Senin, 16/6/25 | 12:07 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Metafora di dalam Puisi “Layang-Layang” karya Sapardi

Minggu, 23/6/24 | 10:41 WIB

Oleh: Leori Nelda Yanti
(Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)

 

Teeuw dalam Fananie (2000:25) mendefinisikan stilistika sebagai sarana yang dipakai pengarang untuk mencapai suatu tujuan, karena stilistika merupakan cara untuk mengungkapkan pikiran, jiwa dan kepribadian pengarang dengan cara khasnya sendiri. Menurut Sudjiman (1993: 13), pengertian stilistika yaitu style, yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa dengan tujuan dapat memahami makna atau fungsi tersirat dalam sebuah karya sastra.

BACAJUGA

No Content Available

Gaya bahasa ini juga memiliki pengertian dari beberapa ahli. Salah satunya Albertine (2005: 51) yang mendefinisikan gaya bahasa sebagai cara berbicara yang berasal dari bahasa sehari-hari yang digunakan secara konvensional dan literal untuk menggambarkan individu atau objek. Dengan menggunakan gaya bahasa yang khas, penyampaian yang penuh imajinasi menjadi lebih menyegarkan dan memberi kesan yang mendalam. Gaya bahasa meliputi: makna kata, gambaran, perbandingan, serta lambang dan kiasan. Makna kata meliputi berbagai hal, seperti: makna denotatif dan konotatif, sindiran, parodi dan sejenisnya. Sementara itu, perumpamaan melibatkan perbandingan (simile), metafora, dan personifikasi. Yang akan penulis bahas yaitu metafora dalam sebuah puisi.

Keraf (1981: 124) menyatakan bahwa metafora merupakan majas yang berisi perumpamaan tersirat yang menyamakan dua hal. Metafora ini tidak mengungkapkan perumpamaan secara langsung atau terang-terangan, melainkan hanya memberikan petunjuk tentang adanya perbandingan atau perumpamaan. Metafora merupakan salah satu gaya bahasa yang umum digunakan dalam sastra dan komunikasi. Secara sederhana, metafora dapat di artikan sebagai penggunaan kata-kata atau ungkapan yang memiliki arti kiasan untuk menggambarkan suatu konsep atau objek dengan cara yang menarik dan imajinatif. Dalam sastra, metafora sering digunakan untuk meningkatkan keindahan dan intensitas karya tulis, membantu pembaca untuk membayangkan atau merasakan pengalaman secara lebih mendalam dalam suatu karya tulis. Misalnya, dalam puisi, penggunaan metafora ini dapat memberikan dimensi yang lebih dalam pada makna dan gambaran yang disampaikan pengarang.

Dalam puisi “Layang-Layang” karya Sapardi Djoko Damono terdapat metafora di setiap baitnya. Penulis akan menjelaskan metafora yang ada dalam bait pertama dan juga dalam keseluruhan bait puisinya. Metafora dalam bait pertama dapat dilihat pada uraian berikut.

Layang-Layang

Layang-layang barulah layang-layang jika ada angin

memainkannya. Sementara terikat pada benang panjang,

ia tak boleh diam, menggeleng ke kiri ke kanan, menukik,

menyambar, atau menghindar dari layang-layang lain.

Metafora dalam bait pertama ini menggambarkan perjalanan hidup manusia. Layang-layang dalam puisi ini menjadi simbol manusia yang baru menemukan dirinya sendiri ketika dihadapkan pada tantangan atau perubahan dalam hidupnya. Pergerakan layang-layang yang terikat pada benang panjang itu menggambarkan perjalanan manusia yang tidak boleh diam, melainkan harus bisa merespons setiap perubahan dan tantangan yang datang, sama dengan pergerakan layang-layang yang tergerak oleh angin dalam puisi.

Secara keseluruhan dalam puisi ini penyair menyoroti hubungan manusia dengan alam, dengan menggambarkan keindahan melalui layang-layang sebagai simbol diri manusia. Pesan tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan alam serta menghargai proses pertumbuhan dan perubahan dalam hidup sangat kental dalam puisi ini. Selain itu, puisi ini juga mengajarkan pembaca tentang keteguhan dan ketenangan di tengah-tengah tantangan hidup. Layang-layang yang tetap terbang meskipun tidak memiliki kontrol penuh terhadap arah angin menjadi simbol keberanian dan keyakinan di dalam diri sendiri.

Dalam puisi ini pengarang juga menekankan kecantikan dalam kesederhanaan serta menunjukkan bahwa kebahagiaan dan keindahan seringkali dapat ditemukan dalam momen-momen kecil dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kehidupan, alam, dan hubungan manusia dengan keduanya. Itu memicu refleksi tentang bagaimana kita menjalani kehidupan, bagaimana kita berinteraksi dengan alam, serta bagaimana kita menemukan kebahagiaan dan keindahan dalam kesederhanaan.

