Puisi-puisi Alfin Syahrin
Demamnya Danau
Danauku demam.
Kulitnya hijau,
Ntah karena lumut, ntah racun.
Badan busuk,
Karena bangkai dan kotoran bejibun.
Begitu buruk,
membuat mual perut.
Karyanya mati
Para hewan menangis
Tak dapat mengais
Waktu mengobati
si danau yang hampir pergi
Kembali sehat,
penuh semangat.
Karya hidup bernilai tinggi
Hewan berseri
memaksa lagi
danau bekerja tiada henti.
(Sumbar, 2024)
Kuli Boyolali
Aku Rafi
Kuli dari Boyolali
Hobiku membuat gedung tinggi
dari susunan kata-kata hati
Hati nan selalu hati-hati
agar sang mandor tidak tersakiti
Mandorku bermata sipit
sedikit-sedikit minta dipijit.
Begitu indah negri ini
menjadi sahaya di tanah sendiri
harus patuh pada orang sok terpuji
ntah dari mana,
tiba-tiba ada di sini.
Gajiku lumayan hebat
bisa untuk makan kaum kerabat
jika aku tak makan enam abad.
Aku berterima kasih pada bu putri.
Telah menjual sawah kami
Sehingga kami, harus beli beras sendiri
Aku Rafi
Kuli dari Boyolali
Bersyukur bisa hidup di tempat kaya
walau harus nestapa
(Depok, 2024)
Negeri Tikus
Para tikus berkuasa
di bawah tanah berpesta
menguasai seluruh lubang tanah
harta mereka berhamburan di mana-mana
Entah dari mana harta didapat
para tikus tak pernah kenyang
mereka tetap rakus
Hingga perut meletus
Hewan lain sengsara
para tikus tertawa
pemburu hama tidak bisa menangkap
malah mereka ditangkap
Mereka memperluas kekuasaan
Sang singa pun ditaklukkan
(Depok, 2024)
Pustaka Tua
Melewati jalan rusak ini
Menuju ke kehidupan
Sang pembuka dunia
Kehidupan tua
Berlalat
Berjaring laba-laba
Begitu kurus
Tidak terurus
Sangat buruk
Berbau busuk
Kubuka pintu
Langsung diserang
Kusiapkan alat perang
Kususun buku
Kumenangkan pertandingan
Lega rasanya
Mengembalikan kehidupan
(Maninjau, 2024)
Tentang Penulis
Alfin Syahrin, lahir di Medan, 30 Agustus 2006. Lahir dan dibesarkan oleh seorang ibu bernama Armailis dan seorang ayah bernama Andi Lasaiman. Saat ini, Alfin menempuh pendidikan di Ponpes Prof. Dr HAMKA Maninjau, Sumbar.
Menyembuhkan Demam
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Entah dari mana harta didapat
para tikus tak pernah kenyang
mereka tetap rakus
Hingga perut meletus
Karya puisi yang bernas biasanya tidak sekadar enak dibaca, namun juga mampu memancarkan kesan khusus yang merasuk hingga ke batin pembaca, yakni daya pukau untuk membangkitkan ingatan, pikiran baru, emosi, kesadaran, dan nurani. Puisi-puisi tersebut tak akan lalu sekali baca namun bergaung-gaung dalam benak seperti pengalaman pahit dan indah yang sulit dilupakan.
Ada satu pemufakatan besar dalam menulis puisi yang harus sadar dan dipertimbangkan, menurut T.S. Eliot (2020), puisi bukanlah satu pelonggaran emosi, melainkan satu pelarian dari emosi; ia bukanlah ekspresi kepribadian, melainkan satu pelarian dari kepribadian. Hanya mereka yang memiliki kepribadian dan emosi yang tahu apa yang dimaksud dengan ingin melarikan diri dari hal-hal tersebut.
Secara sederhana, puisi adalah ungkapan suara hati; Suara hati penyair sebagai seorang pribadi yang memiliki persoalan dalam kehidupannya, atau pada jangkauan yang lebih luas, puisi dapat menjadi media gagasan penyair untuk menyampaikan respons terhadap kondisi yang terjadi di lingkungan sekitar atau dunia. Sebab itulah, puisi sering muncul pada waktu paling sunyi, ketika jarak antara jiwa dan realitas sangat tipis. Penyair seolah mengalami ekstase sehingga apa yang bersuara di lubuk terdalam jiwanya mengalir ke dalam rangkaian kata-kata.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat empat buah puisi karya Alfin Syahrin, seorang pelajar yang bersekolah di dekat Danau Maninjau. Keempat puisinya berjudul “Demamnya Danau”, “Kuli Boyolali”, “Negeri Tikus”, dan “Pustaka Tua”.
