Oleh: Rosidatul Arifah
(Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Eksistensi kebudayaan dan tradisi akan terus berubah sesuai perkembangan zamannya”
Sebagai negara kepulauan yang cukup luas, Indonesia termasuk salah satu wilayah yang didiami beraneka ragam suku bangsa dengan latar kebudayaan masing-masing. Kebudayaan suku Minangkabau merupakan salah satu dari kian banyak kebudayaan yang mempunyai peran penting untuk tetap dilestarikan hingga hari ini.
Kebudayaan adalah media penting bagi pembentukan karakter suatu masyarakat. Aturan dan norma-norma adat yang ada di masyarakat berfungsi sebagai pedoman dan landasan dalam menjalani kehidupan. Salah satu bentuk kebudayaan lisan yang dianut masyarakat Minangkabau dengan fungsi sebagai pedoman dan media penyampaian pesan ini adalah ungkapan kepercayaan atau dalam istilah ilmu folklor dikenal dengan “Ungkapan Larangan”. Ungkapan ini termasuk salah satu bentuk folklor sebagian lisan. Kepercayaan warga setempat sebagian besar disampaikan berdasarkan ungkapan suruhan serta larangan. Meskipun kepercayaan masyarakat setempat sudah mulai memudar dalam kehidupan sekarang, namun sejatinya tak sepenuhnya hilang.
Ungkapan berupa larangan ini biasanya ditujukan sebagai media edukasi orang tua terhadap anaknya, dan edukasi untuk berlaku santun sesuai tatanan norma. Namun, pergeseran zaman bukan hanya meluluhkan peradaban tradisional dengan segala manualitasnya namun juga menimbulkan pergeseran terhadap nilai-nilai budaya yang dianggap kuno hari ini. Tak terkecuali ungkapan larangan. Ungkapan yang mulanya dituturkan bertujuan mengedukasi agar tetap berlaku santun dan menjaga etika kadang malah diplesetkan menjadi lelucon. Memang tidak ada yang dapat disalahkan dalam konsep pergeseran budaya ini karena sejatinya, agar tidak tertinggal kita harus menerima perkembangan zaman dan hidup dalam keadaan yang baru dan tentu tidak relevan dengan norma-norma yang lama.
Sebetulnya amat banyak ungkapan larangan yang bisa ditemui di daerah Sumatera Barat, salah satunya yang ada di Padang Pariaman, tepatnya di Nagari Tandikek, Kecamatan Patamuan. Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di sana, ada beberapa ungkapan larangan yang penulis sampaikan. Ungkapan larangan yang masih eksis hari ini di Tandikek dan masih sering dipakai dan dilafalkan oleh urang gaek kepada anaknya, atau sesama dewasa, bahkan antara anak remaja ungkapan larangan sering didengarkan. Berikut beberapa ungkapan larangan yang masih sering digunakan di Nagari Tandikek.
1. Jan balimau sanjo aghi, beko kamatian laki!” (Jangan keramas di senja hari, kelak suamimu akan meninggal!)
Ungkapan larangan ini ditujukan kepada anak gadis (anak perempuan) setempat yang senang keramas pada senja hari. Masyarakat setempat dulunya memiliki kamar mandi yang berada di luar rumah, dan terpisah dari rumah. Untuk ke kamar mandi, biasanya harus melewati halaman/perkarangan rumah, oleh karenanya anak gadis dilarang berkeramas di senja hari karena akses kamar mandi yang tidak langsung berada di dalam rumah. Alasan kedua yaitu “agar bantal tidak basah”. Anak gadis di daerah Gunuang Tigo dahulu senang memanjangkan rambut. Anak gadis panjang rambut biasanya akan dianggap cantik jika berhasil merawat rambut panjangnya. Jika anak gadis mandi di senja yang berdekatan dengan malam hari, tentu rambutnya yang belum kering akan membasahi bantal.
2. Jan mangunguih di dapua, beko dapek laki urang gaek!” (Jangan bernyayi di dapur, kelak kamu dapat suami yang sudah tua!)
Ungkapan larangan ini ditujukan untuk menakut-nakuti anak gadis yang senang mangunguih (bernyanyi) di dapur. Tentu bukan tanpa sebab, bernyayi di dapur adalah perilaku sumbang dalam kehidupan di masyarakat Minangkabau. Masyarakat setempat menganggap bernyanyi di dapur seolah menggambarkan ketidakseriusan seorang perempuan dalam melaksanakan tugasnya di dapur, sehingga dianggap tidak sopan dan meremehkan pekerjaannya.
3. Jan lalok jontak kaki, beko induak mati baanyuik” (Tidur jangan menjontakkan kaki atau mengangkat sebahagian kaki, nanti ibu meninggal dalam keadaan hanyut).
Ungkapan larangan ini biasanya diperuntukkan bagi anak gadis di Minangkabau yang senang tidur dengan kaki setengah terangkat. Bagi masyarakat Minangkabau yang identik dengan kesopanan dan tata krama yang tinggi, sehingga perbuatan ini menodai norma kesopanan sebagai anak gadih di ranah Minangkabau.
