Oleh: Syafni Aulyya
(Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Folklor lisan merupakan salah satu jenis folklor yang disebarkan, dikembangkan, dan diciptakan secara lisan. Kehadiran folklor lisan jauh sebelum suatu kelompok masyarakat mengenal tulisan dan menjadikan lisan sebagai komunikasi utama. Menurut James Danandjaja, folklore adalah sebagian Kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Folklor sudah berkembang sejak zaman dahulu, membuktikan seperti apa pemikiran masyarakat pada masanya. Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dan cerita di baliknya. Salah satu bentuk folklor lisan yaitu cerita rakyat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerita rakyat merupakan cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan secara lisan. Di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Padang Pariaman, banyak tersebar cerita rakyat, baik itu asal-usul nama tempat, nama benda peninggalan, nama suatu tradisi, dan juga nama objek lain yang sejatinya lumrah bagi masyarakat Indonesia. Salah satu cerita rakyat tersebut yakni asal-usul nama Kambia.
Kambia dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan kelapa yang merupakan buah sekaligus menjadi salah satu bahan masakan yang olahannya dijadikan santan. Kambia bisa tumbuh di mana saja. Tidak hanya buahnya saja, tetapi setiap bagian dari kambia dapat dimanfaatkan. Dilansir dari laman halodoc.com bahwa buah kepala atau kambia bermanfaat bagi kesehatan, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh, membantu menurunkan berat badan, menjaga kesehatan pencernaan, mendukung fungsi otak, menjaga kesehatan jantung, dan mengontrol kamar gula darah. Meskipun begitu, asal-usul nama kambia sudah jarang terdengar, seolah tenggelam di makan zaman.
Dikarenakan cerita rakyat bersifat kuno, generasi muda berpandangan bahwa hal itu tidak begitu penting lagi, dan gencar untuk meningkatkan pengetahuan yang menurut mereka berhubungan dengan masa depan. Cerita rakyat sering dikaitkan dengan masa lalu dan sejarah. Sifatnya yang tradisional, anonimitas, dan tidak diketahui siapa penciptanya, terdengar tidak begitu menarik bagi generasi muda yang cenderung berfikiran secara realistis.
Mina (74) seorang kakak dari pimpinan adat menjelaskan bahwa ‘kambia’ yang sehari-hari disebutkan oleh masyarakat memiliki asal-usul penamaan. Dikisahkan seseorang yang pada saat itu sedang membawa buah kelapa—pada saat itu dikenal dengan ‘buah pulau’ karena buah tersebut hanya ada di pulau—menggunakan biduak (perahu kecil) menuju seberang pulau.
Saat orang tersebut sedang mendayung, tiba-tiba perahunya bermasalah hingga nyaris karam. Seorang anak yang berada di sebuah pulau menyaksikan kejadian itu, lalu memanggil ibunya dengan sebutan ‘Biyai’. Anak tersebut menyerukan karamnya perahu itu, tetapi seruan antara kata ‘karam’ dan ‘biyai’ itu seolah menyatu dan samar terdengar oleh masyarakat yang sedang melintas. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apa yang dibawanya di perahu itu?” Lalu dijawab oleh temannya, “Entahlah, tidak tau.” Sedangkan salah seorang yang lain, mendengar teriakan anak kecil yang menunjuk ke arah orang pada perahu dengan samar. Seruan itu disimpulkan begitu saja oleh orang tersebut bahwa nama buah yang dibawa adalah ‘Kambia’. “Oh. Kambia mah nan dibao e.” (Oh, kelapa namanya yang dibawanya). Kemudian sebutan itu menyebar dari satu orang ke orang yang lain, sehingga di Pariaman dan sekitar menyebut kelapa adalah kambia.
Era modern saat ini, amat jarang orang mengetahui asal-usul penamaan Kambia. Justru kalangan anak muda menjadikan nama Kambia sebagai pelesetan atau bahasa halus dari umpatan yang mereka utarakan. Sewaktu seseorang tengah marah atau kesal, umumnya akan menyebutkan kata ‘baruak (monyet), landeh (makian pengganti ‘babi’), anjiang (anjing)’, maka diperhalus dengan menyebutkan ‘kambia’. Misalnya, “Kambia paja ko mah!” Makna kata Kambia di sini, bukanlah buah kelapa yang sesungguhnya, melainkan bentuk umpatan halus. Makna konotatif ini sama halnya pada kata ‘landeh’ yang merupakan umpatan kasar pengganti kata ‘babi’, tapi bukan makna hewan ‘babi’ yang sesungguhnya.
Tidak hanya itu, terdapat juga contoh lain penggunaan kata ‘kambia’ di situasi tertentu. Contohnya ‘Yo … Paja kambia tu nan mulai dulu mah’, kata ‘kambia’ di sini digunakan untuk menjelaskan perilaku buruk dalam segi menceritakan orang lain atau sebagai kata ganti seseorang yang dijadikan objek pembicaraan. Biasanya pada kalimat ini seseorang menyebutkan kata ‘kambia’ dengan nada rendah sebagai bentuk menyesali perbuatannya, tapi tidak mengakuinya serta menyalahkan orang lain yang disebut ‘kambia’.
Pada kalimat ‘Woi! Kambia ang mah!’ digunakan untuk memanggil atau menegur seseorang yang berperilaku tidak sesuai dan menyinggung seseorang. Biasanya seseorang mengatakan kalimat ini dengan bersorak atau nada tinggi untuk mempresentasikan kekesalannya.
Terdapat juga penyamaran makna makian terhadap seseorang yang dijadikan makna kias, seperti pada kalimat, ‘E …, kambia sompong e!’ yang diartikan sebagai ‘E …, dasar kelapa bolong!’. Menggunakan kata ‘kambia’ sebagai perumpamaan untuk menjuluki sosok yang berperilaku buruk. Selain itu, juga digunakan untuk menghina orang lain secara halus tanpa menyebutkan secara langsung perilaku orang tersebut.
Dengan demikian, saat ini, istilah kambia sudah mengalami pergeseran maksud. Kata ini kerap digunakan sebagai umpatan oleh kalangan anak muda. Hal ini juga membuktikan terdapat penggunaan unsur linguistik. Satu kata yang sama dengan makna yang berbeda, tergantung konteks kata itu digunakan dalam sebuah kalimat.
Discussion about this post