Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Tanpa ingatan, tidak ada budaya. Tanpa ingatan, tidak akan ada peradaban, tidak ada masyarakat, tidak ada masa depan.” -Elie Wiesel
Indonesia merupakan negara dengan banyak pulau dan suku sehingga tradisi yang dimiliki oleh masyarakat juga berbeda-beda. Kebiasaan dan kepercayaan masyarakat pada era tradisional menjadi tradisi yang dimiliki oleh masyarakat hingga saat ini. Tradisi yang hidup pada era tradisional bersifat pralogis sehingga tidak bisa diukur kebenarannya dan kemudian mulai diposisikan pada posisi marginal oleh masyarakat modern yang menilai sesuatu dari kelogisan. Oleh karena itu, faktor perkembangan zaman mempengaruhi eksistensi tradisi yang ada dalam sebuah masyarakat.
Namun demikian, tradisi berada dalam sebuah peradaban yang terus bergerak sehingga penilaian terhadap sebuah tradisi pun juga terus bergerak. Pada era postmodern, masyarakat mulai disadarkan dengan kebudayaan yang merupakan bagian dari mereka dan tidak bisa dilupakan begitu saja. Walaupun, beberapa bagian dari kebudayaan tidak bisa diterima secara logika seutuhnya (Furqan, 2018). Namun, hal tersebut yang membuat Indonesia kaya dengan kebudayaan dan dilirik oleh banyak pihak. Bahkan, budaya dan tradisi yang dimiliki Indonesia dapat digunakan sebagai konten untuk mem-branding sebuah tempat wisata. Hal ini juga menjadi bagian dari program pemerintah dalam menyukseskan Pembangunan sektor pariwisata yang mendukung Peluang Baru dan Pengembangan Berkelanjutan (SDGs).
Pada awalnya, tradisi yang dimiliki oleh masyarakat sekaligus menjadi bagian dari identitas kelompok masyarakat tersebut. Contohnya ketika berbicara tentang Sikerei maka orang akan langsung terkoneksi dengan kebudayaan suku Mentawai (Nur, 2019). Hal yang sama juga terjadi dengan tari kecak akan langsung terkoneksi dengan seni pertunjukan yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Ada juga upacara rambu solo dan bayi yang ditanam di pohon tara adalah tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Toraja.
Namun demikian, faktor perkembangan zaman menghadirkan tanggapan yang berbeda terhadap tradisi. Baik tradisi yang dipertunjukkan ataupun tradisi yang dituliskan di dalam sebuah karya sastra. Tradisi tidak lagi hanya sebagai identitas, tetapi juga digunakan sebagai media. Hal ini terjadi karena ketertarikan kembali masyarakat terhadap tradisi sebuah daerah, bahkan sekarang dalam pariwisata marak dengan yang namanya Cultural Tourism. Tidak hanya itu, tempat-tempat yang dianggap memiliki tradisi yang unik diberikan bantuan oleh pemerintah untuk melakukan revitalisasi. Hal ini terjadi di Hutta Siallagan, Samosir, Sumatera Utara.
Cultural Tourism menjadi salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh wisatawan, misalnya ketika ke Yogyakarta orang akan datang ke Alun-alun Kidul untuk melewati dua pohon besar yang katanya jika bisa dilewati berarti orang tersebut memiliki hati yang bersih. Kemudian, ketika ke Pantai Parangteritis akan dilarang menggunakan pakaian berwarna hijau karena dianggap akan dilarikan oleh ratu pantai selatan ke istananya. Tidak hanya itu, Yogyakarta saat ini juga membuat pertunjukan Ramayan Ballet di Prambanan yang juga ada setiap bulannya, bahkan dengan harga tike dari Rp100.000,00-450.000,00 ribu rupiah. Banyak orang tertarik dengan pertunjukan ini yang terbukti dengan pengikut instagram mereka yang sudah lebih dari 60 ribu.