4. Jan duduak dimuko pintu, beko tasakang kapalo anak! (Jangan duduk di pintu, nanti kepala anak susah keluar apabila melahirkan).
Ungkapan larangan ini biasanya diperuntukkan bagi gadis-gadis dan ibu hamil. Duduk di pintu merupakan sumbang duduak bagi perempuan ranah Minang. Perempuan Minang mempunyai kedudukan yang sangat dimuliakan sehingga banyak aturan yang diciptakan untuk menjauhkan mereka dari perbuatan yang sumbang secara adat. Duduk di depan pintu melambangkan ketidaksopanan perempuan dalam menjaga adab-nya, oleh karena itu larangan ini dibuat sebagai bentuk ancaman bagi perempuan untuk selalu menjaga etikanya.
5. Jan makan makanan siso anak wak, beko damam wak dek e! (Jangan memakan makanan sisa anak, nanti sang ibu akan demam).
Ungkapan larangan ini biasanya diperuntukkan untuk ibu-ibu yang memiliki anak. Larangan ini dibuat untuk edukasi agar anak-anak tidak gampang menyisakan makanannya, dan biasanya para ibu cenderung membiasakan hal ini, oleh karena itu dibuatlah larangan ini agar sang ibu tidak gampang membiarkan anaknya makan bersisa, dan anak-anak juga tidak gampang menyisakan makanan.
6. Anak daro jolong baralek ndak buliah bajalan banyak, beko hilang manih basuntiang! (Pengantin wanita ketika akan menikah, tidak boleh banyak berjalan kesana kemari, nanti hilang kecantikannya ketika bersanding di pelaminan).
Ungkapan larangan ini diperuntukkan bagi anak daro (pengantin wanita) yang akan menikah agar tidak banyak bergerak (berjalan kesana-kemari), malala (pergi bermain), ditakutkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kecelakaan, jatuh, dan hal-hal yang diluar kendali lainnya yang akan mengganggu proses pernikahan nantinya.
Itu adalah beberapa dari ungkapan larangan yang masih terdengar di sekitar wilayah Tandikek, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman. Ungkapan larangan yang berhasil ditemukan mayoritas berstruktur dua bagian, yaitu mengandung unsur kausalitas yang terdiri dari sebab-akibat. Terdiri dari kata larangan “jangan” dan disertai sebabnya “karena”.
Jan balimau sanjo aghi (sebab) = Jangan keramas senja hari
Beko kematian laki (akibat) = nanti suaminya meninggal
Lalu, bagaimana dengan eksistensi ungkapan larangan hari ini? Eksistensi ungkapan larangan hari ini di Nagari Tandikek jika dikatakan sudah punah atau langka adalah suatu kesalahan. Sebab setelah ditinjau, ternyata masih banyak ungkapan larangan yang masih sering dilontarkan. Namun, sayangnya, ungkapan larangan ini tidak lagi mencapai titik fungsi dan peranan seperti yang diinginkan oleh penuturnya dahulu. Jika dahulu, ungkapan larangan dapat digolongkan menjadi sesuatu yang sakral hingga dipercayai benar dan nyata adanya walau memang dialihfungsikan kepada maksud yang lain, masyarakat menganggap hal itu adalah sesuatu yang sakral. Pada hari ini, di Nagari Tandikek, ungkapan larangan tetap digunakan, tetapi bukan lagi tentang kesakralannya.
Ungkapan larangan ini jika ditilik dari sisi religi tentu tidak akan bertemu tali kesinambungan karena ungkapan larangan tidak dibuat berdasarkan norma-norma agama. Ungkapan larangan juga tidak dibuat berdasarkan perjanjian adat tertulis namun lahir dari pengalaman-pengalaman dalam bentuk edukasi dari urang gaek kepada anaknya. Jika ditilik lebih dalam, ungkapan larangan mengandung banyak nilai-nilai dan pembelajaran hidup.
Berangkat dari anggapan ungkapan larangan adalah sekadar mitos belaka, penuturan ungkapan larangan di Tandikek sendiri hari ini sudah tidak lagi mencapai tujuan kesakralannya. Melainkan tak lebih dari sekadar pengetahuan masyarakat umum, bahkan lebih lagi banyak yang mengalihfungsikan sebagai bahan candaan, olok-olok, atau lelucon. “Hari gini masih percaya begituan”. Pernyataan ini sering dijumpai di kalangan remaja dan berdasarkan pengalaman pribadi penulis yang apabila dinasihati tentang suatu hal dengan menggunakan ungkapan larangan oleh urang gaek pada umumnya akan diiya-iyakan saja. Setelah itu akan diolok-olokkan dengan sebaya. Ungkapan larangan pada umumnya mencerminkan keadaan masyarakat yang hidup di zaman itu. Oleh sebab itu, keselarasan makna ungkapan larangan tidak selalu dapat ditangkap oleh setiap generasi ke generasi.
Hal ini juga tidak terlepas dari perkembangan zaman tentang mempercayai atau mempertahankan suatu tradisi dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, “ketinggalan zaman” , atau dianggap kuno. Eksistensi Ungkapan larangan memang masih terjaga hingga hari ini di Tandikek namun kesakralan serta fungsinya sudah tidak sama lagi.
Discussion about this post