiap santri berteriak memanggil orang tua mereka masing-masing. Kalau sudah ada yang membukakan pintu, barulah Inyiak Pakiah beranjak mengantarkan santri yang lain.
Namun, kali ini karena ada beberapa santri senior yang akan ikut khatam Al Quran, Inyiak harus memberikan perhatian lebih padanya sehingga malam ini Inyiak tidak mendongeng dan kamipun pulang. Aku pulang bersama Edi dan Eri. Sampai di depan rumahku, Mak Luni, orang tua Amri sudah berdiri bersama ibuku. Melihat Mak Luni aku langsung menanyakan Amri yang tidak ikut mengaji malam itu.
‘ Mak Luni, kok Amri tidak ikut mengaji? Kemana dia?”
“Hah, tidak ikut mengaji? Tanya mak Luni dengan terkejut. Tadi sebelum magrib, Ia minta uang untuk jajan. Karena Mak tak memberi yang ia minta, ia menangis. Namun Mak biarkan ia menangis dan mak pergi ke tabek untuk berwuduk. Ternyata ia tidak pergi mengaji? Kemana dia, tolong kalian cari, pinta Mak Luni dengan perasaan khawatir.
Mendengar hal demikian, aku terkejut dan langsung berteriak memanggil teman yang lain untuk mencari Amri. Saat itu udara mendung dan sangat gelap. Untung Mak Luni membawa pusuang dan kami juga membawa senter. Ketika itu kampung kami belum dialiri listrik sehingga setiap anak pergi mengaji dbekali senter kecil.
Mak Luni mencari Amri ke rumah saudaranya dan juga kerumah teman-teman Amri yang lain. Namun semua yang ditanya tidak ada yang tahu keberadaan Amri. Aku memberi tahu Inyiak Pakiah atas hilangnya Amri dan menceritakan kronologi hllangnya Amri. Begitu Inyiak Pakiah mendengar kalau Amri menagis minta uang menjelang magrib, Inyiak Pakiah mengatakan kalau Amri mungkin dibawa makhluk halus. Orang kampung kami menyebutnya dengan “Antu Aru-aru.” Semua yang mendengar kaget dan secara serentak bertakbir dan seraya memanggil nama Amri dengan keras.
Ramainya suara kami mencari Amri dan teriakan tangis mak Luni yang histeris membuat seisi kampung tumpah ruah keluar malam itu. Kata orang tua-tua, kalau ada anak yang dilarikan Antu Aru-aru, kita harus mencarinya dengan membawa niru atau tampian dan kemudian memukul-mukulnya dengan menyebut anak yang hilang.
Malam itu sangatlah ramai kampung kami. Inyiak pakiah langsung membawa patromaknya untuk mencari Amri. Para lelaki dewasa keluar dengan mengunakan obor sehingga suasana menjadi ramai dan terang benderang. Ibu-ibu keluar dengan membawa niru mereka dan menabuhnya sambil meneriakkan nama Amri.
Inyiak Pakiah berkomat-kamit membaca doa untuk menolak bala. Suara pekikkan memanggil nama Amri juga membahana. Berbagai tempat yang dianggap angker di kampung kami telah kami datangi, namun Amri juga tidak ditemukan. Dekat Rumah Amri ada rumah bergonjong yang cukup tinggi gonjongnya. Dulu, pernah juga orang kampung kami hilang, setelah lama dicari, terdengarlah ia sedang menangis di atas gonjong itu. Menurut logika tidak mungkin ia bisa naik ke atas gonjong itu namun pada kemyataannya ia bisa sampai di sana. Kata orang, ia dibawa antu aru-aru.
Malam itu kakak laki-laki Amri berusaha memanjat gonjong itu namun Amri tidak ditemukan. Di halaman rumah gadang tangisan Mak Luni dan perempuan yang lain semakin menjadi. Anak-anak juga menangis ketakutan. Setelah beberpa lama mencari Amri, masyarakat mulai kepayahan dan ada yang pergi ke kedai kopi kecil yang hampir tutup. Karena kedai kopi itu sudah mau tutup, para lelaki dewasa meminta pada pemilik kedai itu untuk tidak menutup kedai dan minta menyediakan kopi. Di kedai itu, ramai orang membicarakan tentang makhlus halus yang sering mengganggu manusia, terutama anak kecil yang sering merajuk dan menangis di senja hari menjelang magrib. Konon kabarnya, wujud makhluk halus itu berbeda-beda wujud dan namanya. Di kampung kami ada namanya Urang Bunian, Antu Aru- Aru, Cindaku dengan penampakkan yang berbeda-beda.
Inyiak Pakiah juga merasa kelelahan sehingga iapun ikut pula bergabung ke kedai kopi itu. Ketika ia baru saja masuk ke kedai kopi, ia tertegun. Ada sesuatu yang ia rasakan sehingga ia tidak jadi masuk. Orang yang melihatnya mulai curiga. Masyarakat kampung kami sudah mengetahui kalau Inyiak Pakiah memiliki ilmu kebatinan. Mereka yakin kalau inyiak merasakan sesuatu, mungkin ada petunjuk tentang keberadaan Amri.
Ketika Inyiak Pakiah keluar dari kedai kopi dan berjalan menuju ke belakang kedai, ke dapur kedai kopi yang terletak di belakang kedai itu dan dapur terbuka saja dari samping. Inyiak Pakiah mulai komat- kamit. Semua yang hadir diam dan ketakutan. Suasana hening dan mencekam. Aku dan teman sebayaku merinding ketakutan dan kamipun merapat pada orang dewasa.
