Oleh: Ria Febrina
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Langit Yogyakarta akhir-akhir ini sangat cantik saat senja dan malam hari. Saat matahari mulai terbenam dan cahayanya berangsur redup, saat itulah langit Yogyakarta berubah dari jingga hingga kuning, lalu memancarkan golden hour atau corak keemasan. Warna-warna tersebut muncul karena temperatur warna yang hangat dengan pencahayaan yang lembut menyebar di langit.
Jika melakukan perjalanan ke arah barat menuju ring road, seperti dari kawasan Titik Nol, Jalan K.H. Ahmad Dahlan, hingga Jalan Kadipiro; serta dari kawasan Jalan Sudirman, Tugu Yogyakarta, hingga Jalan Godean, kita seperti menyaksikan lukisan senja di atas bangunan kota. Kita bak memandang bayangan rumah dan gedung di sisi kiri dan sisi kanan dengan tali-tali yang menyatukan tiang listrik. Pemandangan yang memadukan warna hitam dan kuning keemasan. Berada di jalan lurus ini menambah syahdunya suasana senja menjelang malam di Yogyakarta.
Untuk memandang sisi lain senja di Yogyakarta, kami pun pergi ke atas bukit. Saat itu kami menemani saudara yang datang dari Palembang. Beliau sangat ingin melihat patung KAWS sepanjang 45 meter dengan tinggi 15 meter di Candi Prambanan. Indonesia merupakan negara ke-10 yang memamerkan patung ini. Patung balon raksasa ini memang ditampilkan di tempat-tempat terbuka yang memiliki latar yang menarik, seperti sungai, pantai, taman, atau bangunan bersejarah. Di Indonesia, patung KAWS dipamerkan di pelataran Candi Prambanan.
Saat itu cuaca amat terik. Di kawasan Candi Prambanan, tidak cukup hanya memakai topi dan payung. Kami jadi lebih banyak duduk dan berlindung di bawah pohon yang teduh. Saat panas matahari agak sedikit redup, kami pun berfoto di depan patung raksasa yang didesain oleh seniman terkenal asal New Jersey, Brian Donnelly. Kami berfoto dengan beragam gaya, mulai dari foto di depan patung dengan jarak dekat, hingga foto dengan jarak jauh yang menampakkan patung balon raksasa sedang tidur di sebelah Candi Prambanan. Bahkan, mengikuti tren foto hari ini, kami meniru gaya patung tersebut dengan tidur di atas rumput kawasan Candi Prambahan. Patung KAWS ini mungkin hanya kali ini saja singgah ke Indonesia. Tentu amat sayang melewatkan begitu saja.
Setelah lelah berfoto dan berkeliling di Candi Prambanan, kami pun melaju ke atas bukit. Dengan tujuan melihat senja, kami menyalakan google map menuju Obelix Hills. Obelix Hills merupakan destinasi yang berada di atas bukit, tepatnya di sebelah tenggara Candi Prambanan. Lokasinya terletak di Dusun Klumprit I, II, Kelurahan Wukiharjo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman. Obelix Hills berdiri di atas bukit batu purba seluas 8 hektare. Destinasi ini belum sepopuler HeHa Ocean View dan HeHa Sky View yang akhir-akhir ini viral di TikTok dan Instagram. Namun, Obelix Hills juga menyajikan pemandangan Yogyakarta yang indah kala senja dan malam hari.
Ketika sudah sampai di pertigaan dekat Candi Prambanan, kami belok kanan melewati Jalan Piyungan Prambanan. Setelah itu, kami belok kiri mengikuti jalan menuju Candi Ijo dan Tebing Breksi. Di Tebing Breksi juga amat indah memandang senja sebagaimana tulisan saya sebelumnya (bit.ly/Scientia-TebingBreksi). Namun, karena saya sudah pernah ke sini, kami melewati tempat wisata ini, terus naik mendaki hingga tiba di Obelix Hills.
Ketika mobil kami menaiki jalan menuju Obelix Hills, ada pendakian yang agak tajam. Butuh pengemudi yang lihai melewati pendakian ini meskipun tidak apa-apa jika belum mahir, tetapi tetap harus hati-hati. Setelah berhasil mendaki, kami tiba di pelataran yang cukup luas. Kami memarkirkan mobil di area kanan kedatangan, lalu berjalan menuju pintu masuk ke arah kiri kedatangan.