Hal yang sama juga terjadi di Bali. Orang-orang akan berbondong-bondong mengunjungi Uluwatu dan GWK untuk menonton pertunjukan Tari Kecak. Pengunjung rela mengantre panjang dan membayar dengan kisaran harga Rp100.000,00-200.000,00 ribu. Pertunjukan tari kecak di Uluwatu dan GWK diadakan setiap hari dan dalam satu pertunjukan bisa ditonton oleh ribuan orang dari dalam dan luar negeri. Bahkan, ada interaksi yang dilakukan oleh penampil dengan penonton untuk memeriahkan suasana
Tidak hanya Bali dan Yogyakarta, di Matotonan Mentawai, tarian sikerei yang bersifat sakral sekarang dijadikan sebagai bagian dari pertunjukan yang ditonton oleh orang banyak pada saat upacara ulang tahun desa dan mengundang akademisi, pemerhati budaya, serta kritikus untuk ikut serta dalam upacara ulang tahun desa tersebut. Faktor tersebut yang membuat sikerei pada akhirnya harus melanggar beberapa pantangan agar pertunjukan tersebut bisa dilakukan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam konteks pariwisata tradisi juga dimunculkan untuk menarik perhatian pengunjung, baik hanya sekadar berkunjung dan mengetahui tradisi yang ada ataupun mempelajari langsung tradisi tersebut. Jadi, tradisi dalam konteks pariwisata digunakan sebagai media untuk mem-branding lokasi tempat tradisi tersebut agar dikunjungi oleh wisatawan atau dipelajari oleh budayawan serta tentu saja meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, tradisi dapat dikatakan sebagai media branding dalam konteks pariwisata.
Tidak hanya dalam pariwisata, tetapi tradisi juga digunakan sebagai ide dalam menulis karya sastra. Namun, dalam karya sastra tradisi seringkali digunakan sebagai media untuk mengkritik eksistensi tradisi tersebut. Contohnya dalam Novel Puya ke Puya, Oddang mengkritik tradisi melalui tokoh Allu. Tradisi yang digambarkan adalah tradisi yang memberatkan orang yang ditinggalkan dan hanya sebagai gengsi saja. Bahkan ada penggambaran untuk melaksanakan upacara rambu solo ambenya Allu, pamannya sendiri mengizinkan untuk menjual tanah ulayat daripada tidak melaksanakan upacara rambu solo. Kemudian, pada akhirnya salah seorang bayi yang dimakamkan di pohon tara juga diculik dan dijual oleh Allu untuk melangsungkan upaca rambu solo ambenya karena ia tidak bisa menikah sebelum upacara tersebut dilaksanakan.
Hal yang sama juga digambarkan dalam novel Tarian Bumi juga mengkritik tradisi masyarakat Bali yang bersosialisasi berdasarkan strata sosial dan ketika akan menikah dengan strata yang berbeda mereka harus melakukan banyak upacara. Namun, setalah melakukan berbagai proses tersebut tetap saja dianggap pembawa sial, misalnya ketika Telaga memutuskan menikah dengan Wayan dapat diartikan bahwa ia sudah melawan tradisi dan budaya yang ada pada masyarakat Bali. Dengan demikian, dia akan semakin berada di posisi marginal. Jangankan dengan orang-orang yang ada di griyanya, tetapi bahkan oleh mertuanya sendiri yang berkasta Sudra. Begitu juga dengan iparnya Telaga yang berani menyentuh tubuh Telaga. Dengan alasan karena Telaga tidak lagi dari kasta Brahmana. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
“Kau tetap cantik, Dayu, dalam kondisi apa pun. Sekarang kecantikanmu makin sempurna. Tubuhmu lebih indah. Kau terlihat lebih kasar dan mengandung gairah. Dulu, aku sering menonton tubuhmu di panggung dan berharap bisa menyentuh tubuh porselen itu. Sekarang tubuhmu lain. Lebih hidup. Menjadi perempuan Sudra memang menarik. Kecantikanmu sebagai seorang perempuan makin lengkap” (Rusmini, 2017)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tradisi yang ada dalam karya sastra seringkali dijadikan penulis sebagai media untuk mengkritik tradisi tersebut. Peradaban yang terus bergerak membuat posisi tradisi juga terus bergerak. Tradisi yang pada awalnya dijadikan sebagai sebuah kebiasaan yang dianggap sakral oleh masyarakat yang memilikinya bergerak menjadi identitas dari kelompok masyarakat tersebut. Kemudian, seiring dengan perkembangan zaman tradisi mulai diposisikan pada posisi marginal yang kemudian bergerak lagi pada posisi dominan atau sentral, terutama pada ranah pariwisata ataupun karya sastra sehingga tradisi dapat digunakan sebagai sebuah media untuk mem-branding ataupun kritik terhadap sebuah fenomena yang terjadi dalam kelompok masyarakat tertentu. Hal yang pasti harus dilakukan adalah tidak membiarkan tradisi tersebut hilang atau malah bersikap apatis karena terjadi perubahan pada tradisi-tradisi tertentu dan menganggap bahwa tradisi yang ada saat ini tidak orisinal lagi.
Discussion about this post