Puisi-puisi Karya Turbadur Lampura
Ini Dunia Kita, atau Sepenggal Kisah Korupsi di Negeri Antah
-(masih) parodi untuk negeri Gemah Ripah Loh (kok) Begini?
di negeriku,
ada aturan para santri boleh kena sanksi
ada yang dihukum lari,
sebagian di tengah terik lebih memilih tegak berdiri.
sementara sang guru sibuk bersenda dan menghabiskan lintingan tembakau di halaman lain.
di negeriku,
hidup para pandu yang kerjanya di luar negeri.
pulang tak tentu setahun sekali,
tak sedikit yang harus menyiapkan upeti.
mulai dari pamong hingga pak menteri.
ada yang nyinyir karena iri,
sebagian lain misuh karena tak rata dibagi.
di negeriku,
sudah banyak peringatan diberi.
mulai air bandang sampai tsunami
mulai longsor hingga gempa bumi
ada yang mengais bantuan dari penderma,
sebagian lain malah sibuk memikirkan perutnya sendiri.
di negeriku,
nyatanya malah banyak yang senang berkongsi.
mereka berkerumun dalam sebuah kamar remang di hotel berbintang.
ada pak mandor hingga kontraktor
ada pak guru hingga (mantan) santri
ada gubernur hingga bupati
ada pak dewan hingga bapak berdasi
ada presiden hingga pak menteri.
saat penaja hukum bersama kuliwarta datang mengeksekusi, mereka malah memberi koper bertuliskan: ANDA SOPAN KAMI PUN SEGAN.
Kotabumi, 22 Februari 2024
Kisah Pekarangan yang Menangis karena Kehilangan Penghuninya
waktu pagi, saat libur penghujung pekan.
sebagian mereka ingin terbang seperti burung, mengepak sayap ke angkasa, mencari istana yang dibangun dengan kebahagiaan. sebab hanya di tempat seperti itu mereka merasa bebas menundukkan masa kecilnya. sebagian lagi sibuk mematung menunggu kehadiran super hero jagoannya muncul di tengah layar bergambar.
di waktu siang,
sebagian mereka ingin menjadi lebah dan kupu. hinggap dari bunga satu ke bunga lain. memainkan permainan satu ke permainan lain. menembus angin kencang hingga seluruh nektar manisnya tumpah di penutup siang itu.
waktu senja mulai beranjak perlahan,
sebagian mereka berlarian di pematang sawah. berebut siapa yang lebih dahulu sampai di surau tua tempat mereka mengenal dan mengeja a ba ta. menentang keinginan untuk kembali mematung di depan layar bergambar karena super hero andalannya akan datang kembali. terdengar dari kejauhan, riuh rendah hapalan dan bunyi lecut cemeti hukuman sebagian yang di dalam. sebagian lain mulai mengeja di selasar. mereka menitipkan sepotong episode kisahnya di sana.
malam hari, selepas maghrib yang tertunai. dan purnama mulai menampakkan pesona.
aku menyaksikan mereka bermain kejar sumput, tekong, gobak sodor, atau suit yang membagi satu persatu mereka dalam permainan andalan: ular naga.
gurat kelelahan selama satu pekan terbayarkan dengan dendang pesta malam ini. berganti semburat keceriaan yang tak terlukiskan hingga malam mereda.
keesokan hari,
saat kokok sang jantan mulai berkumandang. lantang.
saat caya mentari mulai naik dengan senandung pongahnya.
tak lagi terdengar bunyi hentak kaki bernada riang saat seorang dari mereka tertangkap sepasang pawang ular naga.
tak ada lagi jingkatan kaki mereka yang bersembunyi di balik dinding tangga rumah saat kejar sumput*.
bahkan, tak ada lagi jeritan saat luka mulai menggurat di sebagian kaki kecil mereka sewaktu berebut benteng di depanku.
semua melenyap. senyap.
satu demi satu anakanak mulai tertangkap ular naga pipih dan terperangkap dalam mulut lahapnya.
satu demi satu pasang mata mereka terbelalak pada sosok ular naga pipih di genggamannya. tak teralihkan.
sementara aku, pekarangan tua yang makin merenta, mulai menangis karena kehilangan para penghuninya.
