Oleh: Elly Delfia
(Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Perjalanan selalu memberikan banyak pembelajaran. Salah satu pembelajaran berharga yang saya dapat dari perjalanan adalah budaya makan bersama. Makan bersama mendekatkan hati orang-orang. Budaya makan bersama sudah ada sejak dahulu kala. Budaya ini adalah bentuk diplomasi terbaik dimiliki oleh semua suku bangsa. Melalui makan bersama bisa terjadi kesepakatan, kerja sama, dan persahabatan. Makan bersama bahkan juga dapat membuat gencatan senjata dan menghentikan perang.
Budaya makan bersama juga merupakan cara terbaik menghormati tamu. Makan bersama juga membangun kedekatan hati dalam sebuah komunitas. Makan bersama dapat membuat manusia lebih rasional, berpikir jernih, dan bergembira karena kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. Makan Bersama dapat meningkatkan keramahan dan meningkatkan rasa terima kasih.
Budaya makan bersama juga ada di Korea Selatan. Selama empat tahun tinggal di Korea Selatan, saya sudah menghadiri berbagai macam undangan makan bersama. Undangan tersebut ada yang diinisiasi oleh dosen dari universitas tempat saya mengajar, ada yang diinisiasi oleh mahasiswa Korea, ada juga yang diinisiasi oleh perkumpulan dosen Kajian Asia Tenggara (Southeast Asia Studies), ada yang diinisiasi oleh Persatuan Muslim Indonesia Korea Masjid Al Fatah (PUMITA) Busan, ada pula yang diinisiasi oleh persatuan orang Minang di Korea, dan ada yang diinisiasi oleh pelajar-pelajar Indonesia di Korea Selatan.
Setiap acara makan bersama memberikan pengalaman yang berbeda-beda untuk saya. Pengalaman makan bersama dengan dosen dari Korea kental dengan suasana diplomasi karena sambil makan kami membicarakan kerja sama dan membuat beberapa kesepakatan. Tempat makan pun juga biasanya di restoran yang cukup mahal dan menyajikan makanan khas Korea. Undangan makan bersama dosen ini sering dilakukan pada setiap akhir semester. Menu makan bersama dengan dosen Korea di antaranya daging sapi Korea panggang yang disebut dengan bulgogi.
Saya juga pernah diajak makan cukumi, sejenis octopus atau makanan laut yang dibakar. Rasanya gurih, manis, dan pedas. Saya sangat menyukainya karena cocok di lidah saya. Lalu, saya dan teman-teman juga pernah diajak makan daging ikan kembung bakar asap yang rasanya sangat gurih. Setiap restoran Korea juga menyajikan kimchi dan sayur-sayur segar yang banyak. Sup doenjangjigae yang hangat juga tidak ketinggalan sebagai menu khas. Minuman penutupnya pun beragam. Rata-rata minuman tradisional Korea yang memiliki kasiat bagus untuk kesehatan, seperti teh omija, sikhye, yujacha, chamomile, dan lainnya.
Makan bersama mahasiswa Korea juga mengasyikkan. Mereka biasanya memperkenalkan makanan Korea yang populer, seperti pungopang, pizza sayur, pizza ubi, jjamppong, dan lain-lain. Selain itu, mereka meminta izin pada saya untuk minum bir dan memesankan segelas jus untuk saya. Lalu, kami akan bersulang bersama sebelum makan. Mereka mengangkat gelas bir dan saya mengangkat gelas jus sambil mengucapkan “Toas!”. Seperti itulah kami saling menghormati. Saya menghargai mereka dan mereka menghormati saya sebagai dosen muslim yang tidak minum alkohol. Pada waktu-waktu tertentu, saya mengajak mereka untuk makan di restoran Indonesia. Mereka juga mencoba berbagai masakan Indonesia. Suasana makan bersama selalu menciptakan kehangatan dan kedekatan di antara kami.
