Oleh: Roma Kyo Kae Saniro
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Dalam film The Day Before the Wedding (2023), Clara, seorang cosplayer baju pengantin, memulai perjalanan hidupnya dengan impian menjadi pramugari. Namun, setelah mengalami kegagalan dalam seleksi pramugari, hidupnya berubah drastis ketika hamil akibat hubungan dengan pacar sahabatnya, Kinan. Konflik muncul saat Clara dihadapkan pada keputusan sulit menjadi ibu tunggal, sementara hubungan persahabatannya dengan Kinan mengalami ketegangan. Film ini menjelajahi dengan rinci dinamika kehidupan perempuan, mengungkap aspirasi, hak pilihan, dan ketahanan perempuan di tengah konsekuensi sulit yang timbul dari keputusan hidupnya.
Film ini memulai dengan gambaran positif tentang perempuan yang independen dan merdeka melalui karakter Clara. Namun, narasi berkembang ketika Clara, yang pada awalnya digambarkan sebagai individu kuat, terlibat dalam hubungan yang tidak semestinya setelah terpengaruh oleh alkohol. Kondisi ini mengarah pada kehamilan Clara dengan pacar sahabatnya sendiri. Ia menggugah pertanyaan filosofis yang mendalam tentang apakah kemerdekaan perempuan masih dapat dipertahankan ketika mereka membuat pilihan hidup yang salah atau terpengaruh oleh situasi tertentu. Pergeseran ini memberikan dimensi kompleks pada narasi dan mengajak penonton untuk merenungkan dampak dari kesalahan atau situasi yang tidak terduga terhadap kemerdekaan perempuan.
Awalnya, film menampilkan gambaran perempuan yang independen, tetapi melalui perkembangan cerita, film ini menggambarkan bahwa kemerdekaan perempuan tidak selalu mutlak atau terbebas dari kesalahan. Ini menciptakan panggung untuk diskusi dalam konteks feminisme, di mana perempuan dihadapkan pada tantangan dan pertanyaan moral terkait dengan kebebasan mereka dalam membuat keputusan. Isu ini mencerminkan kompleksitas realitas kehidupan perempuan yang tidak selalu sesuai dengan narasi idealis feminisme. Film ini memberikan sudut pandang yang lebih nuansawan terhadap perjuangan perempuan dalam meraih kemerdekaan sejati.
Dalam film The Day Before the Wedding (2023), keluarga Clara menjadi fokus penting yang kompleks dan terhubung dengan isu-isu agama dan poligami. Narasi film menyoroti kehidupan Clara yang berasal dari keluarga yang mempraktikkan poligami dan mengikuti ajaran Islam secara kuat. Clara selalu mengenakan hijab dalam interaksi melalui panggilan video dan saat bertemu dengan ayah serta ibu tirinya, menunjukkan ketaatan keluarganya terhadap nilai-nilai agama. Pakaian tertutup yang sering digunakan oleh keluarga Clara juga menjadi simbol ketaatan terhadap norma-norma agama.
Meskipun terlihat taat pada nilai-nilai agama, film ini juga mengeksplorasi kontradiksi dalam keluarga Clara. Sebagai contoh, adegan merokok oleh ibu Clara dalam percakapan bersama Clara menciptakan nuansa pemberontakan terhadap norma-norma agama yang ada dalam keluarga mereka. Walaupun demikian, keluarga Clara memberikan nuansa positif dengan memberikan dukungan kepada Clara untuk menjadi perempuan yang mandiri dan independen dalam menjalani hidupnya. Ini menciptakan lapisan kecerdasan dalam narasi film, menyoroti dinamika kompleks antara nilai-nilai agama, norma-norma keluarga, dan perjuangan perempuan menuju kemerdekaan.
Dalam film The Day Before the Wedding (2023), ketika Clara dihadapkan pada pilihan yang mungkin dianggap “salah” oleh norma-norma sosial, konsep bahwa kebebasan untuk membuat kesalahan menjadi bagian integral dari perjalanan menuju otonomi perempuan yang diperkuat oleh perspektif Carol Gilligan. Gilligan, seorang psikolog dan feminis terkemuka, menjelaskan bahwa etika perempuan melibatkan penghargaan terhadap konteks hubungan dan kepekaan terhadap kebutuhan serta perspektif orang lain. Dalam film The Day Before the Wedding (2023), ketika Clara dihadapkan pada pilihan yang mungkin dianggap “salah” oleh norma-norma sosial, konsep bahwa kebebasan untuk membuat kesalahan menjadi bagian integral dari perjalanan menuju otonomi perempuan diperkuat oleh perspektif Carol Gilligan.
Gilligan, seorang psikolog dan feminis terkemuka, menjelaskan bahwa etika perempuan melibatkan penghargaan terhadap konteks hubungan dan kepekaan terhadap kebutuhan serta perspektif orang lain. Dalam konteks ini, keputusan Clara untuk menjalani kehamilan dan menjadi ibu tunggal tidak hanya mencerminkan pilihan pribadinya, tetapi juga merupakan ekspresi dari haknya untuk membuat keputusan yang sesuai dengan nilai-nilai dan keinginannya sendiri. Dalam konteks ini, keputusan Clara untuk menjalani kehamilan dan menjadi ibu tunggal bukan hanya mencerminkan pilihan pribadinya, tetapi juga merupakan ekspresi dari haknya untuk membuat keputusan yang sesuai dengan nilai-nilai dan keinginannya sendiri.
Film The Day Before the Wedding (2023) menampilkan narasi yang kompleks melalui kehamilan Clara. Meskipun kehamilan ini tidak dapat dijadikan contoh namun memberikan kebebasan pada Clara untuk mengungkapkan kebenaran kepada pacar sahabat dan sahabatnya yang akan menikah. Perlu dicatat bahwa peristiwa ini tidak dapat dianggap sebagai contoh kemerdekaan perempuan atau esensi dari kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan perempuan seharusnya merujuk pada pembebasan dari segala bentuk diskriminasi gender, peran yang membatasi, dan stigma yang menghambat perempuan.
Kesalahan yang muncul dalam cerita sebenarnya menjadi simbol integral dari kemerdekaan perempuan walaupun tidak seharusnya dijadikan contoh. Sebagai bagian dari konsep kemerdekaan, perempuan berhak untuk membuat pilihan dan keputusan sendiri, bahkan jika terdapat kesalahan dalam prosesnya. Bagian akhir cerita menegaskan bahwa Clara masih memiliki kendali atas hidupnya. Ia memilih untuk mengakhiri mimpinya dan kembali ke kampung sesuai dengan janjinya kepada keluarganya jika ia gagal lagi dalam tes pramugari. Ini menyoroti bahwa, dalam konteks kemerdekaan perempuan, kebebasan untuk membuat keputusan sendiri, meskipun terdapat kesalahan, tetap menjadi inti dari hak dan otonomi perempuan.
Discussion about this post