Oleh : Amelia Nur Qholid
(Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Gaya bahasa dikenal dengan istilah style yang diturunkan dari bahasa latin stilus, yang merupakan semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Istilah ini digunakan karena kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Gaya bahasa ini merupakan bagian dari pilihan kata (diksi) yang membahas tentang sesuai atau tidaknya pemakaian kata, frasa, dan klausa untuk menghadapi situasi tertentu. Oleh sebab itu, persoalan atau permasalahan gaya bahasa meliputi pilihan kata secara individual, frasa, klausa, kalimat, dan wacana secara keseluruhan. Gaya bahasa ini dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam karya seni.
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis. Gaya bahasa ini memanfaatkan kiasan (figuratif) yang mengungkapkan sesuatu tanpa menunjuk secara langsung objek yang dituju. Unsur-unsur yang terdapat dalam gaya bahasa adalah kejujuran, sopan santun, dan menarik. Kejujuran dalam bahasa berarti mengikuti aturan, kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Selanjutnya, sopan santun dalam berbahasa adalah memberikan penghargaan dan menghormati lawan bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Yang terakhir, menarik dalam berbahasa adalah pelengkap dari kejujuran dan sopan-santun. Sarkasme adalah salah satu gaya bahasa yang menunjukkan sikap kurang santun dalam berbahasa.
Kata sarkasme berasal dari bahasa yunani sarkasmos yang diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti ‘merobek-robek daging seperti anjing’, menggigit bibir karena marah, atau ‘bicara dengan kepahitan’ (Keraf, 1985 : 144). Sarkasme termasuk dalam majas pertentangan. Sarkasme merupakan turunan dari majas ironi dan sinisme. Apabila dibandingkan dengan majas ironi dan sinisme, sarkasme mengandung olok-olok dan menyakiti hati (Poerdawinta, 1976 : 874)
Ciri utama dari sarkasme yaitu selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar (Tarigan, 1990 : 92). Ciri-ciri lain dari majas sarkasme adalah sebagai berikut 1) mengandung olok-olok, ejekan, sindiran 2) mengatakan makna yang bertentangan 3) mengandung celaan dan kepahitan yang getir 4) bahasanya kurang enak didengar. Gaya bahasa sarkasme digunakan untuk tujuan luapan amarah seseorang yang dapat mempengaruhi pembaca atau pendengar, dan sebagai alat komunikasi.
Cerpen “Negeri Pemuja Koruptor” karya Dede Dermawan yang terbit di Kompas, 1 Maret 2024 menceritakan kisah Kasman, seorang pencuri dari negeri Suka Miskin yang ingin memasuki negeri Pemuja Koruptor karena ingin sukses. Saat masuk, ia terpukau karena para koruptor di negeri itu bisa hidup tenang tanpa ditangkap ataupun dihukum. Saat sampai di ibukota negara Pemuja Koruptor, Kota Gila Korupsi, Kasman bertemu dengan seorang koruptor sukses yang bernama Sukorup. Kasman yang terbuai dengan kesuksesan Sukorup menjadikannya sebagai panutan atau idolanya. Ia mencari pekerjaan dengan cara membuat ijazah dan sertifikat palsu. Saat mendapatkan pekerjaan itu, ia melakukan korupsi pada setiap proyek dan menjadi orang yang sangat sukses. Dari ia masih lajang hingga memiliki anak korupsi itu tetap berlanjut, bahkan mengajarkan anak-anaknya untuk korupsi sejak dini. Pada akhirnya, Kasman bertaubat karena ia hampir celaka ketika jembatan hasil pengerjaan proyeknya roboh dan dalam mimpi ia didatangi oleh korban-korban yang meninggal akibat proyek yang gagal itu.
Dari judul dan sinopsis cerita, penulis berniat untuk menyindir pemerintah negara ini atas banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat. Terdapat empat yang bermajas sarkasme dalam cerpen “Negeri Pemuja Koruptor”. Yang pertama, ada pada awal cerita, yaitu ungkapan Kasman ketika melihat spanduk caleg yang mendukung adanya korupsi, seperti kutipan berikut.
”Gila negerinya maju banget, maling aja bisa jadi caleg,” seru Kasman melihat spanduk bertuliskan ”Dukung Pak Barry, korupsi dana irigasi, tetapi berjanji korupsi lebih banyak lagi” (Dermawan, 2024).
Pada kutipan itu, penulis cerpen merasa sangat takjub karena di Negara Pemuja Koruptor calon legislatif bisa melakukan kampanye korupsi secara terang-terangan. Sebenarnya, secara tidak langsung itu merupakan sindiran terhadap para pendukung atau tim sukses terhadap calon legislatif yang sudah jelas-jelas melakukan korupsi di negeri itu. Selain itu, spanduk yang dilihat penulis cerpen juga menunjukkan bahwa tidak adanya tindak lanjut dari pemerintah sekitar terhadap tindak korupsi yang ada di negeri itu. Banyak oknum di pemerintah juga melakukan hal yang sama, yaitu melakukan korupsi seenak hati dengan tujuan memperkaya diri sendiri. Sementara itu, rakyat di negeri tersebut mengalami kelaparan dan sudah hampir seperti tengkorak hidup.
