Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Belakangan ini, kata “etika” sering kita baca dan dengar dalam berbagai wadah media sosial dan media massa, seperti televisi, koran, Youtube, dan media sosial lainnya. Kata tersebut seakan menjadi “mantra” baru yang acapkali dimanfaatkan oleh politisi atau simpatisan suatu partai politik (parpol) atau pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden untuk mengunggulkan paslon atau mungkin menjatuhkan paslon lain. Tulisan ini mencoba membahas kata “etika” dari segi etimologi dan perkembangan penggunaannya dalam korpus bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Pembahasan mengenai keduanya cukup penting dalam memahami bagaimana bahasa dikonstruksi dan mengonstruksi suatu kelompok sosial.
Kamus Merriam Webster menuliskan makna kata “ethic” yang juga sering ditulis dalam bentuk plural “ethics” dalam bahasa Inggris sebagai ‘ilmu tentang baik dan buruk dan tentang tugas dan kewajiban’. Kata “ethic” digunakan pertama kali pada abad ke-14 dan ditulis sebagai “ethik” dalam bahasa Inggris pertengahan (1100-1500). Kata tersebut semula dipinjam dari bahasa Perancis pertengahan “ethique” yang diserap dari bahasa Latin “ethice”. Jika dirunut lebih lanjut, kata “ethice” justru dipinjam dari bahasa Yunani “ēthikē” yang mulanya berasal dari kata “ēthikos”.
Kata “ethic” diserap menjadi “etika” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai ‘ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak serta kewajiban moral (akhlak)’. Definisi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak terlalu banyak memiliki perbedaan makna.
Bahasa tidak bersifat statis namun dinamis karena makna dan penggunaannya ditentukan oleh konstruksi sosial. Jika ditilik dari korpus bahasa Inggris, kata “ethic” berkolokasi, atau ditemukan dalam konteks sekeliling suatu kata, dengan kata “Protestant”, seperti ditemukan dalam kalimat “The Protestant work ethic was the belief that hard work was an honor to God which would lead to a prosperous reward.” Kalimat tersebut diambil dari suatu situs web yang membahas mengenai kelompok Kristen puritan di Inggris. Kata “ethic” digunakan untuk menjelaskan suatu filosofi dari ajaran Protestan tentang makna kerja keras sebagai pujian kepada Tuhan yang akan menuntun pada imbalan kesejahteraan.
Kata “ethic” dalam korpus bahasa Inggris disandingkan dengan kata “work” dan “Protestant” untuk menegaskan aturan dalam agama yang mengajarkan penganutnya untuk bekerja keras. Penggunaan kata “ethic” dalam contoh di atas sudah mengalami pergeseran dari bukan hanya ilmu tentang hak dan kewajiban, tentang baik atau buruk, namun sebagai landasan hidup yang mengatur penganut Protestan untuk bekerja keras sebagai wujud pelayanan kepada Tuhan. Hal tersebut membuktikan bahwa makna suatu kata bergantung pada tataran “parole” atau penggunaannya, bukan hanya pada tataran “langue” atau strukturnya saja.
Kolokasi kata “Protestant work ethic” tentu tidak terjadi secara kebetulan dan arbitrari. Namun, hal tersebut dikonstruksi oleh konteks sosial yang terjadi di Inggris pada abad ke-16. Keberadaan kelompok Protestan memiliki catatan sejarah yang penting di Inggris dan Eropa ketika tokoh reformasi, seperti Marthin Luther, John Calvin, dan Henry VIII memunculkan Protestanisme dan memimpin reformasi agama, moral, dan sosial terhadap Gereja Inggris. Calvin menganggap bahwa Gereja Inggris telah menjadi produk perjuangan politik dan doktrin buatan manusia sehingga terjadi pemberontakan. Sebagian pemimpin Protestan dan pengikutnya kemudian datang ke Amerika.
Popularitas kolokasi “Protestant ethic” yang ditemukan dalam korpus bahasa Inggris ternyata juga menunjukkan bahwa etika Protestan tersebut juga diadaptasi dan dikiritisi dalam ranah pendidikan dan bisnis. Dalam contoh data dari korpus bahasa Inggris, terdapat kalimat yang mengulas pengaruh ajaran etika Protestan terhadap pola pendidikan anak dan etika bisnis di Amerika. Hal itu menunjukkan bahwa “Protestant ethic” tidak hanya berlaku sebagai istilah yang statis dalam konteks reformasi gereja namun bersifat dinamis yang ranah penggunaannya berkembang dalam suatu kelompok sosial yang menggunakannya.
Pada konteks Indonesia, ketika ditilik pada korpus bahasa Indonesia dalam Sketch Engine, tidak ditemuka frasa “etika Protestan” atau “etika kerja Protestan”. Hal tersebut berbeda dengan yang ditemukan dalam korpus bahasa Inggris. Fenomena tersebut dapat dipahami dalam konteks sejarah perkembangan Protestan di Inggris yang tidak terjadi di Indonesia. Walaupun penduduk Muslim di Indonesia lebih dari 86%, kolokasi “etika Muslim” atau “etika Islam” pun tidak ditemukan dalam korpus bahasa Indonesia. Perbandingan fenomena tersebut cukup unik karena ternyata masyarakat Indonesia tidak menggunakan kata “etika” untuk mengaitkannya dengan suatu ajaran agama tertentu, berbeda dengan apa yang ditemukan dalam korpus bahasa Inggris.
