Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Siman sudah pergi, sangat jauh dan tidak lagi kembali-Rilen Dicki Agustin
Kehidupan masyarakat tidak berjalan sesuai dengan keinginan masing-masing individu, tetapi dikontrol oleh aturan-aturan yang dibuat penguasa atau berdasarkan kesepakatan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Namun, dalam realitasnya ada beberapa peristiwa yang terjadi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga mereka yang melanggar diberikan sanksi atau hukuman. Selain itu, hal tersebut juga menyebabkan kegaduhan pada kelompok masyarakat lainnya. Dengan demikian, perlu adanya penyamaan pandangan dalam kelompok masyarakat tersebut agar dapat mengikuti akidah, norma, ataupun kesepakatan yang berlaku di dalam sebuah masyarakat. Hal ini biasanya dilakukan dengan penanaman berbagai jenis ideologi untuk meminimalisasi terjadinya hal yang di luar norma atau aturan.
Fenomena terkait pelanggaran norma dan aturan yang dilakukan oleh masyarakat dalam kelompok sosial menjadi fenomena yang sering kali dibahas dalam sebuah karya sastra. Rilen Dicki Agustin, salah seorang penulis yang masih aktif di Program Studi Sastra Indonesia membahas terkait fenomena ini dalam cerpennya yang berjudul Jangan Bakar Lumbung Padi. Pada bagian awal, cerpen ini menceritakan tentang pelanggaran norma yang dilakukan oleh seorang remaja di sebuah rumah ibadah. Penulis menggunakan diksi “membajak”. Namun, cerita tidak hanya fokus pada permasalahan pelanggaran norma, tetapi bagaimana dampaknya setelah peristiwa ini terjadi, misalnya masyarakat ingin rumah ibadah dan anak tersebut dibakar. Kemudian, rumah ibadah, 40 rumah kiri, kanan, depan, belakang harus dirukiah selama 40 hari.
Cerpen tersebut sudah diterbitkan di koran Singgalang pada tanggal 17 Desember 2023. Kemudian, cerpen itu juga sudah didiskusikan secara virtual pada tanggal 26 Desember 2023 dan difasilitasi oleh Labor Bahasa dan Sastra Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Peserta yang hadir secara virtual pada pelaksanaan ini lebih dari 50 orang dan saya berkesempatan membahas cerpen ini dengan judul “Ideologi Simbolik dalam Cerpen Jangan Bakar Lumbung Padi”.
Pada bagian awal cerpen, ada dua tokoh utama yang menarik perhatian pembaca, yaitu Pasik dan Siman. Jika dikaitkan dengan kaidah, tokoh Pasik dapat dikaitkan dengan bahasa Arab yang berarti Fasik dengan orang yang percaya kepada Allah SWT, tetapi tidak mengamalkan perintah-Nya, bahkan melakukan perbuatan dosa (KBBI). Hal ini sejalan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Pasik yang membawa sapi dengan kulit langsat dan berbadan kijang ke dalam rumah ibadah, seperti yang terdapat pada kutipan berikut,
“Nampak samaku kau memasukkan sapi di rumah ibadah. Berserakan kotoran sama air kencing sapi di dalam rumah ibadah kita itu. Tentu tidak sah salat jamaah di atas najis. Sungguh, keterlaluan sekali kau!”
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa apa yang dilakukan Pasik sudah keluar dari norma agama karena sudah berada dalam keadaan tidak suci, bahkan dilakukan di rumah ibadah. Hal yang berbeda digambarkan melalui tokoh Siman, yaitu tokoh yang taat dengan perintah agama. Hal ini tergambar ketika dia menangkap Pasik membawa sapi ke dalam masjid dan meninggalkan kotoran di dalam masjid. Sebelum pamit dari masjid, ia membersihkan dahulu semua najis yang ada dan menutup semua pintu agar bersih. Penggambaran dua tokoh tersebut membuat pembaca dapat menginterpretasikan bahwa ada ideologi agama yang ingin disampaikan oleh penulis melalui cerpennya.
Louis Althusser seorang filsuf Prancis pada abad pertengahan 20 membahas hal yang terkait dengan ideologi yang ada dan berkembang dalam kelompok masyarakat tertentu. Menurut Althusser, ideologi adalah suatu sistem pemikiran dan keyakinan yang mendasari dan membenarkan tatanan sosial yang ada. Ideologi bukan hanya tentang gagasan atau pandangan-pandangan individu, tetapi merupakan suatu sistem yang menyebar dan diterima oleh masyarakat luas. Kemudian, ideologi juga tidak hanya terbatas pada tingkat pikiran dan kesadaran individu, tetapi juga terdapat dalam lembaga-lembaga sosial dan praktik sehari-hari.