Lalu ada lagi undangan makan bersama yang diinisiasi oleh teman-teman dosen Kajian Asia Tenggara (Southeast Asia Studies). Saya pernah makan samgyetang atau sup daging ayam Korea yang dicampur dengan ginseng yang dalam bahasa Korea disebut dengan insam. Sup daging ayam dengan toping ginseng itu sangat bagus untuk meningkatkan energi dam stamina. Rasa samgyetang yang segar dan gurih seakan masih terasa di lidah saya hingga kini. Menurut orang Korea, samgyetang merupakan makanan yang sering disajikan pada musim panas pada masa dahulunya. Saat ini, makanan ini hampir ada pada setiap musim. Sebagai orang Indonesia, saya lebih suka menikmati samgyetang pada musim dingin karena dapat menghangatkan badan. Makan bersama teman-teman dosen Kajian Asia Tenggara cukup sering dilakukan. Kami mencoba hampir semua makanan Korea yang bisa dimakan oleh muslim, seperti sup ikan, cumi-cumi, udang, daging sapi, bebek bakar, dan sebagainya.
Selain makan bersama dengan dosen-dosen Korea dan dosen-dosen Kajian Asia Tenggara yang berasal dari Filipina, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam dan Myanmar dan Indonesia, makan malam bersama teman-teman Indonesia yang ada di Korea Selatan juga sering saya lakukan. Mereka ada yang berprofesi sebagai dosen, mahasiswa, ibu rumah tangga, tenaga kerja Indonesia, hingga pertugas-petugas konsulat perdagangan yang bekerja di Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Kota Busan. Kami lebih sering makan bersama di restoran Korea dengan menu makanan laut, seperti jjamppong, cukumi, kodengo, ojingo, dan sejenisnya. Makanan laut tersebut lebih aman bagi muslim. Selain itu, kami makan bersama di restoran yang menyajikan makanan halal, seperti restoran Maroko, Turki, India, dan Restoran Indonesia. Restoran tersebut menyajikan menu kambing bakar, kambing gulai, rendang, nasi briyani, samosa, roti cane, sate, bakso, dan lain-lain.
Suasana makan bersama meninggalkan kesan yang berbeda-beda bagi saya. Makan malam dengan orang Korea berisi topik pembicaraan tentang peningkatan kerja sama Korea-Indonesia, topik tentang kebudayaan Korea, rasa makanan Korea, dan hal-hal lain yang menarik di antara hubungan Korea dan Indonesia. Makan malam dengan teman-teman kajian Asia Tenggara lebih banyak menceritakan perilaku mahasiswa di kelas, membicarakan bahan ajar, dan juga membicarakan topik penelitian yang mungkin untuk dilakukan bersama. Selebihnya, ada topik hangat yang membicarakan keunikan budaya Korea, tempat wisata terbaru, suasana pergantian musim, barang-barang branded yang sedang diskon, dan suasana kampus di negara asal masing-masing.
Makan malam bersama dosen Kajian Asia Tenggara durasinya sering lebih lama karena berlanjut hingga minum teh bersama. Selama makan dan minum bersama, teman-teman lain yang rata-rata nonmuslim tetap menghormati saya dan teman muslim lainnya. Mereka tidak minum alkohol seperti soju, makholi, wine, dan sejenisnya meskipun budaya Korea identik dengan minuman beralkohol. Mereka juga tidak makan makanan yang mengandung daging babi untuk menghormati yang muslim. Dari sana, saya merasa bersyukur dan merasa dihargai sebagai seorang muslim
Pengalaman makan dengan teman-teman Indonesia juga tidak kalah serunya. Suasana makan malam selalu ramai dan penuh canda. Ada-ada saja yang jadi bahan lelucon dan tertawaan. Kami yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia melebur dalam suasana kehangatan makan bersama. Makan bersama mempererat hubungan sesama orang Indonesia di sana. Hubungan kami layaknya saudara karena mempunyai nasib yang sama sebagai anak rantau yang jauh dari keluarga.
Demikian kisah dan pengalaman makan bersama yang hangat selama saya tinggal di Korea Selatan. Hingga saat ini, komunikasi dengan semua teman yang pernah makan bersama tetap terjaga dengan baik, bahkan beberapa di antara teman makan bersama sudah seperti keluarga sendiri bagi saya. Mereka selalu menghubungi dan meminta mampir saat saya berkunjung ke daerah-daerah yang ada di Jawa ataupun ke Jakarta.