Kata “etika” dalam korpus bahasa Indonesia justru disandingkan dengan kata yang tidak muncul dalam korpus bahasa Inggris, seperti “etika berbusana” dengan contoh kalimat berikut, “Menurutnya, kode etika berbusana merupakan kesepakatan dari mayoritas akademika kampus.” Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menganut kepercayaan berbusana di lingkungan kampus memerlukan aturan. Aturan tersebut mengatur civitas akademika dalam berbusana. Konteks aturan tersebut tidak ditemukan dalam korpus bahasa Inggris.
Penggunaan istilah “etika berbusana” juga muncul sebagai jawaban keresahan pada cara berbusana civitas akademika yang mungkin dianggap tidak sesuai dengan aturan di lingkungan perguruan tinggi. Kalimat di atas muncul dalam konteks cadar yang digunakan oleh salah satu dosen IAIN Bukittinggi. Hal tersebut dianggap tidak mengikuti Surat Edaran pihak kampus yang telah disepakati oleh civitas akademika IAIN Bukittinggi. Pihak kampus juga membantah tentang dugaan isu radikalisme yang muncul dari surat edaran tersebut.
Selain penggunaan cadar, etika berbusana juga digunakan dalam konteks pendidikan madrasah seperti yang termuat dalam kalimat, “Kemudian tata kelola, dan redistribusi guru, serta etika berbusana bagi guru madrasah.” Contoh tersebut juga ditemukan dalam ranah pendidikan yang mengatur cara berbusana guru madrasah. Konteks tuturan tersebut adalah harmonisasi regulasi pendidikan di level madrasah yang menyederhanakan berbagai aturan terkait tata kelola, redistribusi guru, dan etika berbusana.
Dari frasa “etika berbusana”, dapat kita tarik benang merah bahwa “etika” juga diadaptasi dalam praktik berkehidupan yang berpegang pada nilai-nilai tertentu. Konteks pada kedua contoh di atas menunjukkan bagaimana Muslim memahami etika berbusana sebagai wujud dari nilai-nilai keyakinan yang mengatur umatnya dalam berbusana. Etika berbusana yang dituliskan dalam aturan atau surat edaran dalam suatu kelompok sosial. Hal itu menunjukkan bagaimana kata “etika” dipinjam sebagai perangkat untuk mengajak anggota kelompok memenuhi fungsi sosial tertentu yang dianut kelompok tersebut. Dengan demikian, kata “etika” juga bertransformasi sebagai suatu “praktik baik” yang hendaknya dianut dan dilakukan oleh anggota kelompok tersebut.
Fungsi institusi pendidikan dalam contoh di atas diartikulasikan oleh IAIN dan Madrasah sebagai bagian dari Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Sebagai bagian dari pemerintah, mereka mencoba menanamkan nilai nasionalisme walaupun berkiblat pada agama tertentu dan tidak mengadopsi cara berbusana kelompok tertentu yang dianggap radikal. Walaupun telah menuai kritik, beberapa institusi lain di bawah Kemenag sepakat untuk melarang penggunaan cadar di lingkungan kampus sebagai cara untuk “mencegah radikalisme dan fundamentalisme”. Radikalisme dan fundamentalisme merupakan paham yang menimbulkan keresahan di Indonesia dan di dunia global, mulai dari terjadinya bom Bali pada 12 Oktober 2002 hingga bom Katedral Makasar pada 28 Maret 2021. Beberapa pelaku dan keluarga pelaku menggunakan cadar. Hal itu memancing anggapan bahwa cadar merupakan ciri dari kelompok yang berdasarkan paham fundamentalisme dan radikalisme. Pelabelan tersebut juga menjadi pertentangan di kalangan aktivis hak asasi manusia (HAM) yang tidak sepakat dengan aturan berbusana dalam lingkungan kampus.
Contoh kecil di atas memberikan wawasan bahwa suatu kata yang digunakan dalam konteks sosial tertentu dapat mengalami perubahan makna dan fungsi sosial. Jika dalam bahasa Inggris kata “ethic” disandingkan dengan “Protestant” karena faktor sejarah bangsa Inggris, dalam korpus bahasa Indonesia kata “etika” disandingkan dengan “berbusana” karena faktor fungsi sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.
Jika direlasikan dengan konteks sosial saat ini, tentu tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu saat kata “etika” akan bersanding dengan kata “debat”. Hal tersebut dipengaruhi oleh popularitas debat paslon presiden dan wakil presiden yang sarat akan penggunaan kata “etika” yang dilekatkan dan ditujukan pada pihak-pihak tertentu. Apakah “etika” akan mengalami pergeseran makna sebagai “kesetiaan terhadap perjanjian politik” atau “kepatuhan terhadap orang yang lebih tua”? Kita lihat saja perkembangannya dalam korpus bahasa Indonesia beberapa tahun ke depan.
Discussion about this post