Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Saat ini agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan atau yang lebih dikenal dengan Suistinable Development Goals (SDGs) menjadi perhatian oleh banyak pihak. Salah satunya adalah perkembangan dunia pariwisata sehingga banyak objek yang saat ini “disulap” menjadi tempat wisata. Hal ini terkait dengan suistinable tourism atau pariwisata berkelanjutan yang melihat dampak wisata dalam jangka panjang sehingga akan membantu untuk target SDGs, mislanya goals ke 8 yang dengan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi.
Dari penjabaran di atas dapat diketahui bahwa sektor wisata akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi masyarakat karena dengan adanya sektor wisata masyarakat dapat membuka usaha tertentu. Kemudian, dengan adanya peluang usaha yang dibuka maka akan sekaligus menciptakan lapangan kerja untuk masyarakat sekitar lokasi wisata. Hal ini yang menyababkan sektor wisata menjadi pembangunan berkelanjutan yang memberikan dampak baik kepada masyarakt sekitar jika mampu mengelola sektor wisata tersebut dengan baik.
Salah satu sektor wisata yang menarik dan banyak diminati oleh masyarakat Indonesia saat ini adalah wisata budaya. Tidak hanya masyarakat, tetapi juga menarik perhatian pemerintah sehingga ada penyediaan dana untuk proses revitalisasi suatu lokasi wisata budaya, misalnya salah satu tempat wisata di Samosir, Sumatera Utara, Hutta Siallagan yang direvitalisasi pada tahun 2020. Selain itu, pemerintah juga menyarankan agar beberapa desa dijadikan sebagai desa wisata.
Salah satu desa yang dicanangkan oleh pemerintah setempat untuk menjadi desa wisata dan juga diapresiasi oleh masyarakatnya adalah Desa Matotonan yang ada di Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai. Kabupaten Mentawai merupakan salah satu kabupaten yang menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Barat namun berada di luar dari wilayah Pulau Sumatera. Kabupaten Mentawai memiliki empat pulau yang letaknya terpisah, tetapi berdekatan dengan Sumatra Barat, yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman. Dengan demikian, kabupaten ini dihuni oleh mayoritas masyarakat Suku Mentawai dan Minangkabau. Pusat pemerintahan Kabupaten Mentawai berada di Tua Pejat, Pulau Sipora.
Desa Matotonan yang berada di Siberut Selatan sudah dicanangkan sebagai desa wisata karena dianggap masih memegang dan menjaga kelestarian adat istiadat Suku Mentawai hingga saat ini. Desa ini juga dianggap sebagai desa sikerei karena memiliki sikerai yang cukup banyak sekiatar 40an orang. Desa ini berdiri pada hari Minggu, 10 Agustus 1980.
Perjalanan menuju Desa Matotonan tidak bisa ditempuh dengan mobil atau motor, tetapi ditempuh dengan pompong atau perahu kecil yang paling banyak hanya diisi lima orang. Perjalanan melalui jalur darat pada desa ini memang belum cukup memadai sehingga harus menyeberangi sungai dengan pompong. Hal ini tentu saja juga menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Namun, jika air sungai terlalu tinggi atau teralalu dangkal juga akan menyulitkan penyeberangan. Jika dilihat dari sisi pengunjung, transportasi yang digunakan untuk sampai ke Desa Matotonan sudah menjadi salah satu hal yang unik karena kita dapat melihat sungai dan hutan di sepanjang perjalan yang kurang lebih 4 jam-an. Itu sudah menjadi bagian dari wisata.
Sesampainya di desa Matotonan rumah yang ada di sepanjang jalan desa juga masih berbentuk uma Matotonan. Hal yang paling jelas untuk lokasi ini sebagai desa wisata adalah Sikerai yang kemudian mengambil bagian pada acara ulang tahun desa. Ulang tahun Desa Matotonan menjadi ajang untuk mengenalkan desa sebagai desa wisata kepada masyarakat luas. Kegiatan ini melibatkan pemerintah Kabupaten, para peneliti, dan akademisi.