Puisi-puisi Alfin cenderung lugas menyampaikan kritik terhadap persoalan sosial politik yang masuk ke dalam radar pengamatannya. Sebagai penulis, seorang penyair membuat puisi dari referensi yang didapatkannya dari kenyataan, pengalaman hidup, observasi, atau pengkajian dari dokumen perpustakaan. Penyair dapat menuangkan gagasan dan responsnya melalui puisi. Respons tersebut dapat berupa kesan, pendapat pribadi, keberpihakan, ketidaksetujuan, atau penolakan terhadap suatu masalah.
Puisi pertama “Danauku Demam” mengungkap kegelisahan Alfin terhadap kondisi danau yang tidak begitu baik. Bait ini, ‘Danauku demam./ Kulitnya hijau,/ Ntah karena lumut, ntah racun./ Badan busuk,/ Karena bangkai dan kotoran bejibun./ Begitu buruk,/ membuat mual perut’, seperti menggambarkan kondisi alam Danau Maninjau yang telah tercemar. Beberapa waktu belakangan ini, sejumlah media memberitakan kondisi air Danau Maninjau yang bewarna keruh pekat kehijauan dan berbau busuk menyengat. Kejadian ini disebabkan oleh tumpukan pelet pakan ikan keramba yang telah melampaui ambang batas kewajaran. Kadar oksigen di dalam air danau menjadi berkurang sehingga ikan-ikan pun mati. Danau yang demam dalam puisi Alfin menunjukkan permasalahan lingkungan hayati yang telah menjadi isu global sekarang ini. Kerusakan alam telah sangat mengkhawatirkan disebabkan ulah perangai manusia yang tidak mempertimbangkan dampak dari perbuatannya.
Puisi di atas senada dengan puisi ketiga, “Negeri Tikus”, menyuarakan kritik terhadap para koruptor yang disimbolkan dengan binatang pengerat, tikus, yang rakus. Metafora yang digunakan penyair sebenarnya sudah terbilang klise karena sudah sering diulang-ulang penulis lain, ‘Para tikus berkuasa/ di bawah tanah berpesta/ menguasai seluruh lubang tanah/ harta mereka berhamburan di mana-mana’. Namun puisinya tetap memberi bayangan perilaku para koruptor yang sibuk memperbanyak harta untuk memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain.
Cara-cara tidak halal pun dilakukan para koruptor untuk memuaskan nafsu serakah mereka: ‘Entah dari mana harta didapat/para tikus tak pernah kenyang / mereka tetap rakus/ Hingga perut meletus’. Alfin juga menyinggung masalah institusi penegak hukum yang digerogoti kasus korupsi dan mengalami pelemahan, ‘para tikus tertawa/ pemburu hama tidak bisa menangkap/ malah mereka ditangkap’. Terjadinya pelemahan terhadap lembaga kepolisian dan KPK menunjukkan kekuasaan rezim korup yang sangat menggurita.
Kritik sosial adalah bentuk sindiran atau respons terhadap suatu keadaan yang terjadi di masyarakat, terutama ketika terdapat ketidakseimbangan atau kerusakan dalam realitas sosial (Amalia, 2006:1). Kritik sosial muncul ketika kehidupan dianggap tidak selaras dan tidak harmonis, serta saat masalah-masalah sosial tidak dapat diatasi, dan perubahan sosial membawa dampak negatif bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kritik sosial dalam sebuah karya adalah kritik terhadap permasalahan sosial yang terjadi dalam suatu lingkungan masyarakat.
Alfin juga memberikan tanggapannya teradap persoalan rendahnya minat literasi masyarakat melalui puisi yang berjudul “Pustaka Tua”. Bila buku dilambangkan dengan jendela dunia, Alfin menyebut pustaka dengan ‘sang pembuka dunia’. Di dalam puisi ini, sang pembuka dunia dapat ditemukan setelah menempuh pejalanan di jalan yang rusak. Pustaka tua tersebut sangat buruk karena tidak terurus. Bangunannya terbengkalai, berlalat, penuh jaring laba-laba, dan baunya busuk. Keadaan pustaka ini sangat memprihatinkan karena tidak terawat dan mendapat perhatian.
Sungguh baik apa yang dilakukan aku lirik di dalam puisi ini, dia segera menyingsingkan lengan baju dan memperbaiki pustaka yang tak terurus tersebut: ‘Kubuka pintu/ Langsung diserang/ Kusiapkan alat perang/ Kususun buku// Kumenangkan pertandingan/ Lega rasanya/ Mengembalikan kehidupan’. Hari ini, telepon genggam atau handphone (HP) benar-benar telah merampas banyak hal dari kehidupan manusia, salah satu korbannya adalah buku. Keasyikan dengan HP membuat orang-orang tak punya waktu lagi untuk membaca buku alih-alih menghabiskan hari di perpustakaan. Dengan dalih beralih ke e-book, orang-orang tak lagi membaca yang berdampak pada merosotnya intelektualitas dan kematangan bersikap.
Barangkali tepat apa yang disampaikan Alfin bahwa kita perlu kembali ke pustaka, meluangkan waktu untuk mengurusnya, membaca buku-buku, memperluas cakrawala berpikir, dan mengembalikan kehidpan.[]
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerp;;.en atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post