…umpan yang lezat itulah yang dicari
ini dianya yang terbelakang
Kotabumi, 14 Januari 2020
Monolog di Negeri Antah
-parodi tangis dan tragedi tawa
di negeriku,
ada aturan para kurcaci boleh diinjak mati kawanan Buta Raksasa
ada yang akhirnya mati,
sebagian lainnya luka dan menangis
sebagian lagi malah sibuk memilih jadi pengabdi Sang Buta
di negeriku,
para pamong didampingi punakawan sedang sibuk menjawab soalan dari kuliwarta
perihal pendapat Wangsaraja terhadap kepelikan di negerinya:
“Puluhan karung gandum akan tetap berada di rumah bahkan di jalanan menuju rumah kalian, selama kalian biarkan mereka tetap berada dalam dinasti raja,”
di negeriku,
muncul anekdot lucu:
“negeri ini sedang sakit keras, dan aku yakin tak kan ada tabib yang sanggup mengobatinya. Negeri ini juga sedang terbelahpecah, sebab para pamong sibuk dengan kamarnya masing-masing, termasuk aku; Tuan Raja Maha Diraja.”
“negeri ini sedang bergegas menemui kehancurannya, disebabkan kegalauanku; Tuan Raja Maha Diraja. sebab rakyatku yang senantiasa malas berkarya dan senang menjadi Rakyat Melata, sebab banyak Buta yang senang bergabung dan membentuk gerakan bernama makar dan kudeta. di negeri ini, sengaja kubangun banyak riak kecil di dalamnya, agar gelombang besar yang nanti datang tidak menjadi perhatian para rakyatku, Rakyat Melata.”
Sementara Rakyat Melata sedang lelap dengan ratapan nasibnya,
Tuan Raja Maha Diraja juga tertidur dengan kegalauan negerinya, dan
kuliwarta membuat mata pamong makin pedih karena ulahnya,
para toke dari negeri nun justru (juga) sibuk memasukkan kacung-kacung bermata sipit dari negerinya. Sesak dan makin menyesak negeriku.
lantas, di mana para Nayakalara yang kekar dan gagah berani?
ada yang akhirnya mati,
sebagian berkumpul menyatukan pasukan. memilah satu di antara yang terpilih untuk menjadi Abah Askara bagi Rakyat Melata lainnya,
berharap satu waktu tak lagi ada Rakyat Melata yang luka dan menangis.
Sementara sebagian Nayakalara lainnya; yang konon lebih kekar, lebih gagah, dan lebih segalanya malah sibuk melahap seluruh gandum di lumbung istana dengan rakusnya.
di negeriku…
ah, negeriku…
negeri Rakyat Melata.
Kotabumi, 7 Februari 2024
Tentang Penulis
Turbadur Lampura adalah nama pena Idrus Mustofa, S.Pd. Lahir di Kotabumi, Lampung, 25 Mei 1985. Menempuh pendidikan di MI Filial Jati Sukoharjo-Solo, MI Al Islamiyah Kotabumi, SMPN 4 Kotabumi, SMAN 1 Kotabumi, kemudian melanjutkan ke Universitas Bengkulu dan menyelesaikan Strata Satunya di STKIP Muhammadiyah Kotabumi. Pertama kali mengenal dunia seni dan sastra saat kuliah di Fakultas keguruan (FKIP) Universitas Bengkulu tahun 2003, pada program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID). Aktif di Sanggar Bahtra dan FLP Wilayah Bengkulu tempat menempa kemampuan olah vokal, akting, dan menulisnya. Beberapa karyanya pernah tersebar di berbagai media dan kumpulan antologi. Penulis masih terdaftar sebagai salah satu peserta aktif Bilik Puisi Sumatera (Liksitera) Forum Lingkar Pena (FLP).