Dalam kehidupan nyata, banyak juga kita lihat keadaan rakyat yang sangat memprihatinkan, tetapi tidak ada perhatian dari pemerintah. Banyak calon anggota dewan yang sudah jelas melakukan korupsi pada pekerjaan sebelumnya, tetapi tetap dibiarkan mencalonkan diri. Penanganan masalah ini belum ada yang ampuh karena pemerintah kurang tegas dan lembaga pemberantasan korupsi bergerak lambat. Perilaku korupsi seperti sudah mendarah daging, seperti kutipan berikut.
Ia sudah disiapkan menjadi koruptor oleh neneknya sejak dulu. Konon dari bayi sudah korupsi jatah minum susu milik saudaranya sendiri…(Dermawan, 2024).
Narasi tersebut bermakna bahwa saking nikmatnya melakukan korupsi, sang nenek mengajarkan Sukorup sejak masih bayi. Keinginan dan kehausan seseorang agar tetap memiliki harta dan tahta membuatnya rela melakukan apapun. Dari cerpen ini adalah si nenek yang mengajarkan cucunya korupsi dan juga ada Kasman yang mengajarkan anak-anaknya korupsi kepada teman-teman mereka. Sukorup adalah nama dari koruptor yang sangat sukses di negerinya, yang hidup aman tentram hingga 7 keturunan. Dari nama saja sudah dapat dilihat bahwa keluarganya sudah merencanakan masa depan si Sukorup dan juga mengambil lebih jatah susu milik saudaranya yang sebenarnya tidak baik.
Sama sarkasme sebelumnya, narasi yang dibuat ini juga bisa terjadi dalam kehidupan nyata. Karena tidak ingin hidup miskin dan hidup susah, secara tidak langsung anak-anak diajarkan untuk mengambil sesuatu yang bukan hak mereka. Pada masyarakat ekonomi bawah, contohnya pengamen, pengemis, dan anak-anak yang tinggal di jalan diajarkan mencuri barang yang bukan milik mereka. Perilaku itu akan berdampak besar bagi masa depan anak-anak. Bentuk sarkasme lain dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Gelar kau ini macam truk gandeng saja, banyak sekali di belakangnya.” Kata penjaga (Dermawan, 2024).
Ucapan penjaga ini terjadi saat Kasman menyerahkan ijazah dan sertifikat pelatihan palsu untuk bisa ikut ujian PNS. Kasman sebenarnya tidak memiliki ijazah karena di kota Suka Miskin ia tidak memiliki cukup uang untuk bisa sekolah. Dia membeli ijazah palsu dan setumpuk sertifikat pelatihan. Ucapan yang dilontarkan oleh penjaga itu adalah bentuk sarkas dari penjaga karena gelar diijazah Kasman sangat banyak. Saking banyaknya gelar pada ijazah palsu itu, membuat orang yang melihatnya tidak yakin. Tetapi di negeri ini tidak ada yang mempedulikan itu, bahkan gedung tempat ujian PNS saja sudah tidak terawat. Uang yang sangat berkuasa dan berdampak di negeri ini.
Penulis menyampaikan sindiran kepada orang-orang yang memalsukan ijazah supaya bisa menjadi pejabat pemerintah. Dengan banyak gelar serta pelatihan dari berbagai lembaga untuk meyakinkan semua orang. Zaman sekarang siapa saja bisa memalsukan ijazah ataupun riwayat pendidikannya untuk bisa bertahan hidup walaupun dengan cara yang salah.
Satu persatu bangunan yang dikorupsi rubuh menimbulkan bencana besar. Para pejabat tidak peduli hingga seluruh negara amblas ke dasar lautan (Dermawan, 2024).
Keserakahan para pejabat terhadap uang dan kekuasaan membuat mereka tidak peduli tentang apa dampak yang muncul setelah itu. Dana proyek pembangunan negara yang dikorupsi membuat bangunan yang ada di sana menjadi mudah rusak. Kerusakan yang makin terlihat hari demi hari membuatnya hancur dan rubuh sehingga seluruh bangunan yang ada disana hancur karena cara pembangunan yang tidak terencana demi mendapatkan keuntungan besar. Pada kenyataannya, negara Indonesia juga mengalami hal-hal yang demikian. Banyak sekali proyek gagal dan terbengkalai akibat keserakahan koruptor. Gedung-gedung pencakar langit, sekolah, apartemen, dan bangunan lain yang menjadi fasilitas umum banyak yang mudah rubuh.
Jadi, sarkasme dalam cerpen “Negeri Pemuja Koruptor” adalah untuk mengkritik pemerintah dan seluruh pejabat yang suka melakukan korupsi. Sarkasme juga mengolok-olok kebiasaan korupsi para pejabat dan siapa pun yang merugikan negara dan orang lain. Hukum terhadap koruptor kurang tegas, bahkan ada juga lembaga pemberantas korupsi yang mau menerima uang suap dari pelaku korupsi. Hal itulah yang membuat para pelaku tidak takut untuk melakukan korupsi karena mereka yakin bahwa semua bisa dibeli dengan uang, termasuk keadilan. Cerpen ini ditulis atas kejadian nyata yang dikemas dan disusun dengan gaya bahasa sarkasme. Cerpen ini juga menggunakan beberapa gaya bahasa lain, seperti personifikasi, ironi, dan sinisme, tetapi gaya bahasa yang dominan digunakan dalam cerpen ini adalah sarkasme.
Discussion about this post