Althusser dalam bukunya yang berjudul Ideology and Ideological State Apparatuses membagi dua jenis ideologi, yaitu Aparatus Represi Negara atau Repressive State Apparatus (RSA) dan Apartus Ideologi Negara atau Ideological State Apparatus (ISA). Represif terkait dengan aturan yang ditetapkan dalam suatu kelompok dan akan diberikan sanksi atau hukuman ketika melanggar hal tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa RSA berkaitan dengan institusi-institusi yang ada di pemerintahan, misalnya polisi, militer, dan sistem peradilan yang bertugas untuk menegakkan atauran yang ada dalam sebuah kelompok masyarakat. Kemudian, ISA berkaitan dengan penanaman pandangan kepada seseorang atau kelompok orang sehingga memiliki pandangan yang sama terkait suatu hal. Penanaman ISA ini berkaitan dengan pandangan keluarga, lembaga pendidikan, agama, dan lembaga lainnya yang memberikan nilai dan pandangan sehingga menghasilkan ISA agama, pendidikan, keluarga, hukum, politik, serikat buruh, serta komunikasi dalam hal ini berkaitan dengan pers atau media.
Pada dasarnya represif dan ideologi memiliki tujuan yang sama, yaitu terkait dengan kesamaan aturan yang harus dipatuhi oleh seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Namun, keduanya memiliki fungsi utama dengan cara penyampaian yang berbeda. Jika, RSA memulai dengan memberikan sanksi agar seseorang mengikuti aturan, tetapi ISA mengutamakan pandangan melalui penanaman ide dan gagasan.
Cerpen “Jangan Bakar Lumbung Padi” menggambarkan kedua hal ini. RSA hadir ketika masyarakat ingin membakar rumah ibadah dan juga remaja yang melakukan kesalahan, tetapi pengurus masjid menenangkan warga dengan mengatakan bahwa pelanggaran norma tersebut sudah dilaporkan pada pihak yang berwenang, yaitu kepolisian. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut,
“Bapak pengurus yang satu lagi pun keluar, “Benar apa yang dikatakan Damin itu Bapak/Ibu, Pasik itu sudah kami amankan, kami juga sudah menelepon pihak yang berwajib, kemudian untuk sapi itu sudah kami kembalikan pada yang punya. Pasik dan pemilik sapi itu kita kenakan denda sesuai hukum adat kita. Mari kita bubar semuanya, Bapak/Ibu. Besok, kita sudah bisa mulai untuk membersihkan rumah ibadah kita ini, bukan dibakar, ya, Bapak/Ibu, diulangi sekali lagi, dibersihkan.” “Di rukiah juga, Pak,” tambah Damin.” “Ya, itu juga…”
Hal tersebut menggambarkan bahwa seseorang yang melakukan kesalahan akan dilaporkan pada pihak yang berwajib karena aturan yang ada di masyarakat berlaku atas dasar hukuman dan sanksi yang diberikan oleh pihak berwenang.
Kutipan di atas tidak hanya menggambarkan bagaimana peran RSA di dalam masyarakat, tetapi juga penggambaran ISA, yaitu ISA budaya dan agama. Dalam hal ini, penulis berasal dari Pasaman, Sumatera Barat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahwa penulis dekat dengan tradisi yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, salah satunya adalah filosofi Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Dalam kutipan ada ajakan untuk bermusyawarah yang dilakukan oleh tokoh pengurus masjid dan Damin. Selain itu, juga ada ajakan untuk merukiah karena pada hakikatnya rumah ibadah adalah tempat yang suci dan harus dibersihkan dari segala najis.
Cerpen ini juga menyuarakan kembali kepada masyarakat untuk mematuhi aturan yang berlaku, baik berdasarkan sanksi yang akan didapatkan ketika melanggar aturan ataupun penanaman pemahaman terhadap norma yang berlaku. Selain itu, juga ada kritik yang digambarkan penulis melalui cerpennya, yaitu terkait pelanggaran yang sudah dilakukan tidak dapat selesai begitu saja. Akan tetapi, ada berbagai proses yang harus dilakukan. Namun, semuanya tidak dapat diselesaikan dengan mudah, apalagi jika pelanggaran norma dilakukan di tempat suci dan penulis memberikan sindiran dengan menggunakan kata “rukiah”. Pada hakikatnya, rukiah dilakukan untuk manusia, tetapi dalam kasus ini apakah rumah ibadah serta 40 rumah di kiri, kanan, depan, dan belakang yang harus dirukiah atau penghuninya yang pada dasarnya tidak melakukan kesalahan apa pun.
Discussion about this post