Metafora dalam bait puisi ini memperbandingkan layang-layang dengan perjalanan hidup manusia serta hubungannya dengan alam, khususnya angin. Layang-layang di sini dijadikan metafora untuk menggambarkan manusia. Seperti layang-layang yang baru menjadi layang-layang ketika ada angin yang memainkan, manusia juga baru menemukan esensi sejati hidupnya ketika dihadapkan pada tantangan atau perubahan. Layang-layang yang terikat pada benang panjang menggambarkan keterikatan manusia pada jalur hidupnya, di mana mereka harus terus bergerak dan merespons setiap arah perubahan, sama seperti layang-layang yang harus bergerak mengikuti hembusan angin.

Kemudian, hubungan antara layang-layang dan angin menggambarkan hubungan manusia dengan alam. Anak-anak yang berjanji untuk memanggil angin barat menunjukkan bagaimana manusia berusaha memahami dan berinteraksi dengan alam. Ketertarikan dan pengaguman terhadap angin oleh layang-layang mencerminkan hubungan yang dalam antara manusia dan alam, di mana manusia merasakan keindahan alam dan memperhatikan interaksi kompleksnya. Dengan demikian, metafora ini mengajukan gagasan bahwa manusia sejati adalah mereka yang mampu mengikuti arus kehidupan dengan keberanian dan keteguhan, serta mampu menghargai dan berinteraksi dengan alam secara harmonis.

Dari paparan di atas, kesimpulan metafora dari puisi Layang-Layang ini bahwa layang-layang menjadi simbol perjalanan hidup manusia dan hubungannya dengan alam. Hal yang menonjol dari puisi ini adalah keterikatan manusia pada jalur hidupnya yang diibaratkan dengan benang panjang yang mengikat layang-layang, serta kemampuan manusia untuk merespons setiap perubahan dan tantangan yang datang, mirip dengan pergerakan layang-layang yang digerakkan oleh angin.

Pada tingkat yang lebih dalam, metafora dalam puisi ini juga menggambarkan keberanian dan keteguhan di dalam diri manusia yang diperlukan untuk terus menghadapi hidup dengan segala perubahan yang ada. Layang-layang yang terbang meskipun tidak memiliki kendali penuh atas arah angin menjadi simbol akan keberanian dan keyakinan di dalam diri manusia untuk tetap maju meskipun terkadang dalam keadaan yang tidak menguntungkan.

Selain itu, hubungan antara layang-layang dan angin mencerminkan hubungan yang dalam antara manusia dan alam. Manusia dipahatkan oleh kekuatan alam dan harus belajar beradaptasi serta menghargai kompleksitas alam. Ini menggambarkan bahwa kebahagiaan dan keindahan seringkali dapat ditemukan dalam momen-momen kecil dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui perbandingan di atas, puisi Layang-Layang karya Sapardi Djoko Damono mengandung pesan tentang keberanian, keteguhan, dan kemampuan untuk merespons perubahan dalam hidup, serta pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan alam.  Puisi tersebut mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana kita menjalani hidup dan bagaimana kita berinteraksi dengan alam, serta menemukan kebahagiaan dan keindahan dalam kesederhanaan. Demikianlah penjelasan penulis tentang metafora yang ada di dalam Puisi “Layang-Layang” karya Sapardi Djoko Damono. Semoga bisa bermanfaat.

Tags: #Leori Nelda Yanti
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Penggunaan Preposisi “di” di dalam Kalimat

Berita Sesudah

Tradisi Hoyak Tabuik di Kota Pariaman

Berita Terkait

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Minggu, 15/6/25 | 10:52 WIB

Oleh: Mita Handayani (Mahasiswa Magister Linguistik FIB Universitas Andalas)   Cassirer (dalam Lenk, 2020) mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum,...

Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

Minggu, 15/6/25 | 09:39 WIB

Oleh: Arina Isti’anah (Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma) Baru-baru ini kita disadarkan oleh fenomena kerusakan alam Raja Ampat yang...

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Minggu, 08/6/25 | 08:17 WIB

Ilustrasi: Meta AI Oleh: Ratu Julia Putri (Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia 32 & Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas)   “Kamu...

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Minggu, 01/6/25 | 11:46 WIB

Oleh: Ghina Rufa’uda (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas)   Rekeningku hanya tempat...

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Minggu, 01/6/25 | 11:18 WIB

Oleh: Sufrika Sari (Mahasiswi Prodi Sejarah dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas) Kesalehan lahiriah bukanlah jaminan seseorang...

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Minggu, 25/5/25 | 14:40 WIB

Oleh: Raisa Tanjia Ayesha Noori (Mahasiswa S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas) Peraturan Daerah (Perda) sering kali dianggap sebagai...

Berita Sesudah
Tradisi Hoyak Tabuik di Kota Pariaman

Tradisi Hoyak Tabuik di Kota Pariaman

Discussion about this post

POPULER

  • Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

    Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Warga Koto Padang Dharmasraya Swadaya Perbaiki Jembatan Gantung yang Ambruk

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aliansi OKP se-Dharmasraya Minta Polres Dharmasraya Tingkatkan Pengawasan Keamanan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Magister Ilmu Komunikasi FISIP UPNVJ Raih Akreditasi Baik Sekali dari BAN-PT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fungsi Kata “yang “ dalam Bahasa Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024