Para karyawan Obelix Hills menyambut kami di depan loket sembari bertanya apakah sudah memesan tiket secara online atau baru membeli tiket on the spot. Beberapa aplikasi perjalanan sudah menyediakan tiket online sehingga ketika datang pada sore hari, kita bisa masuk tanpa khawatir tidak kebagian tiket. Kami melakukan hal yang sama. Kami sudah membeli tiket sejak siang sehingga setiba di Obelix Hills, hanya perlu melapor dan memindai barcode.
Ketika masuk Obelix Hills, kami melintasi lorong dengan hiasan melengkung di atasnya. Kala malam hari, lengkungan ini akan bercahaya dari lampu warna-warni. Tentu saja amat bagus berfoto di sini. Karena kami datang saat masih sore, kami melanjutkan perjalan ke dalam. Sebagaimana promosi Obelix Hills, di dalamnya terdapat 30 spot yang bisa dijadikan latar berfoto. Spot kedua setelah jembatan tadi, ada teras kaca. Meskipun tidak di tepi jurang, tempat ini bagus juga untuk berfoto.
Setelah teras kaca, ada tulisan Obelix Hills di sisi kiri yang juga bisa dijadikan latar berfoto. Di sisi kanan, kita bisa menikmati jajanan sore, seperti es krim dan sosis bakar. Dari sisi ini, pandanglah ke arah atas. Di sisi atas terdapat sebuah kafe. Ada kursi di depan meja panjang berpagar kaca. Kita bisa memilih duduk di sini sembari menikmati makanan.
Jika ingin beribadah, kita bisa mendaki lagi ke atas. Ada sebuah tempat di bawah payung besar berwarna putih. Namanya Musala on The Rock. Konsepnya musala terbuka. Di bawah tenda tersebut, kita bisa salat dengan pemandangan tebing dan rumah-rumah Yogyakarta dari jauh. Karena musala ini terletak di puncak tertinggi Obelix Hills, kita dapat merasakan salat di atas bukit sembari diterpa angin sore yang agak kencang. Karena kami belum salat asar, kami menikmati suasana salat di tempat ini dengan perasaan yang bahagia.
Setelah salat, kami turun lagi, lalu mendaki ke sebelah sisi musala. Di sana disediakan dua buah sepeda yang sudah ditambatkan di sisi tebing yang miring. Kami pun menaiki sepeda ini sembari mengambil foto kala berada di atasnya. Apa yang kami rasakan? Sangat ngeri. Bagi yang memiliki jantung lemah, saya tidak menyarankan menaiki sepeda ini. Meskipun sudah tertambat dengan kuat, saat menaikinya kita bak berada di puncak bianglala atau di puncak roller coster.
Setelah mengambil foto bersepeda, kami naik lagi ke atas dan menemukan bangunan mirip rumah-rumah di Mexico. Namanya Casa Mexicana. Mulai dari tangga paling bawah hingga tangga paling atas bangunan, banyak sisi yang estetik untuk berfoto. Di sudut bangunan ada bunga dan juga lampu yang menambah cantiknya dinding yang berwarna kuning, hijau, pink, dan biru ini. Di seberang tangga paling bawah, kita juga bisa menguji nyali dengan atraksi panjat tebing. Bak kata generasi TikTok, kita bisa olahraga tipis-tipis di sini.
Setelah menikmati berfoto di bangunan ini, kami turun ke bawah dan melihat wahana-wahana yang sangat seru dinaiki. Ada The Swings, ayunan setinggi 12 meter di pinggir tebing; ada Eagle Nest, tempat bersantai dari jaring di pinggir tebing; dan ada Edge at Rock Bar yang menyajikan lantai kaca agar kita bisa berjalan di atas tebing. Namun, karena jantung kami agak lemah, tak satu pun dari wahana itu yang kami naiki.
Satu-satunya tempat yang paling kami suka adalah floating deck yang berada di tepi jurang dengan jaring-jaring di semua sisi. Kami duduk di sisi barat tebing dengan darah yang tiap sebentar berdesir karena merasa agak ngeri. Meskipun demikian, kami tetap duduk di sini untuk menguji kekuatan jantung. Kawasan ini sebenarnya tidak semengerikan Eagle Nest, namun tetap membutuhkan nyali yang tinggi.
Saya kemudian menjuntaikan kaki di pinggir tebing, Di sebelah saya ada lentera berwarna hitam. Pemandanan yang sangat bagus kala adik saya mengambilkan foto dari belakang. Setelah itu, kami berpindah ke spot lain di Obelix Hills dan duduk hingga malam datang. Yogyakarta memang memberikan banyak suasana senja yang berbeda. Mungkin karena Yogyakarta jarang hujan, kami bisa menikmati senja setiap waktu.
Discussion about this post