Oleh karena itu, ketika seorang perempuan mencari laki-laki sudah dinilai buruk dalam masyarakat, perempuan-perempuan yang ketahuan memikat laki-laki akan dilukiskan sebagai uir-uir minta getah. Uir-uir merupakan tonggeret, cenggeret, cikadas, turaes, atau serangga berukuran besar yang mempunyai pelantang di bawah sayap sehingga dapat bersuara nyaring; sedangkan getah merupakan ‘zat cair dari batang kayu yang bersifat melekat’. Seorang perempuan yang diperibahasakan sebagai uir-uir minta getah tentu sangat tidak baik karena dianggap tidak mampu menjaga perilaku, tingkah laku, dan nama baik dirinya serta keluarganya.
Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, dua orang perempuan atau lebih juga dilarang menghendaki seorang laki-laki yang sama. Jika ada yang melakukan hal demikian, mereka diperibahasakan sebagai satu sangkar dua burung yang bermakna ‘dua orang perempuan sama-sama menghendaki seorang laki-laki’. Betapa akan menjadi aib dan malu keluarga jika ada dua orang perempuan berperilaku demikian. Bak tidak ada laki-laki lain yang bisa dijadikan teman hidup dan bak tidak ada akhlak dan moral yang baik yang bisa membimbing mereka untuk mencari laki-laki yang berbeda.
Jika dilihat peribahasa-peribahasa tersebut seakan-akan mencerminkan betapa buruknya perempuan Indonesia. Peribahasa yang mencerminkan hal buruk lebih banyak dibandingkan peribahasa yang mencerminkan hal baik. Namun, KBBI sebagai perekam kosakata bahasa Indonesia sesungguhnya hanya merekam jejak kehidupan masyarakat pada suatu masa.
Pada zaman dahulu, seorang perempuan sangat dianjurkan untuk berperilaku baik dan menjaga nilai-nilai kesopanan. Jangan sampai seorang perempuan mendapat cap atau pelabelan melalui peribahasa-peribahasa tersebut. Mereka harus berhati-hati dalam menjalani kehidupan agar tidak merugikan nama baik diri sendiri dan nama baik keluarga.
Di balik itu semua, kalau kita lihat dari segi kebudayaan, bahasa Indonesia ternyata memiliki kekayaan peribahasa. Peribahasa-peribahasa tersebut memanfaatkan alam dan lingkungan sebagai sumber pembelajaran. Jika tidak direkam dalam peribahasa, pasti tidak akan banyak anak-anak sekarang yang tahu apa itu sigai, enau, lesung, alu, timba, ulam, dan uir-uir. Kehidupan masyarakat yang ditata dalam lingkungan perkotaan membuat mereka tidak lagi akrab dengan kosakata lingkungan (ekoleksikon). Kehidupan perkotaan juga membuat mereka disuguhkan perkakas modern yang serba praktis sehingga mereka tidak pernah merasakan kehidupan tradisional orang-orang pada masa lampau yang sehat setiap hari karena menimba air di sumur atau berjalan mengambil air di telaga nan jauh. Namun, kamus telah merekamnya sebagai jejak kehidupan.
Discussion about this post