Puisi Bukan Hanya Sekedar Kata-Kata Indah
(Ulasan atas Puisi-puisi Turbadur Lampura)
Oleh : Dara Layl
Karya sastra seringkali disebut sebagai ungkapan yang tidak bisa diungkapkan. Hal ini terjadi karena banyak hal tersurat yang tersimpan di dalam karya sastra terutama sebuah puisi. Sastra bukan hanya sebagai khayalan tetapi lebih menjadi penghubung, jembatan atau bahkan cermin antara kehidupan realita dengan fiksi. Dan pada kenyataanya, karya sastra bukan hanya berdasarkan imajinasi saja, tetapi juga berdasarkan realita dalam kehidupan sehari-hari.
Puisi sebagai salah-satu karya sastra didalam penciptaanya, penyair mendapatkan ide atau mendapatkan inspirasi seringkali dari masalah politik dan sosial. Isu politik dan sosial yang berkaitan dengan pemerintahan dan masyarakat menjadi inspirasi penting bagi penyair.
Pada edisi kali ini Kreatika menampilkan tiga puisi dan dua diantaranya sangat kental dengan isu politik sebagai bentuk kepedulian terhadap tatanan pemerintahan karya Idrus Mustofa atau dikenal dengan nama pena Turbadur Lampura dengan judul puisi “Ini Dunia Kita, Atau Sepenggal Kisah Korupsi di Negeri Antah -(masih) parody untuk negeri Gemah Ripah Loh (kok) Begini”, “Monolog di Negeri Antah –parodi tangis dan tragedi tawa” “Monolog Perkarangan yang Menangis Karena Kehilangan Penghuninya”
Puisi pertama dan kedua dengan judul “Ini Dunia Kita, Atau Sepenggal Kisah Korupsi di Negeri Antah -(masih) parody untuk negeri Gemah Ripah Loh (kok) Begini” dan “Monolog di Negeri Antah” merupakan sebuah puisi yang tergolong ke dalam puisi kritik sosial. Puisi kritik sosial adalah sebuah puisi yang bertujuan mengkritik atau menyindir situasi sosial yang sedang terjadi di masyarakat, puisi ini biasanya berisi bahasa yang membuka pemikiran pembaca.
Intan Wahyu Mubarok (2023) menjelaskan bahwa penyair akan mengeksplorasi isu-isu sosial yang terjadi, seperti ketimpangan sosial, ketidakadilan, atau ketidakpuasan terhadap pemerintah. Puisi kritik sosial sering dijadikan sebagai salah-satu bentuk keprihatinan sekaligus perlawanan terhadap ketidakadilan sosial yang berkembang di masyarakat. Dengan mengungkapkan kritik melalui puisi, penyair bisa mengekpresikan pendapat mereka dan memberikan inspirasi kepada pembaca untuk mengambil tindakan.
Puisi pertama, ““Ini Dunia Kita, Atau Sepenggal Kisah Korupsi di Negeri Antah -(masih) parody untuk negeri Gemah Ripah Loh (kok) Begini” menyindir tentang penegakan aturan yang dijalankan dengan tidak bersungguh-sungguh. Puisi ini menyindir pemangku aturan yang diibaratkan seorang guru yang sibuk bercanda dan merokok bukannya memberikan contoh yang baik bagi murid yang dihukum. Hal ini bisa dilihat dalam sajak /di negeriku/ /ada aturan para santri boleh kena sanksi/ /ada yang dihukum lari,/ /sebagain di tengah terik lebih memilih berdiri/ /sementara sang guru sibuk bersenda dan menghabiskan lintingan tembakau di halaman lain/
Puisi pertama ini jika dilihat dari judulnya sangat unik dan jarang digunakan oleh kenbanyakn penyair lain, namun judul puisi terasa tidak ada korelasi dengan isinya karena pada isinya tidak ada membahas korupsi, serta belum ada keterlkaitan antara bait satu dengan yang lainnya, seperti sebuah kisah yang belum selesai, namun sudah masuk ke cerita yang lain. Hal ini bisa kita lihat pada cerita yang ada di dalam puisi jika bait pertama dan kedua menceritakan tentang sindiran pada penegak hukum, bait ketiga tentang bencana alam sebagai teguran pada manusia, sedangkan bait terakhir tentang norma-norma. Puisi pertama ini akan lebih bagus jika difokuskan pada satu isu.
