Oleh: Ronidin
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Perjalanan darat Padang-Jakarta-Yogyakarta melelahkan. Walaupun melelahkan, banyak orang tetap melakoninya. Buktinya, armada darat seperti bus yang tersedia tidak pernah kosong saban harinya. Belum lagi kendaraan pribadi. Kapal penyeberangan Merak-Bakauheni tidak pernah berlayar dengan penumpang yang sepi.
Walaupun hanya pernah sekali dua kali melakukan perjalanan darat Padang-Jakarta-Yogyakarta, terasa sekali bagi saya sensasi perjalanan itu. Lalu rangkik-rangkik yang didapat sesudahnya. Kisah perjalanan sepanjang lebih kurang 1868 km ini pernah saya ceritakan pada mahasiswa saya di Hankuk University of Foreign Studies di Korea Selatan. Cerita ini keluar dari mulut saya sesudah beberapa mahasiswa menceritakan sensasi perjalanan mereka dari Seoul ke Busan yang berjarak 320 km dengan bus. Apa yang saya ceritakan membuat para mahasiswa itu terpukau. Entah takjub entah apa. Mereka tidak dapat membayangkan perjalanan yang harus ditempuh berhari-hari tersebut. Ketika saya tantang mereka untuk mencoba bila suatu waktu berkunjung ke Indonesia, umumnya mereka menggelengkan kepala. “Oh tidak”, kata mereka ramai-ramai.
Bagi kebanyakan kita, perjalanan darat sejauh itu memang menguras energi, tetapi tidak dengan mereka yang suka traveling. Tidak juga dengan para awak bus yang saban hari bolak-balik menempuh perjalanan tersebut. Secara kasat mata saya melihat mereka enjoy–enjoy saja menikmati perjalanan itu. Mungkin demikianlah sunatullahnya karena dengan perjalanan itu dapur mereka berasap. Dalam konteks ini, tidak dapat ditampik bahwa sesuatu yang dikerjakan dengan cinta tidak akan membebani. Adapun yang sudah membebani pikirannya membuat sesuatu menjadi berat. Bila dalam pikiran sudah tertanam kata “lelah” sebelum memulai mengerjakan sesuatu maka lelah tersebut akan membebani. Memulai dengan beban pikiran lelah menghasilkan kelelahan itu sendiri.
Ini entah hukum teori apa. Hal serupa misalnya ketika kita mau belajar mengendarai motor atau mobil, lalu terlebih dahulu di dalam pikiran kita sudah ada kerumitan-kerumitan seperti bagaimana bila nanti berselisih dengan truk tronton, bagaimana ketika menanjak atau menurun yang curam, bagaimana kalau terjadi macet, bagaimana kalau tiba-tiba anak sekolah melintas, dan sebagainya. Akhirnya, kita akan dihantui pikiran-pikiran itu. Belajarnya tidak akan bisa maksimal. Sebaliknya, lihatlah anak-anak yang tidak dibebani pikiran apa-apa, tanpa ditunjukajari oleh siapa-siapa, tiba-tiba dia sudah mahir saja mengutak-atik layar ponsel menemukan berbagai hiburan atau game yang menyenangkan hati mereka di sana.
Jadi, tanpa membebani pikiran, para sopir dan petualang yang menempuh perjalanan berhari-hari dari Padang ke Jakarta hingga ke Yogyakarta atau bahkan dari Aceh hingga ke Bali tetap enjoy menikmati perjalanan itu. Bila dalam perjalanan udara tidak melihat apa-apa atau pada perjalanan laut hanya melihat bentangan samudera sejauh mata memandang ditambah pula mabuk laut, maka dalam perjalanan darat banyak yang dilihat, banyak yang dirasakan. Di situ sensasinya. Berpuluh jam dari Padang ke Jakarta lalu ke Yogyakarta membelah Sumatera dan menyisir Pantura tidak akan terasa sebab di sepanjang perjalanan mata disuguhi bentangan alam yang memesona di kiri-kanan daerah yang dilewati. Perjalanan ini juga membuka kesempatan untuk melihat negeri orang yang berbeda dengan negeri kita. Efek dari melihat-lihat itu membuat pikiran jadi terbuka.
Dalam perjalanan, hati akan bergumam, pikiran akan berkata. “Ooo seperti ini kiranya lintas tengah (atau timur) Sumatera. Seperti ini pula kiranya rumah-rumah makan Padang yang disinggahi oto bus di setiap persawangan. Seperti ini pula nyatanya ujungnya Lampung di Martapura yang didendangkan Yan Guci melalui lirik pop Minang Merak-Bakauheni, dan seterusnya”. Di ujung Lampung di ekor Sumatera, kita akan menyeberang di pelabuhan Bakauheni. Butuh dua sampai tiga jam dengan kapal reguler atau satu sampai dua jam dengan kapal eksekutif menuju Pelabuhan Merak. Di atas kapal, awak bus dapat rehat sejenak, sedangkan penumpang bisa menikmati pelayaran.