Acara ulang tahun desa yang ke-43 ini diadakan selama tiga hari pada tanggal 8, 9 dan 10 Agustus lalu. Acara hari pertama dan kedua adalah pelaksanaan upacara adat yang dipimpin oleh Sikerei yang diadakan di uma Matotonan. Kemudian, pada hari terakhir diadakan rapat paripurna istimewa badan permusyawaratan desa yang diadakan di balai desa. Pada hari itu juga diadakan perayaan nyanyi ulang tahun dan pemotongan kue.
Perayaan ulang tahun desa atau yang disebut juga dengan Punen Pulaggajat ini sudah dilaksanakan dari tahun 2019, beriringan dengan dicanangkannya Desa Matotonan sebagai desa wisata. Perayaan itu juga sudah tercantum dalam Peraturan Desa Matotonan nomor 10 pada tahun 2019. Dalam peraturan desa ini diatur tentang kegiatan yang diadakan, pakaian dan perhiasan yang digunakan, dan sumber keungan pelaksanaan ulang tahun desa.
Hal yang menarik perhatian dari ulang tahun desa ini tentu saja sikerei. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Matotonan, butuh usaha dan sosialisasi yang detail kepada masyarakat, terutama sikerei bahwa kegiatan ini bukan hanya sekedar perayaan biasa, tetapi juga bertujuan untuk dokumentasi budaya. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa sikerei yang ada di Matotonan rata-rata sudah berusia tua dan tidak terlihat juga antusias generasi muda untuk menjadi sikerei. Jadi dengan pelaksanaan hari ulang tahun ini kegiatan upacara adat yang dilakukan oleh sikerai dapat diketahui oleh generasi selanjutnya. Walaupun, suatu saat nanti budaya tersebut sudah tidak ada.
Ketika melakukan wawancara dengan sikerei terkait dengan sikerei keikutsertaannya dalam upacara adat ulang tahun desa, Itu merupakan rasa cinta sikerei terhadap desanya. Mereka mengganggap apa yang dilakukan oleh pemerintah jika tidak melanggar “pantang” yang dimiliki oleh sikerei tidak masalah untuk dilakukan. Pada hakikatnya, sikerei memiliki banyak pantangan ketika akan melakukan upacara adat ataupun dalam pengobatan, misalnya tidak boleh melakukan hubungan suami istri selama satu mingggu dalam pengobatan atau satu bulan dalam upacara adat yang diadakan dalam pelaksanaan ulang tahun desa.
Dalam pelaksanaan upacara adat ini masyarakat menyediakan cenderamata berupa kalung dari manik-manik yang digunakan oleh sikerei atau disebut juga dengan inu. Lalu, sikairaat atau ikat kepala yang digunakan oleh sikerei. Kemudian, juga ada gelang dari batang anau ataupun tas. Namun, pengelolaan cendera mata ini yang belum terkoordinir dengan baik sehingga penjualannya tentu saja juga belum maksimal. Akan lebih baik jika pihak terkait memaksimalkan koordinasi terkait pemasaran cenderamata walaupun dari hasil penelusuruan Instagram pokdarwis dan desa Matotonan, sudah memperkenalkan beberapa cendera mata ini.
Menjadi sebuah desa wisata yang stabil tentu tidak bisa terwujud secara instan. Semua perangkat desa dan masyarakat desa harus saling bekerja sama untuk menwujudkan desa wisata yang memiliki fasilitas memadai untuk pengunjung. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang guru sekaligus mantan kepala Desa Matotonan, diketahui bahwa fasilitas sedang dipersiapkan oleh seluruh perangkat desa dan masyarakat demi terwujud kemajuan desa tanpa menghilangkan budaya yang mereka miliki.
Discussion about this post