Puisi kedua, “Monolog di Negeri Antah –parodi tangis dan tragedy tawa” sama seperti puisi pertama, puisi kedua ini juga berisi tentang isu politik serta sindiran bagi pemangku kebijakan beserta rakyat yang kebanyakan malas dan berpangku tangan. Puisi kedua ini terasa sangat unik karena disajikan seperti sebuah kisah yang lengkap dengan menggunakan bahasa sangsekerta dengan baik seperti kata, /Nayakalara/ yang berarti para prajurit yang bertempur melawan wabah penyakit yang menjangkit serempak di muka bumi. /Kuliwarta/ yang berarti untuk meindungi mereka dan /Punakawan/ yang merupakan tokoh pewayangan dengan tokoh Bagong si jujur dan sakti, Petruk si gemar bercanda dan pendengar yang baik, Gareng si berhati-hati dalam bertindak dan Semar si sabar dan bijak. Nama-nama sangsekerta yang dipakai dalam puisi ini membuat puisi terasa lebih dalam maknanya, berbeda dengan puisi sebelumnya puisi ini terasa lebih utuh dan lengkap serta sangat berkorelasi antara bait satu dan bait selanjutnya.
Puisi ketiga, “Monolog Perkarangan yang Menangis Karena Kehilangan Penghuninya” berbeda dengan puisi sebelumnya puisi ketiga ini masih menyindir kehidupan sosialn namun bukan pada pemerintahan tetapi pada kondisi anak-anak yang semakin terjerat oleh teknologi terutama Hanphone. Ketika membaca puisi ini pembaca ikut merasakan kepiluan penyair dan kegetirannya dalam melihat pola pergaulan anak-anak yang tidak lagi seperti zaman dahulu. Selain itu kita juga bisa merasakan kerinduan penyair akan masa-masa dahulu yang mungkin tidak akan lagi ditemui oleh anak-anak zaman sekarang. Seperti memainkan maianan tradisional, dan mengaji di surau, namun sekarang sudah tidak bisa lagi.
Kepiluan penyair bisa kita rasakan dalam bait sajak, /semuanya melenyap. senyap/ /satu dei satu anak-anak mulai terperangkap ular naga pipih yang terperangkap dalam mulut lahabnya/ /satu demi satu pasang mata mereka terbelalak pada sosok ular naga pipih di genggamannya. tak teralihkan/ /sementara aku pekarangan tua yang makin merenta, mulai mennagis karena kehilangan para penghuninya/
Secara keseluruhan puisi ini sangat enak untuk dibaca, selain karena berbentuk cerita ketita puisi ini syarat akan makna kehidupan baik itu dalam pemerintahan dan masyarakat sampai pada dunia modern yang menjadi pisau bermata dua bagi generasi penerus bangsa.
Melalui puisi ini, sekali lagi kita bisa belajar bahwa puisi bukan hanya sekedar khayalan yang berisi kata-kata indah, lebih daripada itu puisi berupa cermin kegetiran penyair sebagai bentuk kepeduliannya terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat, sehingga diharapkan kita bisa sama-sama mau membuka mata untuk berubah ke arah yang lebih baik. Terima kasih untuk kiriman puisinya, ditunggu karya puisi lainnya. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post