Lalu, bila sudah memasuki tanah Jawa, setelah melewati kawasan Merak dan Cilegon kita akan berjumpa dengan ibu kota Jakarta yang padat dengan gedung-gedung menjulang langit serta jalan yang bersilangan dan ramai. Kita tidak temukan itu di Sumatera. Bila sudah di Jakarta, perjalanan boleh rehat sejenak. Oto bus Sumatera umumnya sampai Jakarta atau maksimalnya sampai Bandung. Bila ingin terus ke Yogyakarta, terpaksa pindah bus dengan bus trans Jawa yang jumlahnya banyak. Perjalanan nantinya akan membawa kita menyisir Pantai Utara Jawa melewati kota-kota, seperti Bekasi, Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan, dan Semarang. Bila sudah di Semarang kita akan mengarah ke selatan menuju arah Ambarawa terus ke Magelang atau di Bawen menuju Salatiga, Boyolali, dan Klaten. Bila sudah di Magelang atau di Klaten, sejam lagi kita akan sampai di Yogyakarta.
Saat ini jalur Pantura mulai ditinggalkan karena orang lebih memilih jalan tol yang praktis dan cepat. Dulu perjalanan Jakarta-Yogyakarta menghabiskan dua belas sampai lima belas jam. Kini sudah hampir sama waktunya dengan naik kereta. Jakarta-Yogya dapat ditempuh antara tujuh sampai sembilan jam perjalanan. Bila jalur Pantura melewati pinggir utara Jawa maka jalur tol lurus saja dari tol Jakarta-Cikampek hingga ke tol Bawen-Yogjakarta.
Melewati rangkaian tol trans Jawa ini berarti melewati sentral Jawa yang eksotis. Di sepanjang perjalanan kita akan disuguhi bentangan pertanian yang menghijau sejauh mata memandang. Di Brebes kita dapat melihat berhektar-hektar ladang bawang yang membangkitkan animo agraris kita dan juga sawah-sawah sebagai lumbung padi nasional. Di sepanjang perjalanan juga ada persinggahan (rest area) yang menyenangkan. Seperti halnya di Sumatera, bus di Jawa juga akan berhenti untuk makan dan istirahat di rumah-rumah makan langganan mereka atau di rumah makan milik perusahaan oto bus tersebut. Kini beberapa perusahaan oto bus telah membuka rumah makan sendiri disertai rest area yang luas seperti yang dimiliki oleh PO Rosalia Indah, PO Agra Mas, PO Hariayanto, dan PO Sinar Jaya.
Demikianlah, perjalanan darat dari Padang-Jakarta-Yogyakarta melelahkan bagi sebagian orang dan menyenangkan bagi yang lain. Saya pertama kali menempuh perjalanan panjang ini ketika masih menjadi mahasiswa S1 di Universitas Andalas. Waktu itu organisasi kemahasiswaan yang saya ikuti mengutus saya bersama tiga teman lainnya mengikuti sebuah pertemuan di Yogyakarta. Berangkatlah kami dengan bus yang kelasnya disesuaikan dengan kantong kami. Perjalanan itu mengesankan karena itulah kali pertama saya menempuh rute darat Padang-Jakarta-Yogyakarta. Sebelumnya saya hanya sampai Jakarta saja.
Perjalanan itu berkesan bagi saya karena hampir seminggu kami di perjalanan. Beberapa kali bus yang kami tumpangi dari Jakarta ke Yogyakarta rusak di perjalanan. Kami harus menanggung derita karena biaya perjalanan membengkak. Untunglah teman yang bersama saya memiliki isi dompet lebih. Kalau tidak, terlunta-luntalah kami di perjalanan itu. Sampai di Yogyakarta kami dijemput panitia di terminal Giwangan, lalu dibawa ke Masjid Kampus UGM. Itulah kali pertama saya ke Masjid Kampus UGM. Lalu, dari Masjid Kampus UGM kami dibawa lagi ke Kaliurang. Di puncak Yogyakarta itulah kami menginap beberapa hari selama pertemuan berlangsung. Itu pula kali pertama saya ke Kaliurang. Beberapa tahun di kemudian hari ternyata saya ditakdirkan untuk kembali ke Yogyakarta. Tak terhitung kalinya saya ke Masjid Kampus UGM juga ke Kaliurang.
Perjalanan darat yang melelahkan itu pada akhirnya memberi hikmah dalam hidup saya. Berkatnya saya jadi mengetahui daerah-daerah di sepanjang lintas Sumatera dan separuh Jawa di bagian barat dan tengah hingga ke Yogyakarta. Adapun ke Jawa bagian timur, ke pusat pemerintahan Majapahit, saya punya memori perjalanan lain yang akan saya kisahkan pada kesempatan lain pula. Memori perjalanan darat Padang-Jakarta-Yogyakarta ini saya tutup dengan sebuah ungkapan yang pas: jauah bajalan banyak nan diliek, lamo hiduik banyak nan dirasoi. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post