Setelah berdoa, Inyiak Pakiah berbicara seperti mengusir roh halus “pai, pai lah waang dari badan paja tu, pai dari siko, pulanglah ka rumah waang” (pergilah, pergilah kamu dari badan anak itu, pergi dari sini. Pulanglah ke rumahmu.). Pengusiran itu dilakukannya sebanyak tiga kali. Tak lama setelah itu, terdengar suara yang sangat halus seperti suara anak kecil menangis. Inyik Pakiah langsung menunjuk ke atas pagu yang ada di dapur kedai kopi itu dan mengatakan kalau Amri terjepit di antara kayu bakar di atas pagu itu. Masyarakat yang melihat tidak percaya ada Amri di atas pagu itu kerena pagu itu penuh dengan kayu. Namun Inyiak Pakiah yakin kalau ada Amri di sana. Inyiak manaikkan patromaknya sehingga dari sela-sela kayu itu terlihat ada tangan yang menggapai-gapai. Suara tangis pun terdengar kian keras sehingga orang yang ada di sekeliling itu percaya kalau Amri terjepit diantara kayu di atas pagu itu. Uda Kulih, kakak Amri yang dari tadi mengikuti Inyiak Pakiah mencari Amri hanya ternganga dan setelah melihat tangan yang menggapai-gapai yakin kalau itu adiknya dan iapun mengeluarkan kayu dari atas pagu dengan hati-hati dan setelah itu Amri yang telah lemas diangkat pelan-pelan.
***
Amri pingsan kemudian di bawa pulang. Sampai di rumah, inyiak pakiah meminta air putih kemudian Beliau komat kamit dan air itu dipercikkan ke wajah Amri. Tak lama, Amri sadar namun ia masih lemah dan wajahnya masih pucat dan terkulai lemah.Sebagai sahabat, aku setiap hari datang menjenguk Amri. Di hari ketiga, setelah kejadian itu, barulah Amri bisa bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya.
Cerita Amri.
Waktu itu aku mau berangkat ke mesjid. Aku minta uang jajan pada makku. Namun makku mengatakan ia tidak punya uang sehingga aku sangat kecewa. Aku kecewa dan menangis dengan pelan. Ketika itulah datang seorang laki-laki yang tampan dan bertanya mengapa aku menangis. Dengan terisak aku menceritakan bahwa aku minta uang pada Mak dan tidak memberiku uang. Aku ingin membeli permen untuk kumakan waktu mengaji nanti. Mendengar keluhanku uda yang tampan itu berjanji akan membelikan aku permen dan mengajakku pergi. Mendengar ia mau membelikan aku permen, aku langsung setuju dan ikut dengan uda itu.
Walaupun senja sudah turun namun cuaca ku lihat masih terang. Sambil bersiul-siul kecil aku berjalan dengan berpegang tangan pada uda yang tampan itu. Aku tidak tahu kemana aku dibawa. Tiba-tiba aku sudah sampai di sebuah pasar malam. Suasana sangat meriah banyak orang dewasa dan anak-anak yang berlarian. Di pasar malam itu, ada berbagai mainan dan aneka makanan yang enak-enak. Aku dibelikan mainan bedil-bedilan yang bagus sekali, tidak lupa dengan permen kesukaanku. Aku sangat senang sekali.
Melihat aku sangat senang, uda tampan itu berjanji akan membawaku pergi jauh, ke tempat yang sangat indah katanya. Aku mengangguk menandakan aku setuju dengan ajakannya. Namun ketika aku akan menikmati permen yang dibelikan uda tampan itu, aku seolah mendengar suara Inyiak Pakiah memanggil –manggil namaku. Suara itu makin keras dan dari jauh kulihat sinar yang tajam menyilaukan mata.Ketika itulah aku ingat Makku.
Begitu aku ingat mak dan sinar yang menyilau mata itu hilang dan tiba-tiba uda tampan itu menarik tangganku. Aku meronta dan mengatakan akan pulang karena aku ingat makku. Saat itulah sinar yang menyilau mata itu berputar-putar dan kemudian menghilang serta uda tampan itupun juga menghilang. Bedil-bedilan dan permen yang aku pegang berubah menjadi kayu bakar dan daun kering. Aku sangat terkejut dan takut. Bersamaan dengan itu, badanku terasa sakit dan cuacapun sangat gelap. Tak lama kemudian aku mendengar suara Inyiak Pakiah memanggil namaku dengan nyaring. Setelah aku aku tidak sadarkan diri.
Mendengar cerita Amri, aku sangat terkejut dan takut. Karena setelah Amri ditemukan di atas Pagu yang sempit berbagai cerita muncul dari mulut ke mulut bahwa Amri dilarikan antu Aru-aru yang wajahnya seperti laki-laki tampan dan baik. Kalau Inyiak pakiah tidak bisa menemukan Amri, berkemungkinan Amri akan dilarikan oleh antu aru-aru itu ke puncak Gunung Singgalang dan akan dijadikan sandera makhluk halus dan setelah itu darahnya akan dihisap. Ih aku merinding bulu kudukku berdiri.
Tanah Jua Medio Oktober 24
Catatan:
Penulis adalah Dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas